Ambivalen
Oleh: Ika Mulyani
Bagaimana rasanya mencintai dan membenci sekaligus terhadap orang yang sama? Pasti menyesakkan.
Dumbledore sudah menyampaikan padaku–tentu aku pun sudah menghitung–bahwa putra Lily mulai masuk Hogwarts tahun ini.
Dengan wajah pucat dan tubuh yang tampak menggigil–sepertinya tersebab kedinginan sekaligus ketakutan–puluhan siswa baru mengantri untuk dipakaikan Topi Seleksi.
Minerva mulai menyebutkan nama-nama siswa baru itu, dan Topi Seleksi dipakaikan di kepala mereka secara bergiliran. Topi ajaib milik Godric Gryffindor itu lalu menyerukan nama asrama tempat para siswa tinggal selama bersekolah.
“Harry Potter!” Seruan guru ilmu transfigurasi itu membuat seisi Aula Besar hening seketika. Semua orang–dan juga para hantu–menegakkan tubuh mereka. Nama itu memang benar-benar sudah melegenda, sebagai “Anak yang Bertahan Hidup”.
Menyeruaklah seorang anak dari barisan. Ternyata benar yang di-gosipkan orang-orang. Sosok bocah itu begitu serupa dengan ayahnya–orang yang sangat aku benci.
Seketika, kenangan masa lalu yang suram itu hadir di dalam benak. Tergambar jelas di ingatan, bagaimana aku dulu dipermalukan oleh pria arogan itu di hadapan banyak orang, membuat rasa benci yang sama saat ini menggelegak di hatiku, untuk anak laki-lakinya.
Lama sekali topi ajaib itu memutuskan pilihan untuk si Potter Junior. Teriakan “Gryffindor!” yang akhirnya diserukan Topi Seleksi, membuat meja paling kiri bergemuruh oleh sorakan para siswanya.
Hm, sayang sekali. Seandainya si Topi memilihkan asrama yang kupimpin untuk bocah terkenal itu, tentu aku akan bisa memiliki kuasa lebih dari seorang guru untuknya.
Pertemuan pertama di kelas Ramuan keesokan harinya, semakin menambah ambivalen dalam hatiku.
Tidak seperti Lily yang pintar dalam pelajaran ini, Harry bahkan terlihat dungu di mataku. Selalu saja ada yang salah langkah saat ia mengerjakan tugas yang kuberikan. Padahal, aku sudah menulis prosedurnya dengan rinci di papan tulis.
“Dasar bodoh!” Aku mengumpat kesal.
Segera kulapalkan mantra pelenyap, hingga ramuan kacau buatan bocah itu hilang tak berbekas.
Tatapan kami lantas beradu. Sorot kesal dan juga benci, terpancar dari mata yang irisnya berwarna … hijau.
Aku tertegun. Dumbledore benar! Mata bocah itu …. Tubuhku terasa dingin, bagai dimantrai dengan Penghilang Ilusi. Tak sadar, aku membisikkan nama wanita terkasih itu, lirih.
Aku segera berpaling. Tuhan, mata anak itu … sempurna duplikasi mata Lily! Ibarat diberi mantra Geminio! Mau tidak mau, rasa rindu akan wanita pujaan memenuhi hati, dan mengingatkan janjiku pada Dumbledore. Ya, aku telah bersumpah untuk menjaga anak itu, demi cintaku pada ibunya. Sekali lagi, aku menatap mata hijau itu, dan menghela napas.
Lily, betapa aku merindukanmu!
Tahun-tahun berlalu dengan cepat. Kecenderungan Harry untuk melangggar berbagai peraturan sekolah, semakin mengingatkan aku pada ayahnya, dan menambah kebencian di hati. Apalagi kemudian muncul berbagai peristiwa menyebalkan di tahun ketiga anak itu di Hogwarts.
Keputusan Dumbledore untuk menerima Remus Lupin sebagai guru Pertahanan terhadap Ilmu Hitam, membuat aku meradang.
“Berkali-kali saya mengajukan posisi itu kepada Anda, dan Anda menolak. Sekarang, dengan mudah manusia serigala itu mendapatkannya?!”
Albus Dumbledore hanya tersenyum menanggapi protes itu. Ia malah memintaku untuk membuatkan ramuan anti manusia serigala setiap malam, bagi Lupin.
“Itu ramuan yang sangat rumit, kau pasti tahu. Aku hanya percaya padamu, Severus. Kau tidak akan melakukan kesalahan dalam meramunya.”
Aku mendengkus. Andai pria tua itu bukan satu-satunya orang yang mau menerima dengan lapang dada atas kehadiranku–setelah kehancuran Pangeran Kegelapan–takkan mau aku memenuhi permintaan konyol tersebut.
“Lakukanlah! Demi kebaikan putra Lily!”
Aku mendengkus. Lagi. Dumbledore seolah tahu, kalimat itu adalah senjata terampuh untuk meluluhkan hati ini. Ya, cintaku terlalu besar untuk Lily, hingga aku merelakan gadis itu berbahagia bersama si Angkuh James Potter.
Kehadiran Sirius Black sekaligus Peter Pettigrew di penghujung tahun, semakin membuat aku berang. Andai James Potter masih ada, lengkap sudah kelompok pengacau hidupku itu!
Sayang, usahaku untuk menyerahkan Black pada para dementor–juga kesempatan untuk mendapatkan penghargaan Order of Merlin Kelas Kedua–gagal! Ia, dan juga Pettigrew, berhasil kabur, entah bagaimana caranya. Namun, aku yakin sekali, Potter kecil amat berperan dalam pelarian keduanya, meskipun Dumbledore membantah.
Berita kembalinya Pangeran Kegelapan membuatku gamang. Namun aku selalu ingat akan pesan Dumbledore, “Jika Voldemort bangkit lagi–dan aku yakin dia akan–kembalilah padanya! Aku percaya padamu! Aku yakin, kau bisa menjalankan tugasmu dengan baik. Demi kebaikan putra Lily.”
Kalimat sakti itu lagi!
Berkat penguasaanku yang paripurna atas Legilimency–ilmu pengendalian pikiran–jadilah aku kini, pelahap maut terdekat Pangeran Kegelapan, sekaligus informan terpercaya bagi Dumbledore. Aku bisa saja dinobatkan sebagai agen ganda terbaik.
Aku tahu, hanya Dumbledore-lah penyihir putih yang mempercayaiku. Aku paham, yang lain tetap meragukan dedikasiku untuk kebaikan.
Andai mereka tahu–sebagaimana Dumbledore yakin–cintaku pada Lily sangatlah besar. Mereka seharusnya percaya, apa pun akan kupertaruhkan untuk keselamatan putranya, meski kebencian pada sosok ayah si bocah, tidak bisa kusingkirkan dari hati.
Kematian Dumbledore di tanganku dua tahun kemudian, semakin membuat kebencian para penyihir putih padaku menjadi-jadi. Seharusnya mereka tahu, pria tua itu sendiri yang meminta–memohon tepatnya–padaku, untuk menghabisi nyawanya dengan mantra kematian, Ava Kedavra. Mantra yang telah menewaskan kekasihku dan suaminya.
Terpaksa aku meninggalkan sekolah sihir itu, meskipun hanya untuk sementara. Beruntung, penyihir hitam akhirnya berhasil menguasai Kementerian Sihir, dan aku diangkat menjadi kepala sekolah Hogwarts. Aku pun bisa melanjutkan perlindungan pada putra Lily.
Namun, Harry, Ron, dan Hermione ternyata tidak kembali ke Hogwarts di awal tahun ketujuh mereka.
“Mereka sedang menjalankan tugas dariku, Severus.” Begitu kata potret Dumbledore, membuat dahiku berkerenyit. “Tugas rahasia. Tetaplah bantu mereka!” lanjutnya dengan senyum.
Hm, baiklah! Meski aku benci rahasia, aku tetap menurut saat potret Dumbledore memintaku mengantarkan pedang Gryffindor untuk mereka, secara sembunyi-sembunyi.
Syukurlah, walau tengah berada dalam pelarian, putra Lily terlihat baik-baik saja. Semoga ia dan kedua sahabatnya berhasil melaksanakan misi, apa pun itu.
Pasukan Pangeran Kegelapan menyerang Hogwarts! Aku sungguh khawatir akan nasib putra Lily. Kebetulan, Pemimpin para penyihir hitam itu memintaku menghadap. Pertemuan itu lantas kumanfaatkan untuk memohon, agar aku mencari dan membawa Harry Potter ke hadapannya.
“Tak perlu bersusah-payah mencarinya, Severus. Dia yang akan datang menemuiku!” tukas Pangeran Kegelapan sambil tersenyum mengejek.
Tentu saja aku tahu itu. Aku bermaksud mencari dan melarikan Harry, menjauh dari semua kekacauan ini. Aku tidak ingin putra kekasihku mati.
Akan tetapi, ternyata aku sendiri yang harus menghadapi kematian. Demi mendapatkan kesetiaan Tongkat Elder, Pangeran Kegelapan memerintahkan ularnya untuk membunuhku.
“Lily … maafkan aku, tak bisa lagi menjaga Harry untukmu.” Kupejamkan mata, seiring taring tajam Nagini menghunjam di kulit leherku.
Kudengar Pangeran dan ularnya kemudian pergi, seiring menjalarnya bisa Nagini di sepanjang nadiku. Pandangan mengabur oleh genangan air mata. Betapa senangnya hati ini, saat kulihat putra Lily muncul di hadapanku, entah dari mana.
Sekuat tenaga yang tersisa, segera kupaksa seluruh ingatanku tentang Lily, keluar dari alam pikiran. Tampak substansi ingatan bermunculan dari seluruh celah di wajahku.
“A-ambil i-itu …,” lirihku seraya mencengkeram lengan Harry.
Sebuah tabung bertutup disodorkan oleh Hermione. Aku lega, semuanya berhasil tertampung di dalamnya.
Sekali lagi, kutarik Harry, putra kekasihku, untuk mendekat. “L-lihat a-aku ….” Aku ingin menatap mata Lily untuk terakhir kali. Mata yang sangat indah.
“I l–love y-you ….” Aku tak yakin Harry mendengar kalimat terakhirku. Semua sudah menjadi gelap. (*)
Ika Mulyani, lahir di Bogor, 44 tahun lalu. Di sela kesibukannya sebagai ibu dari dua anak, ia juga mengajar matematika di sebuah bimbel. Hobby membaca membuatnya mencoba untuk menulis, dengan harapan dapat berbagi sedikit ilmu dan inspirasi. Salah satu mimpinya adalah, menulis buku “Fun Math for Kids and Moms”.
Editor: Evamuzy
Sumber Gambar: pinterest.com