Ana
Oleh: Sukra A.W
Sore hari, kira-kira pukul 16.30, aku baru saja selesai mandi saat kulihat anakku, Ana, terlihat sibuk di dalam kamarnya. Celana hitam panjang, kaus merah, dan kerudung yang senada dengan warna kausnya, melekat di tubuhnya yang ramping.
“Tumbenan jam segini udah rapi banget, mau ke mana, Nak?” sapaku dari ambang pintu kamarnya.
“Iya, Bu, mau belajar kelompok di rumah temen,” jawabnya sambil memasukkan beberapa buku ke dalam tasnya dengan cekatan. “Boleh, ya, Bu?” lanjutnya meminta izin. Dia menoleh demi menunggu jawaban dariku.
Aku hanya mengangguk. “Pulangnya jangan terlalu malam, ya? Kalau bisa, sebelum magrib udah pulang.” Dia mengangguk, lantas menggendong tasnya.
“Kalau gitu, aku berangkat sekarang ya, Bu? Assalamualaikum,” ucapnya yang kemudian mencium tanganku.
“Waalaikumussalam,” jawabku sambil mengikuti langkahnya menuju halaman depan rumah. “Hati-hati, ya, Nak?” lanjutku setelah dia berjalan beberapa langkah.
Dia hanya menjawab singkat.
Dengan cepat otakku mengalihkan semuanya. Pekerjaanku masih banyak, lebih baik aku selesaikan sekarang, gumamku.
Satu jam.
Dua jam.
Sudah pukul setengah tujuh, tapi kok Ana belum pulang juga, ya? Bikin khawatir aja, gumamku sambil melipat mukena.
“Pak, Ana belum pulang?” aku bertanya pada Mas Rohim, suamiku. Siapa tahu Ana sudah pulang tanpa sepengetahuanku.
“Belum,” seperti biasa, dia hanya menjawab singkat pertanyaanku. Sesekali dia menyesap kopi di hadapannya. Lalu kembali mengisap rokoknya penuh kenikmatan.
“Udah dibilangin sebelum magrib pulang, kok belum sampai juga di rumah,” celotehku sendiri demi meluapkan rasa khawatirku.
“Bentar lagi juga Ana pasti sampai, Bu. Mungkin sekarang masih dalam perjalanan.” Aku hanya meliriknya, tidak berkomentar sedikit pun atas apa yang diucapnya barusan.
Entah kenapa sekarang ini aku ingin sekali pergi ke ruang tamu. Seperti ada sesuatu yang ingin aku lihat di sana. Rasa penasaran yang begitu memuncak hingga aku tidak bisa lagi menahan kakiku untuk tetap di ruang makan menemani Mas Rohim.
Aku melangkahkan kakiku menuju ruang tamu. Pelan saja, tidak terlalu terburu-buru.
“Bu, mau ke mana?” Mas Rohim bertanya dengan sedikit berteriak. Namun dia tetap diam di tempatnya. Kembali menyesap kopinya yang masih dipenuhi uap panas.
Ruang tamu terlihat lebih temaram dari biasanya. Dadaku sempat berdesir saat ingin mengecek ruangan itu. Dan ternyata dugaanku benar, ada seseorang di sana. Duduk dengan begitu lesunya. Tatapannya juga kosong, seakan-akan tidak ada jiwa yang menyertainya. Celana hitam panjang, kaus warna merah, dan kerudung yang senada dengan kausnya. Bukankah itu ….
“Ana?” Aku mengernyitkan dahi. “Lho, kamu udah pulang? Sejak kapan?” lanjutku dengan rasa penasaran yang kian memuncak.
Dia diam. Jangankan menjawab, matanya saja tidak terarah padaku. Hal ini benar-benar membuatku khawatir.
“Ana? Kamu nggak apa-apa, Nak?” Aku mulai berjalan mendekatinya. Berusaha melunak sebisa mungkin demi mendapat secuil kejujuran di sana.
Tahu aku mendekatinya, dia langsung menggeleng pelan dan pergi menuju kamarnya. “Ana, kamu mau ke mana? Ibu mau bicara sama kamu!” teriakku di sela langkah kakinya.
Dia masuk kamar, tapi tidak ada suara debam pintunya. Aku kembali mengernyitkan dahiku. Kok gak ada suara debam pintu? Atau dia pergi ke ruang makan? Ah, coba aku susul ke sana, gumamku.
Aku kembali ke ruang makan dan hanya menemukan Mas Rohim di sana. Tidak ada Ana.
“Lho, Pak. Ana nggak ke sini?” tanyaku seraya menarik kursi untuk ikut duduk dengan Mas Rohim.
“Enggak. Emangnya dia udah pulang, Bu? Kok tumben nggak nyapa? Biasanya kalo pulang dari mana aja selalu nyapa Bapak.” Ucapan Mas Rohim ada benarnya juga. Dan ini semakin membuatku tidak keruan. Apa yang terjadi dengan Ana? Kenapa dia bertingkah aneh seperti ini?
“Bu? Pak?” Tiba-tiba Ana muncul entah dari mana. Dia berdiri di samping Mas Rohim. Aku dan Mas Rohim sedikit terkejut dibuatnya. Serempak kami menghela napas panjang untuk menetralisir keterkejutan kami.
“Ada apa, Nak?” tanyaku sambil menggenggam tangannya. Dingin. “Kok tanganmu dingin? Kamu sakit?” lanjutku yang reflek langsung meletakkan punggung tanganku di dahinya.
Dia menggeleng pelan.
“Pak? Bu? Malam ini boleh nggak Ana tidur bareng kalian?” pintanya sesaat setelah aku menarik tanganku dari dahinya. Lagi-lagi aku mengernyitkan dahi. Di usianya yang menginjak umur belasan, dia mau tidur bareng orangtuanya? Benar-benar tidak masuk akal.
“Tidur bareng, Ana?” Mas Rohim beralih menatapku bingung. Aku sendiri juga tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi.
“Tapi kenapa kamu mau tidur bareng Ibu sama Bapak, Ana? Kan, kamu punya kamar tidur sendiri.”
“Aku mau tidur bareng kalian untuk yang terakhir kali, Bu. Aku mau menikmati malam bersama kalian berdua. Setidaknya untuk salam perpisahan.”
“Hust, salam perpisahan apa? Jangan ngawur gitulah, Ibu nggak suka,” aku langsung saja memprotes ucapannya tadi. Dadaku tiba-tiba saja terasa amat berdesir. Khawatir dan takut bercampur menjadi satu, tidak bisa lagi dibedakan antara keduanya.
Kami bertiga tertelan keheningan malam yang mencekam. Saling menatap satu sama lain—kecuali Ana yang menatap dengan tatapan kosong. Dan setelah beberapa menit aku perhatikan, ternyata ada sebuah keganjalan lainnya dari Ana. Kantung matanya menghitam. Sejak kapan Ana bermata panda? tanyaku dalam hati.
“Ana, sejak kapan kantung matamu menghitam?” tanyaku penuh selidik. Mas Rohim ikut melihat kedua kantung mata Ana.
“Iya, benar. Sejak kapan ada lingkaran hitam di sekeliling matamu? Bukannya tadi pagi masih baik-baik saja, tidak ada lingkaran hitam itu?” Sepertinya Mas Rohim pun baru menyadarinya. Kami berdua saling tatap. Heran juga bingung.
“Nggak apa-apa, kok. Ana ke ruang tamu sebentar ya, Pak, Bu?” Dia berlalu meninggalkan kami yang dipenuhi rasa penasaran.
***
Esok paginya saat kami terbangun, Ana sudah tidak ada di sampingku. Hanya meninggalkan butiran-butiran tanah di atas seprai yang masih rapi yang seakan tidak pernah ada orang yang tidur di sana.
“Ana ke mana, Pak?” Mas Rohim menggeleng. Aku tidak meneruskan pertanyaanku. Aku justru bergegas pergi ke dapur untuk melaksanakan pekerjaan rumah tangga. Tapi tak lama setelah itu, ada beberapa orang yang mengetuk pintu rumah.
“Assalamualaikum, Bu Rohim,” salam dari si pengetuk.
“Waalaikumsalam. Iya, sebentar.” Aku meletakkan sapu dan bergegas membukakan pintu.
“Ibu Rohim, Ana, Bu. Ana!”
“Ana kenapa?”
“Dia ditemukan tewas di dalam jurang sana, Bu. Tadi malem waktu Sumaryo ke pinggir hutan berburu celeng dia nemuin mayatnya Ana. Sepertinya Ana terpeleset saat berjalan di jalanan sebelah sana, Bu. Di sana jalannya emang licin.”
“Ya Allah, yang bener kalian?” aku tidak percaya dengan ucapan mereka itu. Tadi malam baru saja aku menikmati kebersamaan keluarga, tetapi ….
“Iya, Bu, bener.”
Tubuhku bergetar hebat, mulutku terkunci, air mataku buncah sudah. Anakku satu-satunya telah pergi. Ana telah tiada. Namun, yang lebih mengherankan lagi, kalau dia meninggal tadi malam, lalu siapa yang ada di rumah dan tidur bersama kami?
Sukra Ageng Winasih lahir di Banjarnegara, 02 Februari 2001. Masih menikmati masa-masa SMK—yang konon katanya begitu indah.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata