Amoy
Oleh: Aisyah Rizkyana Ramadhani
Amoy adalah nama panggilannya. Nama yang sangat cocok untuk gadis muda dengan semangat tinggi dalam bekerja. Putih, tinggi, cantik, serta wajah bak wanita cina yang membuat nama itu selalu melekat. Para petani itu memuji kecantikannya, dan terkadang menggodanya hingga pipinya bersemu merah dipandang mata. Senyumnya manis bagai madu segar yang baru diambil dari sarang. Ketika tangannya menyentuh tumpukan tembakau, aduhai irinya para petani itu akan tembakau yang disentuhnya.
“Lihat, Toha, gadis cantik tuh!” ujar seorang petani tua kepada pemuda yang sedari tadi bekerja keras.
“Apa sih, Kang? Aku lagi kerja nih,” seru pemuda itu tak menghiraukan petani tua yang memasang wajah jengkel.
“Huuh, kamu ini, Ha … Toha. Tak kasih tahu cewek cantik aja gak mau, kamu kan masih muda. Mungkin saja tertarik sama gadis secantik Amoy.”
Petani tua itu terus saja berceloteh, namun hal itu sebenarnya sia-sia. Karena Toha sedang asyik mencangkul tanah.
***
“Kamu ingat ya, Inah, adik-adik kamu butuh uang untuk sekolah. Jadi, Emak harap kamu harus bantu Emak untuk bekerja lebih keras lagi,” kata perempuan yang wajahnya sudah keriput.
“Iya, Mak. Inah janji akan bikin adik-adik sekolah seperti pesan almarhum Bapak,” kata Inah dengan senyum yang menutupi air mata yang sedari tadi terbendung.
Inah yang tak lain nama asli Amoy itu pun masuk ke kamar sambil menahan air mata agar tidah jatuh. Di kamar yang kecil nan berdinding anyaman bambu itu menjadi tempatnya untuk mengadu dalam kesendirian.
“Emak kenapa gak ngerti perasaan Inah? Inah juga ingin melanjutkan sekolah lagi,” ujarnya dalam hati yang tercurahkan melalui air mata ketulusan.
“Mbak Inah kenapa, kok nangis?” tanya adik terkecil Inah yang sangat dekat dengannya.
“Enggak kok, Mbak cuma lelah habis bekerja. Kamu bagaimana sekolahnya?”
“Adi kan pintar, Mbak. Tadi waktu ada ulangan, Adi dapat 60. Hebat, kan?” seru adik kecilnya dengan semangat.
Inah menghela napas mendengar perkataan adiknya. Tangan lembutnya membelai helai demi helai rambut dan mencoba mengembangkan senyum.
“Adi rajin belajar ya! Mbak Inah sama Emak kan kerja buat sekolah Adi, jadi besok-besok usahakan nilai Adi naik jadi 70 atau 100. Bisa, kan?”
“Bisa, Mbak! Adi janji akan buat Mbak Inah senang,” ucapnya yang seketika menggetarkan hati Inah. Dan tak lama, Adi memeluknya dengan erat.
***
Keesokan harinya, di kala mentari masih malas untuk terbangun, Inah sudah berangkat ke perkebunan tembakau untuk bekerja.
Sreek … sreek … sreek ….
Terdengar gesekan semak belukar dari ujung perkebunan. Udara dingin seketika menjalar di tubuh Inah. Merinding. Beberapa petani perempuan sudah ada yang datang, namun tampaknya mereka cuek dengan suara itu.
“Apa ya? Jangan-jangan ada sesuatu yang terjadi,” pikir Inah dengan rasa penasaran yang tinggi. Kakinya melangkah perlahan, dengan napas yang terdengar berat.
Ketika sampai di depan semak itu, suaranya tampak jelas dan bulu kuduk Inah semakin berdiri.
Satu … dua … tiga ….
“Siapa kamu?” teriak Inah sembari menyingkirkan semak-semak itu untuk melihat dalang di baliknya.
“Hah?” teriak seseorang balik dari arah semak-semak itu.
Tiba-tiba, semuanya hening.
“Hei, kamu ngapain teriak?” tanya orang itu.
“Kamu lagi apa di balik semak-semak?” tanya Inah yang suaranya mulai lebih tenang.
Seseorang itu berdiri dan keluar dari semak-semak. Matanya menatap beberapa detik wajah gadis di hadapannya. Ia tersenyum sekilas, namun menunduk seketika.
“Maaf, aku telah mengganggu pekerjaanmu. Aku sedang belajar di balik semak ini, karena suasanya lebih damai.”
Jleeb!
Kata seseorang itu menusuk hatinya. Mereka memiliki mimpi yang sama untuk belajar, tapi hanya Inah yang masih bermimpi tanpa berusaha. Saat itu pula, Inah menunduk serta meminta maaf.
“Hei, kamu juga bekerja di sini? Tampaknya aku belum pernah bertemu denganmu,” kata seseorang itu.
“Iya, perkenalkan namaku Inah. Siapa nama kamu?”
“Aku Toha, seorang pemuda yang merantau dari kota seberang untuk mengais rezeki,” jawab pemuda itu dengan lantang.
Di hari itu, mereka saling berkenalan. Bertukar senyum dan sapa, serta saling belajar bersama untuk mencapai mimpi sedari dulu. Meski tanpa duduk di bangku sekolah.
***
Pernahkah kalian jatuh cinta? Ketika senyum, sapa, serta perilaku darinya membahagiakan hati. Beberapa bulan telah berlalu, benih-benih cinta telah tumbuh sebagai sebuah bibit impian untuk dapat memiliki. Gadis cantik nan polos dengan sapaan Amoy, kini telah jatuh cinta pada pemuda rantau itu. Ia kini sering tersipu malu ketika tingkah laku Toha mampu menggelorakan hatinya. Apalagi, dengan sikap tangguh dan dinginnya Toha mampu meluluhkan gadis polos itu.
“Apa kamu tidak menyukai gadis-gadis di perkebunan ini, Toha?” tanya Inah sembari memandang Toha yang sibuk membaca buku cerita Si Kancil.
“Suka? Apa kamu gila Inah? Suka itu untuk orang-orang yang punya segalanya. Aku masih pemuda miskin dan tak berpendidikan, tidak mungkin menyukai orang. Aku masih ingin menabung untuk sekolah. Bagaimana denganmu?”
“Aku ingin sekolah juga, tapi bagaimana dengan adik-adikku? Mereka lebih berhak menjadi hebat daripada aku, Toha.”
“Ya, aku tahu kamu. Kita masih muda dan berhak memiliki impian tinggi. Dan aku yakin, kamu memiliki impian tinggi itu, tapi kamu masih terbebani dengan tanggung jawab. Aku tahu itu,” kata Toha yang memukul pelan pundak Inah tanda menenangkan.
“Tetap semangat, Inah. Aku yakin kamu adalah sebuah mutiara yang masih tenggelam dalam lumpur kehidupan ini,” lanjutnya.
Hari berlalu cepat. Sore sudah mulai datang, dan saatnya Inah pulang. Ia pamit kepada para petani yang sudah berhenti menggoda, karena mereka berpikir Inah dan Toha sudah menjalin kasih. Toha adalah sosok terakhir yang ia pamiti saat itu. Inah melihat peluh terjun perlahan dari dahi Toha yang sedari tadi sibuk bekerja.
“Selamat tinggal, hari ini.”
***
Keesokan harinya, Inah bergegas mencari Toha untuk belajar kembali. Namun, tak seperti biasanya laki-laki itu belum datang. Hati Inah cemas melihat keadaan hari ini.
“Amoy!” teriak seorang petani dengan capil di kepalanya sambil berlari kecil menghampirinya.
“Anshor? Ada apa?” tanya Inah penasaran.
“Toha pulang kampung ya? Tadi aku melihatnya menunggu bus di pinggir jalan, kenapa kamu tidak bilang kepadaku dan lainnya?” kata petani itu yang tak disadari telah menusuk-nusuk hati Inah.
“Pulang kampung? Aku tidak tahu, Shor.”
Setelah mendengar kabar itu, Inah berlari secepat mungkin. Tampak para petani itu melongo dan menggeleng wajanya. Mereka tak menyangka, bahwa Toha dengan teganya melukai gadis sepolos Inah.
***
Jalan besar itu masih ramai. Terlihat orang-orang berdiri melambai ke jalan. Mata sipitnya, sekejap mampu mendeteksi adanya Toha dari balik kerumunan itu.
“Toha? Kenapa kamu pergi tanpa izin?” tanya Inah dengan penuh amarah.
“Kamu tahu dari mana aku pergi?”
“Kamu tida perlu tahu soal itu, tapi kamu perlu tahu kalau kepergianmu akan melukai aku. Apalagi tanpa ucapan perpisahan,” kata Inah yang tak terasa air mata jatuh membasahi pipinya.
“Berhenti, Inah! Aku tahu dengan perasaanmu, maka dari itu aku berusaha meninggalkanmu tanpa perpisahan. Aku pergi untuk mengejar mimpiku, Inah. Aku akan sekolah dan mewujudkan mimpi yang dulu hanya sekedar angan,” ujar Toha yang mengeringkan genangan air mata di pipi.
“Kamu akan kembali, Toha?”
“Iya, Inah. Setelah, mimpi ini tercapai. Aku akan menemuimu dan membawamu dalam setiap keberhasilan mimpiku.”
“Janji, Toha?”
“Apa kamu pikir ada dusta di wajahku? Aku takkan mengingkari janjiku, Inah. Aku jani kepadamu!” ucap Toha yang beberapa menit berteriak mengikrarkan janji di pinggir jalan.
“Aku mencintaimu, Inah. Kamu adalah perempuan yang takut aku lukai. Tapi maaf, aku masih manusia biasa yang belum bisa menjaga hatimu.”
“Aku selalu mencintaimu, Toha. Selalu dan selamanya,” bisik Inah seraya tersenyum mengiringi keberangkatan Toha dengan bus.
***
Tahun mulai berjalan dengan cepat. Berganti seiring berjalannya usia. Perkebunan tembakau itu sudah tersingkir oleh tumpukan beton yang bernama pabrik. Para petani itu sudah berhenti, entah karena usia maupun panggilan sang Ilahi yang menghampiri.
“Yut, lihat nenek itu!! Sedari siang hanya duduk memandang tumpukan tembakau kering di samping rumah. Apa nenek itu sakit?” tanya bocah kecil yang tangan mungilnya menunjuk perempuan tua di teras rumahnya.
“Mungkin hanya tertidur, Cu. Kamu tidak perlu khawatir dengan nenek itu.”
“Siapa nama nenek itu, Yut?”
“Dulu nenek itu sangat cantik di tempat kerja Buyut. Namanya, Nenek Amoy.”
“Lucu namanya, Yut. Nenek itu memang cantik, saat tertidur saja masih tersenyum. Hehehe …,” goda bocah kecil itu pada buyutnya.
Bruuuk ….
Tiba-tiba, tubuh perempuan tua itu jatuh ke depan. Tak ada rasa sakit baginya dengan jatuh seperti itu. Bocah kecil dan buyutnya segera menghampiri untuk menolongnya.
“Innalillahiwainnailaihirojiun, Nenek Amoy meninggal,” ujar buyut itu pada cucunya. Mereka bergegas mencari pertolongan dari warga, serta adiknya—Adi—yang masih serumah dengan nenek itu.
Dipegangnya surat itu dengan erat. Surat yang datang lima tahun, setelah perpisahannya dengan Toha. Dibacalah surat itu oleh Adi dengan penuh haru air mata.
Untuk Inah, Amoy bagi mereka
Aku sudah mencapai semua impianku, Inah. Aku sudah lulus sekolah dan melanjutkan Diploma dengan nilai baik. Apa kamu bangga? Aku merasakan hal itu, saat ini. Aku mencintaimu, Inah. Tapi, impianku sepertinya tidak pantas untukmu. Aku sudah menemukan perempuan yang pantas untuk impianku. Perempuan yang memiliki pendidikan sama denganku. Aku tahu bahwa kamu mutiara di dalam lumpur, tapi aku ingin mutiara yang muncul dalam air bening.
Maafkan aku atas keegoisanku. Jangan kamu menungguku dan mengabdikan cintamu untukku. Maaf.
Laki-laki di balik semak kala itu,
TOHA
Adi memandang wajah Inah yang disayanginya itu dengan tatapan kasihan. Bagaimana perempuan penuh pengorbanan itu harus mendapat nasib buruk akibat cinta? Dengan kesendiriannya, ia sembunyikan rasa itu tanpa ada yang tahu. Sungguh, saat itu Adi menjadi sosok yang paling bersedih, karena tak pernah mengetahui impian mbaknya.
Senyum masih ada dalam bibirnya. Kain putih menutupi tubuh yang dulu diagung-agungkan para pemuda. Wajah cantiknya kini telah musnah tersingkir pucat, namun yang terbekas dalam benak semua orang hanya kepedihan hidup dari perempuan cantik itu.
Semua orang membawa perempuan itu menuju peristirahatan terakhir. Kini, Amoy yang cantik dan polos sudah terkubur dengan kenangan. Surat dari laki-laki itu pun, telah tersobek-sobek hanyut terbawa arus sungai.
Nama Amoy masih menjadi cerita tragis dalam dunia fana. Cerita perempuan cantik yang cintanya hancur karena dusta. Namun, takdir tetaplah takdir untuknya. Semoga di surga-Nya nanti, cinta tulus dan pengabdiannya akan terbalas dengan kebahagiaan.
Aisyah Rizkyana Ramadhani, seorang perempuan yang berasal dari Kabupateng Lumajang, yang kini merantau ke Kota Malang untuk pendidikan.
FB : Aisyah Rizky Ramadhani
IG : @aisyahrramadhani
WA : 081334289443
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata