Amplop Putih di Atas Meja
Oleh : Erlyna
Bu Tini termenung sambil menatap amplop putih di atas meja. Sementara sepasang telinganya dijejali earphone, sibuk mendengarkan rapat antara guru dan beberapa perwakilan wali murid yang dilangsungkan secara online.
“Saya mewakili para wali murid yang lain, tetap berharap pelajaran Bahasa Indonesia ditambah. Kalau waktunya tidak memungkinkan, kita hapus saja pelajaran Bahasa Jawa.”
Deg!
Dada Bu Tini bergejolak seketika. Usulan salah satu wali murid barusan membuatnya tidak tenang.
Bu Tini menghembuskan napas, lalu menatap ke luar jendela. Wanita yang sudah menghabiskan lebih dari sepuluh tahun hidupnya untuk mengajar itu, semakin tidak mengerti kenapa orang tua zaman sekarang begitu keberatan dengan pelajaran Bahasa Jawa.
Padahal mereka juga tinggal di tanah Jawa, tanah leluhur. Apa salahnya mempelajari budaya mereka? Dengan belajar Bahasa Jawa, murid-murid ikut melestarikan warisan leluhur. Dengan belajar Bahasa Jawa, murid-murid juga bisa membedakan cara berbicara dengan orang sesuai umurnya.
“Mohon maaf, Ibu. Saya memahami keinginan para wali murid, tapi Bahasa Jawa sekarang sudah termasuk dalam salah satu mata pelajaran pokok yang ada di kurikulum, jadi kami dari pihak sekolah tidak bisa menghapusnya begitu saja. Sedangkan tentang penambahan jam belajar, itu lebih tidak mungkin lagi.”
“Kenapa? Bukankah tugas kalian para guru adalah ikut mencerdaskan kehidupan bangsa? Lalu, saat ada anak yang kurang fasih berbahasa nasional dan selalu menjadi bahan ejekan, kalian diam saja?”
“Mohon maaf, Ibu. Kami sudah melakukan kewajiban kami. Kami juga sudah mengarahkan dan menuntunnya pelan-pelan. Kami ….”
“Apa kami para wali murid perlu menambah uang bulanan?”
Dada Bu Tini naik turun. Tangannya refleks meremas amplop putih yang ada di hadapannya. Apa-apaan yang barusan didengarnya itu? Bagaimana bisa seorang wali murid merendahkan derajat seorang pendidik dengan uang?”
Bu Tini memejamkan mata sambil beristigfar dalam hati. Diaturnya napas yang sejak tadi memburu, seolah-olah jantung di dalam dadanya hendak memberontak keluar.
Tidak lama terdengar ketukan pintu. Bu Tini melepaskan earphone yang menyumpal telinga dan ponselnya, menekan tombol loadspeaker lalu bangkit dari duduk. Di balik pintu kayu itu, sebuah senyum manis menyapa Bu Tini. Pemilik senyum itu merentangkan tangan, lalu memeluk Bu Tini dengan hangat.
Bu Tini membalas pelukan gadis itu, lalu menuntunnya menuju kursi. Gadis itu duduk tepat di samping kursi yang tadi diduduki Bu Tini.
Wanita berusia empat puluh lima tahun itu tersenyum haru menatap putri semata wayangnya yang baru saja pulang mengajar calistung anak-anak dusun yang kurang mampu. Bu Tini bergegas ke dapur, mengambilkan segelas air. Dengan hati-hati diletakkannya cairan bening itu di atas meja. Bu Tini meraih tangan gadis itu, lalu menempelkannya ke bibir gelas.
“Terima kasih, Ibu.”
Bu Tini hanya tersenyum lalu kembali duduk di kursinya. Sayup-sayup perdebatan masih terdengar lewat ponsel di hadapannya.
“Ibu sedang bekerja?” tanya gadis di sampingnya.
Bu Tini kembali meraih kedua tangan gadis itu, menempelkannya ke pipi, lalu mengangguk.
Tiba-tiba mata Bu Tini berkaca-kaca. Tiap kali menatap Mala, putri semata wayangnya, Bu Tini selalu teringat seseorang. Seseorang yang tidak bisa dilupakan Bu Tini meski keinginan itu begitu besar.
“Ibu, aku sudah menyelesaikan buku ini,” ujar Mala memecah hening.
Bu Tini menatap buku tebal dengan judul huruf timbul, Mahabharata.
“Ibu, Dretarastra terlahir buta karena ibunya menutup mata saat upacara Putrotpadana yang diselenggarakan oleh Resi Byasa untuk memperoleh keturunan. Apakah Ibu juga melakukan hal yang sama?” tanya Mala pelan.
Mata Bu Tini terbelalak, mencoba memahami apa yang sedang ditanyakan oleh putri kesayangannya.
“Apakah Ibu juga menutup mata meski tahu bahwa Ayah adalah laki-laki jahat? Apakah Ibu menutup mata untuk tetap menikah dan hidup bersama meski tahu Ibu akan dicampakkan?” tanya Mala dengan suara bergetar.
Mata Bu Tini berkaca-kaca. Diraihnya tangan Mala, lalu digenggam erat-erat. Meski enggan mengatakan, hati Bu Tini mengakui bahwa semua yang dilaluinya sekarang adalah imbas dari perbuatan suaminya di masa lalu. Dirinya yang dijodohkan dengan anak teman ayahnya, seolah-olah tidak pernah merasakan kebahagiaan.
Bu Tini tahu jika suaminya adalah laki-laki yang sering pulang malam dan bermain wanita. Bu Tini juga tahu jika kebahagiaan hidupnya akan dipertaruhkan usai menikah. Namun, Bu Tini memilih menutup mata dan menipu dirinya sendiri bahwa semua akan baik-baik saja. Dirinya yang selalu berusaha berpikir positif, percaya bahwa kepribadian seorang dosen tidak akan serendah itu.
Namun, takdir tidak bisa dirayu. Usai menikah dan dinyatakan hamil, hidup Bu Tini terasa semakin mencekik. Semua penderitaannya memuncak saat dirinya mengalami pendarahan di usia kehamilan tujuh bulan karena terlalu stres.
“Bu, Ibu baik-baik saja?”
Suara Mala kembali membuyarkan lamunan. Bu Tini bergegas mengusap air mata yang tanpa sadar membasahi pipi.
“Ibu tidak perlu sedih. Meski Dretarasta buta dan harus mengalah pada adik tirinya, tapi beliau tetap memiliki kesempatan untuk menjadi Raja Hastinapura setelah adik tirinya wafat. Bukankah itu pertanda bahwa tiap orang memiliki masanya sendiri? Mala percaya, suatu hari nanti Mala juga akan menemukan masanya sendiri.”
Pertahanan Bu Tini akhirnya runtuh. Dipeluknya Mala yang sedang tersenyum memberinya kekuatan. Bu Tini tidak menyangka, meski tidak bisa merasakan pendidikan sekolah lanjutan karena ketiadaan biaya, Mala terlahir dengan pikiran yang cerdas. Meski buta dan tuli, gadis lima belas tahun itu selalu membuat Bu Tini takjub dengan pemikiran-pemikirannya. Sepertinya hal itu diturunkan dari ayahnya yang seorang profesor.
Tiba-tiba sebuah perdebatan yang bersumber dari ponsel di atas meja membuat Bu Tini kembali menegang. Dengan pikiran kalut, dipasangnya kembali earphone ke ponsel dan menyumpalkannya ke telinga.
“Kami para wali murid sudah sepakat untuk meminta agar pelajaran Bahasa Jawa dihapuskan.”
“Mohon maaf, Ibu ….”
“Baiklah. Kita akhiri saja rapat ini. Saya mewakili para wali murid sudah memutuskan. Jika pihak sekolah tetap menolak, maka saya akan meminta suami saya untuk mencabut semua bantuan dana untuk sekolah.”
“Bu, tenang dulu, Bu. Jangan bertindak gegabah.”
“Kenapa? Kalian pihak sekolah takut kehilangan sokongan biaya? Kalian ingin kami membantu, tapi kalian tidak bisa memenuhi keinginan kami. Lalu, apa gunanya?”
Bu Tini menarik kabel earphone dengan keras. Dua benda mungil itu terhempas ke atas meja secara paksa. Bu Tini tahu betul, bahwa perwakilan wali murid yang suaranya mendominasi itu adalah orang tua salah satu anak didik kesayangannya, Putra. Putra adalah anak pendiam yang cerdas. Dia lahir dan menempuh pendidikan dasar di luar negeri, jadi tidak begitu fasih berbahasa Indonesia. Selain sering mendapatkan ejekan, nilai Putra yang selalu sempurna seolah-olah dinodai oleh pelajaran Bahasa Jawa yang selalu mendapat nilai minus.
“Bagaimana mungkin ada kebijakan bodoh di dunia pendidikan?” gumam Bu Tini pelan.
Sambil menghela napas, ditatapnya kembali amplop putih di atas meja. Amplop berisi uang tiga ratus ribu rupiah upah mengajarnya bulan ini, barangkali akan menjadi amplop terakhir yang akan diterimanya.
Purworejo, 31 Maret 2020
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata