Anak-anak yang Menua dan Mati Lebih Awal

Anak-anak yang Menua dan Mati Lebih Awal

Anak-anak yang Menua dan Mati Lebih Awal
Oleh: Devin Elysia Dhywinanda

Ketika banyak anak di kota kami menua dan mati lebih awal, Mama lekas menjemput lantas membawaku pulang. Air mukanya kentara cemas. Mama tidak mendengarkan perkataan guruku perihal ujian yang makin dekat dan justru bersikeras berkata bahwa dunia luar tidak aman—”Bagaimana aku bisa membiarkan anakku di luar sana, di luar perlindunganku, sedangkan kematian anak-anak seusianya meningkat hingga 30% dalam rentang waktu singkat?” balasnya serak. Guruku tidak membalas, membiarkan kami pergi—barangkali pembelaan Mama mengingatkannya pada kepergian anak keduanya dua bulan lalu—sedangkan aku manut, sambil memikirkan hal ini dalam-dalam: apakah berada dalam radius pandangan Mama sama saja menghindarkan diri dari kematian?

Entahlah, aku tidak mengerti. Akan tetapi, besoknya aku mengetahui bahwa para orangtua melakukan hal serupa dengan tindakan Mama: melarang anaknya ke luar rumah. Dari pembicaraan Mama dengan ibu-ibu di kompleks rumahku, aku juga mengetahui bahwa mereka tengah merencanakan demonstrasi ke kantor kepolisian serta pusat kesehatan apabila angka kematian remaja masih juga meningkat hingga akhir bulan.

Aku menghela napas. Sebetulnya tentang anak-anak yang menua dan mati lebih awal itu, aku—bahkan masyarakat—sendiri tidak tahu pasti apa penyebabnya. Suatu hari, entah kenapa beberapa siswa SMP datang dengan muka keriput bahkan membawa alat bantu berjalan. Penjaga sekolah menanyai identitas serta maksud kedatangan mereka, seperti hendak bertemu anak atau cucu, tetapi orang-orang itu justru menangis, berkata bahwa mereka adalah siswa sekolah tersebut. Pernyataan tersebut kontan menggegerkan satu sekolah, terutama setelah jumlahnya meningkat dari hari ke hari. Paramedis mengungkapkan bahwa sel para korban mengalami perkembangan serta kerusakan lebih awal, entah karena patogen atau apa, tetapi pihak kepolisian mendeklarasikan sesuatu yang kontroversial: Pencuri Waktu.

Dikatakan bahwa setiap orang punya batasan waktu di atas kepala mereka—bentuknya seperti pasokan kekuatan pada karakter game—yang tidak dapat dilihat oleh mata biasa. Pencuri Waktu bisa melihat batasan waktu ini dan, di saat bersamaan, bisa melakukan segala metode untuk memangkas kehidupan seseorang. Mereka yang dapat mencurangi waktu dikatakan punya perawakan lebih muda ketimbang usia sebenarnya. Lebih bugar. Lebih bahagia pula.

Hari ketika para orangtua sepenuhnya melarang anak mereka ke luar rumah, Papa, yang bekerja di divisi kejahatan berat kantor kepolisian kota kami, mengusap rambutku sembari tersenyum, “Papa akan menangkap penjahat itu … agar anak-anak seusiamu bisa hidup dengan normal. Seperti Papa dulu.”

Mama menangis. Kami berpelukan sebelum Papa pergi, memburu Pencuri Waktu, sedangkan aku masuk ke kamar. Mama juga melarangku membuka jendela terlalu lama dengan dalih, “Pencuri Waktu akan datang dari jendela kamar yang terbuka saat malam, dari gang sempit yang sepertinya tidak ada orang, dalam kerumunan orang-orang yang mengantre sembako. Dunia luar sangat berbahaya. Kau harus selalu berhati-hati.”

Aku mengiyakan, memikirkan betapa sepinya hidupku selama beberapa waktu ke depan.

***

Bicara soal waktu, aku—juga teman-temanku—sebetulnya tidak terlalu mempermasalahkannya. Kehidupan sekolah kami berjalan tanpa beban, tanpa tekanan untuk melakukan ini-itu: kami mengerjakan tugas bila ingin; serius belajar jika sudah mood. Itu setelah Wali Kota membuat sebuah kebijakan agar anak-anak diberi kebebasan dalam menimba ilmu: tidak ada PR, tidak ada tuntutan untuk menguasai semua pelajaran. Hal ini didasarkan pada kota sebelah yang mendapat predikat kota dengan pendidikan terbaik meski punya jam bermain lebih banyak dari jam belajar. Kondisi tersebut terdengar aneh sekilas, tetapi kami tidak menggubrisnya, sebab, toh, waktu bermain adalah hal yang didambakan semua siswa.

Kendati demikian, aku merasa tidak ada perubahan signifikan atas kebijakan tersebut: nilai kami stagnan, malah cenderung anjlok, sedangkan prestasi kami masih tertinggal dibandingkan anak-anak dari kota lain.

Beberapa guru di SMP-ku bahkan berencana melakukan demonstrasi atas dasar kegagalan kebijakan pemerintah, yang dibalas oleh Kepala Sekolah, “Ini baru enam bulan setelah pemberlakuan sistem pendidikan yang baru. Apa saja bisa terjadi setelah enam bulan ini, jadi bersabar saja dan lakukan yang terbaik untuk siswa.”

Saat itu, aku bertanya-tanya, apakah Wali Kota betul-betul melakukan yang terbaik untuk kami dan bukannya menuruti apa yang kami inginkan? Apa karena Wali Kota sudah kehabisan akal membuat sistem baru yang dapat menyaingi kota sebelah, makanya ia mengadaptasi sistem pendidikan di kota lain?

Aku tidak bisa menjawabnya dan menurutku juga percuma melakukannya, sebab kami berakhir mendekam dalam rumah, tidak diperbolehkan keluar barang sejenak oleh para orangtua.

Suatu malam, Papa pulang dengan wajah cerah. Katanya, pihak kepolisian berhasil menemukan titik terang atas identitas para Pencuri Waktu. “Pelakunya bukan dari orang dewasa karena setelah diteliti, orang dewasa—termasuk para lansia—punya tingkat kecocokan tinggi antara umur dan perawakan mereka. Kemungkinan besar pelakunya dari anak-anak seusia kalian.” Papa berkomentar tentang betapa brutalnya anak zaman sekarang, sedangkan Mama bereaksi negatif dengan berkata bakal menjauhkan aku dari ‘parasit-muda’ di luar sana.

“Pemerintah sudah bekerja sama dengan peneliti dari luar kota dan mereka akan mengambil data sel dari semua anak di kota kita dan setelah itu,” Papa tersenyum lebar padaku, “kalian tidak akan kehilangan waktu hidup kalian lagi.”

Papa pergi membawa persediaan baju. Lembur lagi, katanya, dan seketika aku bertanya, apakah orang dewasa memang sesibuk itu? Apakah menjadi dewasa bermakna mengorbankan waktu bersantai, bahkan bersama keluarga, untuk menyelesaikan banyak urusan di kantor? Apakah aku—juga anak-anak sebayaku—akan berlakon sama ketika menjajak usia tersebut … atau justru tidak menjadi apa-apa, seperti pemulung di depan sekolah?

Mungkin iya, mungkin juga tidak. Itu kembali lagi ke bagaimana tiap individu mempersiapkan diri untuk masa depan.

Aku kembali ke kamar usai membawa piring ke wastafel. Esoknya, dari grup kelas, aku mengetahui bahwa beberapa temanku telah diambil datanya oleh para peneliti. Para peneliti itu, yang berpenampilan cukup manusiawi dengan hanya mengenakan jas, masker, serta sarung tangan lateks, berjanji bahwa keadaan ini akan selesai dan teman-temanku bisa kembali bersekolah, mempersiapkan diri untuk ujian. Teman-temanku mengaku bahwa mereka membalas perkataan itu dengan banyolan, “Oh, ayolah, kami sangat menikmati waktu ini, Tuan.” Ada juga yang membalas, “Ah, tidak akan ada waktu santai seperti ini.”

Banyak orang menanggapinya dengan tawa serta banyolan, sedangkan aku lekas meletakkan ponsel sambil melihat langit-langit kamar. Teman-temanku memang menyukai kebebasan … dan itulah hal yang disalahartikan oleh banyak pihak, terutama Wali Kota.

Namun di antara semua tawa itu, sebuah chat bernada sendu muncul, “Tapi … suasana kelas pasti lebih sepi dari sebelumnya … ‘kan?”

***

Aku suka membaca—buku, situasi, bahkan raut wajah seseorang. Selama dikurung—pantaskah aku menyebut keadaan ini sebagai dikurung?—kugunakan waktuku untuk membaca berbagai hal: ketika gamers kelasku menghabiskan waktu menyelesaikan berbagai level sulit, aku memilih membaca ulang stok bacaan di lemari cokelat tuaku; saat para gadis memanfaatkan WiFi yang dipasang di rumah mereka untuk mengunduh hal tentang oppa mereka, aku justru mengunduh berbagai judul e-book serta mencari berbagai artikel, terutama tentang anak-anak yang menua dan mati lebih awal di kota kami.

Dari sana, aku tahu bahwa persentase kematian teman-teman sebayaku masih juga meningkat meski sudah dikurung dalam rumah. Bahkan, anggota grup kelasku tidak lagi lengkap karena lima orang pergi tiba-tiba—anak perempuan menjadi sangat emosional, sedangkan para laki-laki sudah memaki, menyumpahi siapa pun yang telah mengambil kehidupan teman-teman kami. Hari itu, story media sosial teman-temanku penuh dengan ungkapan bela sungkawa serta sumpah serapah.

Kuinformasikan hal ini pada Mama. Mama langsung menangkap wajahku, memandangku lekat, lantas menghela napas lega. “Kamu tidak apa-apa. Kamu tidak apa-apa.”

Waktu itu aku kembali berpikir, anak-anak yang menua dan mati lebih awal tentu menjadi fenomena luar biasa yang mesti disikapi secara serius, sebab menyangkut nyawa banyak orang. Namun lebih lanjut, aku berpikir para orang dewasa menjadi amat sensitif menanggapinya karena ini menyangkut anak mereka—orang-orang yang kelak tumbuh, menjadi pemimpin, menggantikan para petinggi masa kini. Sebab, kami sangat berharga … bagi berbagai aspek kehidupan, makanya mereka berusaha lebih protektif.

Tengah malam setelah aku terakhir ke luar rumah, sebuah kabar mengejutkan datang: pihak berwajib berhasil menangkap para Pencuri Waktu! Menurut data dari para peneliti, disimpulkan bahwa mayoritas sel anak jalanan mengalami perlambatan perkembangan dibanding anak-anak lain. Ditambah latar belakang mereka yang tidak terlalu bagus, kepolisian lekas meringkus para anak jalanan agar tidak berkeliaran, memangkas batas waktu para remaja.

Waktu kutanyakan kabar itu, Papa menjawab bahwa pihak kepolisian sendiri belum seratus persen yakin tentang pelakunya. Namun dengan penangkapan para anak jalanan tersebut sedikit-banyak dapat mengurangi angka kematian akibat anomali penuaan. “Kalian bisa kembali ke sekolah besok.”

Aku mengiyakan, tetapi entah kenapa merasa ada yang janggal.

Esoknya, beberapa anak sudah kembali bersekolah, meski belum seluruhnya. Di kelasku sendiri hanya sepertiga murid yang hadir dan, entah karena sudah lama tidak bertemu atau apa, aku merasa wajah mereka terlihat lebih dewasa. Sekilas yang kudengar, mereka asyik membicarakan aktivitas ketika dikurung: makan, bermain ponsel, ke kamar mandi, tidur—begitu terus sampai berita penangkapan para Pencuri Waktu muncul.

Aku tengah mempersiapkan buku untuk pelajaran pertama ketika tiga siswa mengerubungi mejaku dengan ekspresi gelap, kemudian bertanya, “Hei, kenapa wajahmu terlihat lebih muda dari terakhir kita bertemu?” (*)

 

Devin Elysia Dhywinanda adalah gadis AB hasil hibridisasi dunia Wibu dan Koriya yang lahir di Ponorogo, 10 Agustus 2001.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata