Amplop

Amplop

Amplop

Oleh : Cokelat

Tuan Henry menyodorkan dua buah amplop ke arahku. Seperti biasa, pesannya selalu sama: “Aku titip amplop yang tebal. Amplop yang tipis itu bagianmu.”

Aku mengerjap. Ini sudah yang keenam kalinya dalam beberapa bulan terakhir Tuan Henry menitip amplop padaku.

Aku ingat saat pertama kali dia melakukannya. Waktu itu pertengahan Mei. Dia memanggilku ke ruangannya yang berada di lantai tiga pabrik garmen tempat kami bekerja. Tuan Henry adalah manajer sekaligus orang kepercayaan Tuan William, pemilik pabrik ini.

Aku duduk di depan meja kerja Tuan Henry dengan lutut gemetar, sementara dia menatapku dengan saksama dari balik kacamatanya yang berbingkai bundar. Kupikir aku pasti sudah melakukan kesalahan besar. Tapi apa? Selama ini, belum pernah ada yang bertahan lama setelah dipanggil ke ruangan Tuan Henry. Setelah satu atau dua hari, mereka pasti tak pernah muncul lagi di pabrik. Dari cerita yang beredar, mereka dipecat karena melakukan berbagai kesalahan. Sekarang, apa kesalahanku?

“Kau Ben, kan? Karyawan bagian administrasi?” Suaranya yang berat sangat pas dengan tubuh tinggi besarnya yang terbenam dalam kursi kulit bersandaran tinggi. Kursi itu terlihat sangat empuk dan kokoh, berbeda jauh dengan kursi kami di ruang administrasi di lantai dua. Apalagi dengan kursi-kursi kayu yang ada di lantai satu, tempat seluruh mesin di pabrik ini beroperasi.

Aku mengangguk lemah. Entah mengapa, lidahku terasa kelu. Jangan sampai dia memecatku. Baru dua bulan yang lalu aku menikahi Mary Jane. Uang tabungan selama dua tahun bekerja, habis untuk biaya pesta pernikahan kami. Apalagi sekarang kami berdua pindah dan menyewa sebuah flat di tengah kota. Belum lagi kalau ternyata istriku itu tiba-tiba hamil. Tuhan, dari mana aku bisa memperoleh uang untuk membiayai semuanya jika lelaki berambut pirang ini memecatku?

“Apakah kau bisa dipercaya, Ben?” Suaranya terdengar jauh. Aku tiba-tiba tersadar.

“Eh, iya, Tuan. Aku bisa dipercaya.” Lututku masih gemetar, walau tak sekuat saat pertama kali tiba di ruangan ini.

Dia kembali menatapku dengan penuh selidik.

“Bagus. Aku dengar kau karyawan yang rajin. Alvin bilang, dia suka dengan kinerjamu.” Tuan Henry menyebut nama pemegang kas perusahaan, sekaligus atasan langsungku.

Aku masih belum mengerti arah pembicaraan Tuan Henry. Selama beberapa saat kami saling diam. Tak ada suara apapun yang terdengar dalam ruangan berukuran delapan kali enam meter milik lelaki empat puluhan tahun itu, kecuali bunyi detak jarum jam yang entah mengapa, kurasa berputar sangat lambat. Aku yakin, baju bagian bawah lenganku sudah basah, padahal di sini sangat dingin.

“Apa aku benar-benar bisa mempercayaimu, Ben?” Tuan Henry mengetuk-ngetuk bolpoin Parker hitam miliknya ke atas meja. Aku semakin gugup.

“Iya, Tuan.” Jawaban yang seharusnya terdengar mantap, malah lebih seperti sebuah bisikan.

“Baiklah,” ujar Tuan Henry. Aku memberanikan diri melihat matanya.

Kemudian lelaki itu membuka laci  meja dan mengeluarkan dua buah amplop.

“Ini ada dua amplop. Yang tebal adalah milikku. Aku titip untuk kau simpankan. Sedangkan yang tipis, itu adalah bagianmu. Silakan kau pakai atau tabung. Terserah kau. Tapi, ingat! Ini adalah rahasia kita berdua, apapun yang terjadi. Dan ini bukan hanya sekali ini saja. Ke depannya aku akan sering menitip amplop padamu. Tenang saja, akan selalu ada dua amplop. Amplopku dan amplopmu.” Tuan Henry menerangkan panjang lebar.

Apa maksudnya ini? Aku membutuhkan waktu sekian detik untuk memahami semuanya. Jelas, isi amplop itu adalah uang. Aku bahkan bisa mencium baunya. Tuan besar ini menitipkan uangnya padaku? Lalu aku juga diberi satu amplop. Untuk apa? Sebagai imbalan?  Padahal aku tidak mengerjakan apa-apa untuknya.

Aku memutuskan untuk diam. Lebih tepatnya, aku bingung. Bingung harus berkata apa dan bingung harus bertindak bagaimana.

Tiba-tiba terdengar suara tawa yang menggelegar, memecah keheningan di antara kami. Aku mendongak, mengalihkan pandanganku yang sedari tadi tertumpu pada dua amplop cokelat di atas meja.

Tuan Henry bahkan mengusap air di sudut matanya. Apa yang begitu lucu?

“Alvin benar, kau memang anak yang baik dan lugu. Pilihanku tepat ternyata.”

Lelaki itu berdiri, mengitari meja besar yang mengantarai kami. Aku refleks ikut berdiri. Dia memberi kode dengan tangannya agar aku kembali duduk. Tiba-tiba dia menepuk-nepuk pundakku dari belakang. Aku benar-benar merasa canggung.

“Tenanglah, Ben. Itu uangku. Kau akan tahu kelak, saat usia pernikahanmu sudah sangat lama. Tidak semua uang bisa kita bawa ke rumah. Tidak semua uang bisa kita serahkan pada perempuan yang mengurus kita di rumah.”

Aku mulai paham. Jadi dia tak ingin uangnya diketahui oleh Nyonya Henry? Kenapa dia tak menyimpannya di bank?

“Untuk menyimpannya di bank, aku tak berani. Saudara iparku adalah kepala cabang satu-satunya bank yang ada di kota kecil kita ini. Sekarang kau paham alasanku, kan?” Dia seperti membaca pikiranku.

Jadi itu jawabannya. Dia tak ingin istrinya tahu semua penghasilannya.

“Bagaimana? Kau bersedia membantuku, Ben? Ini akan jadi rahasia kecil kita.” Tuan Henry kembali ke kursinya.

Apakah dia meminta pendapatku? Kurasa tidak. Tentu saja aku tak punya pilihan. Itu hanya pertanyaan basa basi. Dan jika berani menolak, aku tak bisa membayangkan bagaimana nasibku nantinya.

“Iya, Pak.” Suaraku masih terdengar lemah.

Senyum di wajah kemerahan Tuan Henry merekah. “Anak pintar.”

Sejak itu, aku seperti kotak penyimpanan bagi Tuan Henry. Sudah ada lima amplop cokelat tebal miliknya yang tersimpan rapi di laci rahasia di bawah lemari pakaian Mary Jane. Aku tak pernah berusaha mencari tahu berapa isinya. Hanya amplop bagianku saja yang kuserahkan pada Mary Jane.

Awalnya istriku itu sangat bahagia. Jika satu amplop saja senilai dengan tiga sampai empat bulan gajiku, bayangkan apa yang bisa kami beli dengan lima amplop. Sebagian besar isi amplop itu ditabung oleh Mary Jane. Sebagian dipakainya untuk melengkapi isi flat kami yang sebelumnya memang belum terisi banyak perabotan. Kami berencana akan melakukan perjalanan keliling ke beberapa negara dengan kereta saat libur musim panas nanti. Aku akan mengajukan cuti agar bisa berlibur dengan Mary Jane.

Namun, beberapa hari lalu istriku itu bertingkah aneh. Dia terlihat gelisah saat menyambutku kembali dari London. Yah, selama beberapa hari aku ditugaskan Tuan Henry untuk berangkat ke London menemani Tuan Edward, kepala bagian pemasaran perusahaan. Agak aneh sebenarnya, karena sebelumnya hanya karyawan bagian pemasaran yang biasanya bepergian untuk mempromosikan  produk kami.

“Ini hadiah buatmu, Ben. Kau sudah bekerja dengan baik. Ikutlah dan temani Tuan Edward. Lagi pula, bisa saja kau kami pindahkan ke bagian lain jika kau memang berbakat. Kau tak akan melulu mengurus administrasi.” Saat itu kata-kata Tuan Henry meyakinkanku.

Aku meninggalkan Mary Jane sendirian di flat. Dan sejak aku kembali, dia terlihat berbeda.

“Bagaimana, Ben? Apakah kau masih lelah karena baru kembali? Ambil amplop itu dan pulanglah lebih cepat untuk beristirahat.” Suara Tuan Henry menyadarkanku dari lamunan panjang. Itu adalah pengusiran secara halus. Dia memintaku meninggalkan ruangannya.

Aku meraih dua amplop di atas meja dengan ragu-ragu. Baru tadi malam aku berniat untuk berbicara pada Tuan Henry mengenai amplop-amplop titipannya. Aku berniat untuk mengembalikannya dan menolak jika dia memberiku amplop lagi. Tapi nyatanya? Aku bahkan tak bisa membuka mulutku. Aku merutuki diri sendiri.

“Sayang, ini amplop dari Tuan Henry.” Malamnya, saat bersiap tidur, aku menyerahkan dua amplop pada Mary Jane.

Wanita itu menatapku dengan tatapan penuh keraguan. “Ben, aku ingin mengatakan sesuatu.”

Dan apa yang keluar dari mulutnya kemudian, benar-benar membuatku shock.

“Beberapa jam setelah keberangkatanmu ke London, Tuan Henry datang ke sini.”

Aku langsung terduduk di atas ranjang. Ada perlu apa sampai lelaki itu datang ke tempat kami? Dan anehnya, dia tak menyinggungnya sedikitpun saat aku tadi berada di ruangannya.

Aku menunggu Mary Jane melanjutkan ceritanya, tapi dia memilih untuk membisu. Istri cantikku itu terlihat gelisah. Mata besarnya yang indah tak berani menatapku. Kulirik, dia meremas-remas kedua tangannya.

“Lalu? Apa yang dia katakan, Jane?”

Kepala yang terbungkus rambut ikal kecokelatan itu menggeleng. “Tidak banyak. Tidak penting.”

Tiba-tiba Mary Jane menghambur kepelukanku dan melingkarkan kedua lengannya dengan sangat erat ke tubuhku. “Ben, keluarlah dari perusahaan itu. Carilah pekerjaan yang lain. Aku mohon.”

Hanya itu yang dia katakan. Selanjutnya kami hanyut dalam keheningan hingga akhirnya Mary Jane tertidur di pelukanku. Ada apa sebenarnya? Aku yakin, ada yang disembunyikan Mary Jane. Kenapa dia tak berkata jujur?

Pagi ini aku harus tiba di pabrik lebih cepat dari biasanya. Aku harus bertemu dengan Tuan Henry dan menyelesaikan semuanya. Brengsek! Kenapa aku begitu lemah saat berhadapan dengan lelaki itu?

Aku sedang memasukkan keenam amplop Tuan Henry ke dalam tas kerja ketika terdengar suara ketukan dari pintu depan. Mary Jane menatapku dengan pandangan khawatir.

“Tidak apa-apa, Sayang. Itu mungkin Nyonya Edmond.” Aku menyebut nama tetangga flat kami. Seorang janda tua yang tinggal sendiri dan sering mengunjungi istriku akhir-akhir ini. Mary Jane bergegas membuka pintu.

“Kami dari kepolisian. Apakah Tuan Benyamin Benson ada di rumah?”

Tas yang kupegang jatuh ke lantai. Ada apa ini? Mengapa polisi mencariku?

Semua terjadi begitu cepat. Tiga orang polisi menghambur masuk, menggeledah seluruh ruangan dan menemukan yang mereka cari dalam tas kerjaku, amplop-amplop Tuan Henry.

Bagaimanapun aku berupaya menjelaskan bahwa amplop-amplop itu bukan milikku, mereka tetap tak mau mengerti. Aku dilaporkan pihak perusahaan telah menggelapkan sejumlah uang dengan cara memanipulasi data penjualan. Bagaimana bisa? Lututku seakan tak bertulang, aku terduduk lemas di atas lantai. Mary Jane menatapku dengan pandangan yang tak dapat kumengerti dari depan pintu kamar kami. Ada air mata yang mengalir di kedua pipinya, tapi dia begitu tenang.

Tuan Alvin mengunjungiku keesokan harinya. Dia bersama seorang pengacara. Kepalaku sangat sakit. Mataku sembap. Semalaman aku tak bisa tidur. Aku tak habis pikir, bagaimana aku bisa berakhir di penjara ini? Aku, yang tak pernah berbuat jahat apalagi melanggar hukum seumur hidupku.

Tuan Alvin memandangku dengan tatapan iba. Dari balik jeruji besi, dia berbisik, “Aku membawa pesan dari Tuan Henry. Turuti semua perintahnya, ikuti yang dikatakan oleh pengacara ini, dan kau akan bebas. Walaupun kau dihukum, tidak akan lama. Begitu orang-orang lupa akan hal ini, kau pasti dibebaskan. Pokoknya, ikuti saja perintahnya.” Setelah itu mereka meninggalkanku.

Beberapa hari kemudian pengacara itu kembali. “Aku menyampaikan pesan dari Tuan Henry. Tanda tangan di sini jika kau ingin bebas.”

Aku meraih kertas yang disodorkan ke arahku dengan malas. Apa? Apa-apaan ini? Surat permohonan perceraian? Mengapa aku harus bercerai dari Mary Jane jika ingin bebas?

Semua yang terjadi begitu membingungkan. Jadi, Tuan Henry sengaja menjebakku? Demi uang? Demi Mary Jane? Atau jangan-jangan Mary Jane bekerja sama dengannya? Karena itukah dia bersikap aneh belakangan ini?

Aku berteriak keras. Kepalaku sangat sakit dan seakan mau pecah. (*)

Kamar Cokelat, 17 Desember  2021

Cokelat, penulis yang masih terus belajar dan belajar.

Editor : Nuke Soeprijono

Sumber Foto

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply