Anak Bungsu Ibu
Oleh: Ade Umamah
“Yu, tolong nanti belikan Ibu minyak sayur, ya.”
“Yu, piring kotornya sudah banyak itu, nanti minta tolong dicuci, ya.”
“Yu, kalau tidak sibuk, ruang tengah disapu ya, kalau bisa sekalian dipel Nak.”
***
Aku tergugu di samping pusara Ibu yang masih basah. Betapa penyesalan selalu saja datang terlambat. Ibuku telah dipanggil-Nya, pergi untuk selama-lamanya.
Aku merasa ibuku tidak akan pergi secepat ini. Ia masih terlihat sehat di usianya yang hampir setengah abad. Ia tidak pernah mengeluh sakit. Ya, ibuku selama ini baik-baik saja. Mungkin karena itulah aku kadang tidak memedulikannya. Apalagi saat beliau meminta bantuanku, untuk mengerjakan ini dan itu, menyuruh ke sana kemari. Ah saat itu, aku merasa sengsara sekali menjadi anak bungsu.
***
“Capek tahu, Bu. Baru juga pulang sekolah, sudah disuruh ke warung,” ucapku kesal.
Kalau sudah begitu, biasanya ibu hanya diam saja, tidak pernah marah.
***
“Bu, nanti kalau sudah kuliah, Ayu mau kos saja, ya.”
Pintaku pada Ibu tempo hari. Aku beralasan supaya bisa menghemat pengeluaran dan bisa lebih fokus kuliah.
Ibu menatapku dengan pandangan nanar, terlihat gurat-gurat kesedihan di wajahnya. Ya, aku tahu, pasti beliau sangat keberatan dengan rencanaku. Dari dulu Ibu memang mewanti-wanti agar aku tidak pergi jauh-jauh darinya. Cukuplah Kak Eko dan Mbak Rini yang pergi meninggalkannya, aku jangan.
“Kalau kamu pergi, Ibu sama siapa Yu?”
“Kan ada Bapak, Bu.”
“Ibu harap ada salah satu anak Ibu yang tetap tinggal di sini, bahkan setelah menikah sekalipun.
Kalau kamu pergi, Ibu akan merasa kesepian.”
Ah, sial sekali, beginikah rasanya menjadi anak bungsu? Selalu di jadikan tumbal oleh saudara-saudaranya yang lain?
Dulu saat Mbak Rini akan dibawa suaminya ke Lampung, ia berpesan agar aku bisa menjaga dan merawat Bapak dan Ibu dengan baik. Begitu pula dengan Kak Eko, sehari sebelum keberangkatannya ke Batam, ia pun berpesan agar aku tidak mencari jodoh orang jauh, agar aku tidak harus dibawa oleh suamiku kelak, tinggal berjauhan dengan Bapak dan Ibu. Ya, alasannya sudah dapat ditebak, karena aku anak bungsu.
***
Aku tetap dengan pendirianku, tinggal di indekos selama menjalani pendidikan di bangku kuliah. Ibu mengizinkanku walaupun dengan berat hati. Ah Ibu, aku bukannya tidak sayang padamu, tapi mengertilah sedikit, aku juga ingin mandiri seperti yang lainnya, ingin tahu seperti apa dunia di luar sana. Kalau aku masih berada di bawah ketiak Ibu, bagaimana wawasanku akan bertambah, bagaimana aku bisa mengenal dunia luar, dan bagaimana aku mandiri nantinya.
***
“Ayo Nak, sudah sore, biarkan ibumu beristirahat dengan tenang.”
Tangan Bapak menepuk pelan bahuku. Bapak Benar, Ibu sudah tenang di alam sana. Sedangkan aku, akankah bisa tenang, setelah di tinggal pergi oleh Ibu untuk selama-lamanya?
Andai dulu aku tidak keras kepala, dan mau mendengarkan nasihat kakak-kakakku, mungkin aku tidak harus mengalami rasa sesal yang begitu mendalam dan menyakitkan.
Ade Umamah, lahir 32 tahun yang lalu di Kota Cilegon, Banten, anak kedua dari lima bersaudara. IRT dengan dua anak: Abdullah (3 tahun) dan Razan (2 tahun). Hobi menulis dan membaca. Sekarang menetap di Sidenreng Rappang, Sulsel, ikut dengan suami yang bersuku Bugis.
Editor: Erlyna
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata.