Anak Perempuan yang Durhaka
Oleh : Cahaya Fadillah
Jika ada anak yang dianggap tidak bisa apa-apa, itu adalah aku. Jika ada seorang ibu yang selalu menyalahkan anaknya, menganggap si anak keras kepala, hanya bisa melawan dan menjawab tanya, anak itu adalah aku.
Aku dilahirkan berbeda dari saudariku. Saat sekolah, semua nilaiku hanya rata-rata. Aku tidak menjadi sang juara, juga tidak jadi si bodoh yang duduk di peringkat paling bungsu.
Jika semua saudariku disekolahkan di sekolah agama, lagi-lagi aku berbeda. Aku hanya menempuh sekolah negeri biasa. Semua tampak sangat biasa. Hidupku rasanya tidak ada pernah kata “waw” di sana.
Yang berbeda hanya ukuran tubuhku yang lain dari yang lain. Aku lebih pendek dari semua, sampai-sampai orangtuaku takut kalau-kalau anak perempuannya ini tidak akan pernah laku, apalagi ada yang mau meminangnya kelak. Tubuhku tidak bisa menanjak di saat teman-teman sudah hampir setinggi pintu rumah mereka.
Semua semakin tampak berbeda lagi, saat aku hanya menjadi ibu rumah tangga di keluarga kecilku. Sedangkan semua saudariku punyai toko dan pekerjaan yang menjanjikan. Aku pernah bekerja di sebuah perusahaan. Namun, takdir berkata lain, menikah dan hamil anak pertama membuat tubuhku kurang bijaksana menerima setelah sakit sebelumnya. Hamil anak pertama aku harus resign dan menerima takdir di rumah saja.
“Walau sudah menikah, paling tidak kamu harus bekerja, jangan mau dicucuk hidung oleh suamimu saja,” ucap Ibu mewanti-wantiku saat makan bersama.
“Iya, Bu. Aku juga tidak memilih menjadi ibu rumah tangga. Tapi, keadaannya lain, anakku masih kecil, mau ditinggalkan sama siapa? Aku tidak mau menitipkan anak sama pengasuh, Bu. Ngeri. Suami tidak izin aku bekerja, karena cucu Ibu masih kecil.” Kusuap nasi dengan lauk kesukaan ke mulutku—masakan Ibu yang selalu kurindukan setiap pulang ke rumah. Rasanya, tiba-tiba hambar. Hatiku terasa diiris oleh pertanyaan dan pernyataan Ibu yang selalu menentang profesiku.
“Ndak bisa suami saja yang kerja, kalau-kalau dia meninggalkanmu, mau makan apa nanti anakmu?”
Aku paham, Ibu mengkhawatirkan kondisi keluarga kecilku yang jauh kurang dari semua saudariku. Suamiku hanya pegawai swasta yang menghidupi dari uang gaji yang tidak seberapa. Memang banyak bantuan yang kuterima dari keluarga. Tapi, aku tidak meminta, Ibu selalu memberi. Jika ditolak aku memang membutuhkan, tapi jika selalu diterima rasanya harga diriku selalu ditimbang.
“Bu, jika suami tidak memberi izin aku bisa apa. Aku sudah pernah usaha, ‘kan? Nyatanya semua jerih payahku hilang begitu saja. Suamiku ndak rida atas apa yang kukerjakan, Bu. Katanya urus saja anak kita dengan baik, sudah cukup.” Dengan hati-hati kujawab tanya Ibu, takut kalau-kalau Ibu menganggapku melawan lagi seperti yang sudah-sudah.
“Halah, laki-laki. Terserah, kalau mau diam di rumah saja ya kamu tidak akan dapat apa-apa.”
Hening. Aku tidak lagi menjawab, kutahan dalam hati agar tidak ada perang mulut yang pada akhirnya akan menambah dosa-dosaku pada Ibu jika menjawab.
***
“Walau bagaimanapun, tetap bantuin Ibu, Dek,” terangku pada adik satu-satunya yang punya pekerjaan pegawai swasta.
“Tapi ‘kan aku capek, Kak. Pulang kerja aku juga butuh istirahat,” sanggahnya tidak mau kalah.
“Ya istirahat boleh, wajar kamu capek. Tapi kan ndak harus tidur sampai berjam-jam. Ingat, Ibu sudah tua, bantuin Ibu jaga toko juga buat kita. Buatmu terutama, aku sudah menikah, tidak akan terlalu dipikirkan Ibu lagi.” Dengan sabar kujelaskan pendapat dan memberikan pelajaran untuk adikku.
Entah aku yang terlalu nyinyir menasihati dan tidak paham kondisi adikku yang lelah bekerja. Entah ia yang memang tidak pernah mau menerima masukan dariku karena tubuhku yang lebih kecil darinya. Aku selalu dianggap kecil oleh siapa saja, ucapanku jarang didengar. Hanya keras kepala dan suka menjawab yang selalu mereka ingat. Padahal, jika aku tidak salah, aku hanya berusaha membela diri.
Perang mulut terjadi akhirnya. Aku dan adikku gaduh. Aku yang muak dengan sikap malasnya sudah tidak bisa lagi menahan amarah karena ia terlalu manja menjadi si bungsu. Si adik juga mungkin muak dengan nyinyiranku yang menurutnya selalu menyalahkan.
Ibu datang dan terkejut atas suara kami yang tinggi. Sang adik pergi ke kamar melarikan diri, sedangkan aku dicaci maki, dihina habis-habisan dan disumpahi oleh ibuku sendiri.
“Berisik kalian. Kamu yang besar tidak pernah mau mengalah. Apa salahnya sabar kalau jadi yang besar?”
“Bu, apa Ibu tahu kenapa aku berdebat dengan dia?”
“Masih mau menjawab, apa salahnya kamu iyakan saja kata ibumu ini!” Ibu mulai naik pitam, suara Ibu menggelegar.
“Tapi, Bu … aku,” jawabku menahan tangis.
“Neraka buatmu! Tidak pandai menghargai kata orangtua. Bisanya hanya menjawab dan melawan saja!”
Tangisku pecah. “Ibu tidak paham masalah kami, tapi Ibu menyalahkan sepihak. Aku begini karena menghkawatirkan Ibu. Saat aku tidak di rumah aku harap Adik bisa menggantikanku menjagamu, Bu. Tapi ya sudah, aku akan selalu salah di mata Ibu. Aku pergi.”
Tubuhku bergetar menahan sakit dan emosi. Sumpah serapah Ibu untukku kali ini keterlaluan. Rasanya, percuma aku mencari pahala jika seorang ibu sudah menyumpahi anaknya ke neraka. Kurapikan semua pakaianku ke dalam koper, kugenggam tangan anakku yang terus bertanya mengapa aku menangis. Lalu, kutarik tangan Ayah meminta izin untuk pergi ke rumahku sendiri.
***
“Cucu Ibu sehat?”
“Sehat, Bu. Alhamdulillah. Ibu dan Ayah sehat?”
“Alhamdulillah, kapan pulang? Ibu rindu cucu Ibu. Ibu tidak enak badan untuk berkunjung ke sana, Nak. Pulanglah, Ibu sangat rindu tawa si kecil.”
“Iya, Bu. Nanti kalau ada uang aku pulang. Semoga Ibu cepat sembuh. Maaf, tidak bisa ngobrol lama. Aku sedang melayani orang belanja,” jawabku memberi alasan.
Sejak saat itu tidak ada lagi banyak kata yang kukeluarkan. Untuk apa jika tidak akan didengar, untuk apa jika selalu dicap melawan.
Saat memberi saran untuk terus jaga kesehatan, mengingatkan makan yang sering Ibu sepelekan. Ucapakanku selalu dianggap angin lalu. Padahal, di hatiku selalu khawatir atas kesehatan Ibu. Namun, saat saudiriku yang telah sukses di sana mengingatkan, Ibu selalu manut tanpa alasan dan jawaban menyakitkan.
Setiap sujud kudoakan Ibu dan Ayah selalu sehat, bahagia, dan selalu dimudahkan urusannya. Mungkin aku bukan anak yang bisa membanggakan, apalagi yang bisa memberi uang. Tapi, doaku selalu paling tulus untuk kedua orangtuaku.
Maafkan aku yang kurang beruntung hingga selalu dikucilkan. Maafkan aku yang dilahirkan dengan susah payah, disapih begitu susah, dan dibesarkan dengan jerih payah dan rupiah tapi tidak bisa membalas dengan sebuah yang mewah.
Cahaya Fadillah, lahir di Bukittinggi, Sumatra Barat. Menyukai literasi sejak duduk di bangku sekolah dasar, tapi baru aktif tahun 2017. Ibu satu anak bernama Muhammad Adz Dzikri Faeb ini sangat suka menulis. Sampai sang suami memberi gelar untuknya “Si Tukang Karang”.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata