Anak-Anak Pembatas Buku
Oleh: Vianda Alshafaq
Kata perempuan itu, Ibu bakal hidup jauh lebih lama daripada ibu-ibu lain yang ia pajang di rak tempat ia menyusun para ibu dan meletakkan anak-anak secara acak di halaman tubuh ibunya.
Aku bingung, mengapa ia selalu membuka Ibu setiap malam, lalu menyelipkan aku di dua lembar tubuh Ibu—di antara lembar yang baru saja diberi coretan hitam dan lembar kekuningan yang polos. Setiap ia membuka Ibu, ia bakal mematikan lampu, lalu menyalakan lilin menggunakan korek api berwarna hitam yang selalu disimpannya di dalam saku. Perlahan, tentu setelah lilin ia nyalakan dan membuat ruangan menjadi remang. Ia membalikkan lembar tubuh Ibu dan membuka halaman Ibu yang masih bersih dan kemudian menodainya dengan tinta hitam yang entah mengapa ia melakukannya. Aku tidak suka, tentu saja. Aku lebih suka melihat halaman Ibu dengan kulit kekuningan polos dibanding kulit kuning yang dipenuhi coretan-coretan hitam yang tidak bisa dibaca—setidaknya aku tidak bisa membacanya.
Iblis Pembisik, anak Ibu Iblis Pembisik yang diselipkan di tubuh ibunya, pernah mengatakan kepadaku bahwa perempuan itu adalah “Tuhan” dan ia sedang menuliskan “takdir” Ibu di halaman bersih itu dan setelah itu ia akan meletakkan aku di antara halaman bersih dan halaman penuh takdir yang baru saja ia tulis.
Katanya, ia dulu mengalami hal itu sampai tubuh ibunya penuh coretan hingga halaman terakhir.
“Lalu apa yang terjadi setelah itu?” Jelas aku penasaran, sebab suatu hari aku mungkin bakal mengalami hal yang sama.
“Kemungkinan paling buruk kau akan mengalami hal serupa dengan Narnia,” jawabnya.
Narnia, gadis itu ia kirimkan entah ke mana, dibungkus sangat rapi dengan lilitan-lilitan selotip sekujur tubuh ibunya, dan ia berada di antara halaman terakhir dan sampul belakang. Tentu saja aku mengingat semua itu. Waktu itu, Ibu masih bersih dan belum pernah perempuan itu sentuh. Aku dan Ibu masih ia letakkan di dalam paper bag yang sama sejak ia membawa kami dari toko. Untung saja ia membaringkan kami di atas meja, jadi aku bisa menengok apa yang ia lakukan pada Narnia.
“Dan, jika kau beruntung, kau bakal menetap di sini selamanya, melihat anak-anak lainnya diselipkan di halaman antara takdir dan kehampaan. Seperti aku.” Ia melemahkan suaranya di akhir kalimat dan tentu saja membuatku berpikir, apakah itu benar-benar sebuah keberuntungan?
Perempuan itu datang dari arah selatan. Rambutnya yang sepanjang bahu ia gerai begitu saja. Lalu kemudian, dengan secangkir kopi di tangannya, ia duduk di kursi yang biasa ia gunakan saat menuliskan takdir para ibu. Dengan mata yang dipejamkan, ia mencium aroma kopi yang masih mengepul itu lalu menyesapnya sedikit demi sedikit setelah ditiup.
“Malika, kau bakal menjadi cerita yang paling panjang dan berliku-liku.”
Malika, itu nama Ibu dan aku. Entah mengapa perempuan itu memberikan nama yang sama untuk kami berdua, pun begitu bagi anak dan ibu lainnya.
Sekali lagi, perempuan itu mengatakan bahwa Ibu bakal menjadi cerita yang panjang. Apa maksudnya? Tentu saja aku tidak mengerti.
Tiba-tiba, Ibu merangkulku. Ia membelai pelan tubuhku. Tentu aku heran sebab Ibu tak pernah seperti ini. Bahkan ketika malam-malam panjang sudah berlalu ketika ia di tangan perempuan itu dan aku menggigil di atas meja, ia tidak akan merangkulku setelahnya.
“Cerita apa yang ia maksud, Bu?”
Kau mau dengar, kata Ibu padaku yang tentu saja membuatku tersenyum dan mengangguk beberapa kali—saking antusiasnya. Lalu Ibu memulai ceritanya yang tentu saja akan aku ceritakan padamu.
***
Seperti malam-malam sebelumnya, Malika berjuntai di atas bulan sabit sambil mengamati Lalang yang sibuk berdoa. Tangannya ia tengadahkan, kemudian air matanya mengalir deras, sederas Air Terjun Lembah Anai—dan juga seperti air terjun yang setiap waktu mengguyur tubuh Malika—yang baru kemarin sore ia kunjungi. Entah apa yang ia minta, tentu Malika tidak tahu. Doa adalah percakapan paling rahasia antara Tuhan dan hambanya, dan Malika tidak boleh mengetahui itu. sebab itu, Malika hanya mengamati Lalang dan tidak berbuat apa-apa dan memang tidak ada yang bisa dilakukannya.
Malika mempunyai keinginan untuk menemui Lalang dan menceritakan banyak kisah kepada laki-laki itu—kisah-kisah yang diceritakan bulan padanya setiap malam. Tetapi, Malika tidak bisa. Tuhan tidak pernah membuka pintu antara langit dan bumi, yang tentu saja bakal menjadi pintu antara Malika dan Lalang. Entah mengapa, Tuhan begitu tidak ramah untuk hal itu. Ia mencintai Lalang dan Lalang mencintainya. Tetapi, setelah pembakaran siang itu, dua tahun yang lalu, ia terpisah dari Lalang. Lalang tetap di bumi, sementara Malika menetap di langit dengan bulan dan matahari yang tidur bergantian, bintang yang timbul tenggelam, dan awan-awan yang kadang hitam dan keabuan dan kadang juga putih.
Di saat pembakaran hari itu, Malika ingat sekali ia melihat seorang laki-laki dengan jaket dan topi hitam yang ia kenakan. Tak lama setelah melihat laki-laki itu, api menyambar di setiap sudut ruangan. Perlahan api itu menyala semakin garang, lidahnya menyambar-nyambar. Dan, tak lama kemudian, lidah api itu juga mulai menyambar tubuh Malika yang meringkuk di pojok dekat rak buku. Setelah itu Malika sudah berada di bulan dengan air terjun yang deras mengguyur tubuhnya.
***
“Bersambung,” ucap Ibu tiba-tiba, yang membuat keningku berkerut dan penuh tanda tanya.
Bersambung, entah kata apa itu. Aku tidak mengerti, bahkan Ibu juga begitu. Hanya, Ibu bilang itu kata terakhir dari “takdir” yang ditulis perempuan itu.
Aku menoleh ke arah Iblis Pembisik yang masih duduk di tempatnya—di rak buku paling ujung, setelah Clinomania. Ternyata sedari tadi laki-laki itu juga memperhatikan kami. Mungkin dia menguping pembicaraanku dengan Ibu. Atau, mungkin dia juga penasaran dengan “takdir” yang perempuan itu tulis di tubuh Ibu.
“Apa kau tahu apa itu ‘bersambung’?”
Dengan alis yang kuangkat sebelah dan rasa penasaran yang semakin tumpah ruah, aku berharap Iblis Pembisik bakal menjawab pertanyaanku. Tapi, ia sepertinya tidak tahu juga. Alih-alih menjawab pertanyaanku, ia malah menoleh ke ibunya kemudian membisikkan sesuatu. Mungkin ia bertanya, atau entah bagaimana.
“Aku juga tidak tahu. Ibuku juga tidak tahu. Hanya saja, perempuan itu beberapa kali juga pernah menuliskan itu di tubuh ibuku, dan kemudian di halaman terakhir mengubahnya menjadi kata ‘tamat’.”
Ah, ternyata ia juga tidak tahu. Apa mungkin semua ibu dan anaknya mengalami hal seperti ini dan tidak mengerti?
“Lalu apa yang terjadi setelah perempuan itu beberapa kali menuliskan ‘bersambung’ dan mengubahnya menjadi ‘tamat’?”
“Kemungkinan paling buruk kau akan mengalami hal serupa dengan Narnia,” jawabnya.
“Dan, jika kau beruntung, kau bakal menetap di sini selamanya, melihat anak-anak lainnya diselipkan di halaman antara takdir dan kehampaan. Seperti aku.” Ia melemahkan suaranya di akhir kalimat dan tentu saja membuatku berpikir, apakah itu benar-benar sebuah keberuntungan? [*]
Vianda Alshafaq, seseorang yang bukan siapa-siapa.
Editor: Imas Hanifah N