Ambisi
Oleh : Ardhya Rahma
Dari balik tirai, aku menatap ke arah ruang tunggu Klinik Dokter Handari. Masih setengah jam lagi waktu pelayanan dimulai, tapi mereka sudah duduk menanti gilirannya. Klinik Dokter Handari memang cukup dikenal di Surabaya, tidak heran kalau memiliki banyak pelanggan.
Puas mengintip, aku pun menuju ruang belakang untuk bersiap.
“Andai aku menjadi dokter … pasti aku akan memilih menjadi dokter spesialis kulit,” kataku pada Irma, teman kerjaku.
“Kenapa?” tanya Irma.
“Aku suka melihat perempuan cantik. Suka juga melihat lelaki ganteng. Bagiku cantik dan ganteng itu karena mereka pintar merawat diri.”
“Terus apa hubungannya dengan cita-citamu tadi? Kan tidak semua perempuan cantik atau lelaki ganteng butuh dokter spesialis kulit!” tandas Irma.
“Betul, tapi suatu saat entah disebabkan oleh apa, mereka akan membutuhkannya.”
“Terserah deh. Semoga kamu bisa mencapai cita-citamu.”
Irma pun berlalu setelah mengucap doa tersebut. Entah ucapannya itu tulus atau mengandung ejekan, aku tetap mengaminkannya. Aku tidak pernah berputus asa, karena percaya apa pun bisa terjadi kalau Tuhan berkehendak.
Sebagai gadis yang berasal dari sebuah dusun yang dibatasi hutan dan sungai di Kota Blitar, aku tahu artinya kerja keras. Mata pencaharian sebagai petani atau buruh tani yang tidak mencukupi membuat warga dusunku senang bekerja di luar negeri.
Sebagai TKI, banyak dari mereka yang berhasil mengubah kehidupannya. Rumah berlantai keramik dan dinding tembok adalah saksi kesuksesan mereka. Bahkan, ketika akhirnya listrik masuk ke dusun kami, mereka termasuk orang yang pertama bisa memasangnya. Namun, tidak semua bisa seberuntung itu. Ada juga yang berakhir tragis seperti Nanik dari dusun sebelah. Dia pulang dalam kondisi mengenaskan setelah dipukuli majikannya. Beruntung dia masih terselamatkan.
Itu sebabnya, ketika lulus SMA aku tidak diizinkan Ibu untuk menjadi TKI. Sebagai anak tertua, aku adalah pengganti Ayah yang sudah meninggal. Ibu takut aku berakhir tragis dan harus kehilangan nyawa, hingga dia tidak lagi memiliki tempat berbagi suka dan duka sekaligus seseorang yang akan membantunya membesarkan dua anak perempuannya yang lain.
Padahal, aku ingin mengumpulkan banyak uang agar bisa kuliah. Meski berasal dari keluarga miskin, otakku encer hingga bisa sekolah di SMA dengan beasiswa. Sayang, untuk kuliah tidak semudah itu mencari beasiswa. Apalagi, selain uang kuliah, perlu membeli buku, tempat tinggal, dan biaya hidup. Alhasil, sampai sekarang aku belum bisa melanjutkan kuliah.
Akhirnya, merantau ke kota besar yang dekat dengan dusun tempat keluarga kami tinggal menjadi sebuah solusi. Kali ini Ibu izinkan, karena aku bisa pulang beberapa bulan sekali. Toh, Surabaya-Blitar bisa ditempuh dalam tiga sampai lima jam tergantung angkutan yang dipilih.
Di Surabaya aku bekerja di sebuah salon kecantikan milik seorang dokter. Karena tidak berpengalaman, awalnya aku bertugas menyiapkan seluruh perlengkapan salon, seperti handuk, selimut, dan lainnya. Berkat kerja keras dan rajin belajar, tidak sampai satu tahun aku mulai diizinkan memegang pelanggan yang ingin melakukan creambath, manicure, pedicure, dan perawatan tubuh lainnya. Beberapa pelanggan yang puas dengan pelayananku tak segan memberi uang tip. Lumayan buat menambah tabungan yang rencananya akan kugunakan untuk kuliah kedokteran.
Suatu hari, satu tahun sudah aku bertugas merawat pelanggan di salon kecantikan ini, pemilik salon ini memanggilku.
“Mbak Rini, saya suka dengan cara kerjanya, sigap dan ramah. Banyak pelanggan puas dan memuji Mbak Rini. Terima kasih, ya,” puji Dokter Handari yang membuatku tersenyum malu.
“Apakah Mbak Rini tertarik untuk mengembangkan diri? Kalau ya, boleh memilih tetap di salon atau di klinik. Di salon, Mbak sudah boleh mulai belajar memotong rambut, menghias rambut, dan lainnya. Akan tetapi kalau memilih klinik, Mbak Rini mulai dari awal, membantu saya mempersiapkan kebutuhan pelanggan. Setelah lancar dan saya anggap siap baru saya ijinkan Mbak menangani langsung klien di bawah pengawasan saya. Bagaimana, Mbak?” tawar Dokter Handari.
Aku yang sejak awal bercita-cita menjadi dokter spesialis kulit, tentu saja tidak melewatkan tawaran ini. Aku memilih menjadi asisten Dokter Handari. Kuanggap ini latihan sebelum aku bisa kuliah kedokteran, menjadi dokter umum dan melanjutkan menjadi dokter spesialis kulit.
Banyak yang kupelajari selama menjadi asisten Dokter Handari, mulai menentukan jenis kulit sampai treatment yang sesuai untuk diberikan. Bahkan, setelah sembilan bulan aku bisa meracik masker herbal sesuai jenis kulit pelanggan. Hanya untuk beberapa perawatan yang memerlukan suntikan, seperti botox, vitamin C, serta pemutih kulit, yang tidak kutangani langsung.
Bukan hanya pekerjaan yang kupelajari dari Dokter Handari, tapi sikapnya juga. Senyumnya ketika mendengar keluhan pelanggan, ketika menyarankan treatment, bahkan caranya menghadapi protes pelanggan. Ibaratnya aku menyerap semuanya baik yang diajarkan secara langsung atau tidak.
“Mbak Rini makin terampil saja. Enak banget lho kalau facial dipegang sama Mbak,” puji Bu Aida salah satu pelanggan yang kutangani.
“Menurutku malahan enak dipegang Mbak Rini dibanding Dokter.”
“Ah, Bu Aida bisa aja. Mana bisa begitu, Bu. Kan, lebih ahli Dokter Handari.”
“Faktanya, kalau Mbak Rini yang buang komedo enggak terasa sakit, sementara dulu dipegang dokter, sakitnya sampai keluar air mata. Totok wajah juga lebih enak dengan Mbak,” tukas Bu Aida.
“Kalau aku ada uang, aku mau lho bukain salon buat Mbak.”
Mau tak mau, pujian itu membuatku jadi berkhayal punya salon kecantikan sendiri. Pasti aku bisa lebih banyak menabung.
Bukan cuma sekali Bu Aida bicara seperti itu. Berulang kali. Tiga bulan kemudian, bahkan beliau mengatakan sudah menyiapkan dana untuk membuka salon kecantikan.
Awalnya aku hanya tertawa dan menolak halus tawaran beliau. Seiring waktu, dengan semakin banyaknya pelanggan yang memuji dan menyampaikan hal sama seperti Bu Aida, aku mulai goyah. Semakin lama aku makin galau, dan akhirnya memilih mengundurkan diri dari salon dan klinik kecantikan Dokter Handari setelah bekerja di sana dua setengah tahun. Pengalaman satu setengah tahun menjadi asisten Dokter Handari kuanggap cukup untuk membuka salon sendiri.
Aku memandang senang ke arah bangunan bercat hijau muda berukuran 5×12 meter. Rumah tersebut milik Bu Aida, yang bagian depannya sudah dirombak menjadi sebuah salon. Bisa dibilang salon ini adalah miliknya, aku hanya menjalankan dengan perhitungan bagi hasil yang dia tentukan juga.
***
Lokasi salon yang berada di perkampungan, di pinggiran Gresik yang berbatasan dengan Surabaya Barat, sempat membuatku tidak berharap banyak. Mempunyai pelanggan saja aku sudah senang. Berawal dari pelanggan yang direkomendasikan Bu Aida, akhirnya aku mempunyai dua puluh pelanggan dalam dua minggu. Sungguh hasil yang tidak pernah diduga dan jelas membuatku bahagia ketika melihat tabungan semakin menggelembung.
Namun akhir-akhir ini, banyak pelanggan yang menanyakan jenis perawatan wajah selain facial dan totok wajah. Mereka minta suntik botox, pemutih, vitamin, bahkan tanam benang. Sebenarnya aku sudah menolak dengan alasan aku bukan dokter, tapi kembali aku dibuat goyah dengan semakin banyaknya permintaan. Bu Aida pun semakin gencar membujuk. Beliau bilang meski aku bukan dokter, tapi aku pernah menjadi asisten yang paling handal dan dipercaya oleh dokter spesialis kulit yang terkenal di Kota Surabaya. Aku pun tergoda.
Entah sejak kapan bermula, aku bukan lagi seorang Rini. Meski tidak ada papan nama, tapi pelanggan mengenalku sebagai dr. Rini, Sp.KK. Salon kecantikan sederhana pun berubah menjadi klinik kecantikan yang cukup wah. Aku mempekerjakan tiga asisten yang menangani perawatan rambut dan tubuh. Sementara, aku tetap fokus menangani perawatan wajah.
Aku ikut senang melihat senyum puas para pelanggan sepulang dari klinik. Kepuasan mereka bagaikan iklan berjalan, dan membuat aku semakin terkenal, serta mendapat banyak pelanggan. Lokasi yang berada di perbatasan Gresik dan Surabaya, juga menguntungkan untuk mendapat pelanggan dari dua kota tersebut. Bahkan, pelanggan yang hari ini kutangani tinggal di Sidoarjo dan Malang. Katanya dia mengetahui keberadaan salon ini dari teman mereka.
“Dok, saya minta tanam benang di pelipis. Saya juga mau hidung saya di-filler,” ucap salah seorang pelanggan sore itu.
Meski awalnya tidak nyaman dipanggil “Dok”, pada akhirnya aku semakin menikmati panggilan baru ini. Apalagi dengan panggilan ini kantongku semakin tebal.
“Bisa sih, Bu. Cuma menurut saya hidung Ibu gak perlu di-filler. Sudah bagus lho hidungnya,” jawabku.
“Saya tetap mau di-filler, Dok. Biar lebih mancung,” ujar Bu Maria.
Pada akhirnya, aku selalu menuruti kemauan klienku, apalagi mengingat jumlah uang yang bakal diterima. Kekhawatiran akan bahaya yang timbul tidak pernah lagi muncul dalam hatiku, tertutup oleh tumpukan lembar berwarna merah dan wajah girang pelanggan yang puas.
Tiga hari kemudian, Bu Maria meneleponku. Dia mengeluhkan lebam yang masih terus bertahan di wajahnya. Aku memberikan saran sebagaimana dulu Dokter Handari lakukan.
Sayang, kondisi Ibu Maria berbeda. Bukannya membaik, justru semakin memburuk dan harus dilarikan ke rumah sakit. Rupanya dia mengalami hematoma yang cukup parah. Kebocoran darah dan hematoma yang terus meluas membuatnya kehilangan darah dalam jumlah banyak dan mengalami syok.
Aku masih tidak percaya, ketika hari ini polisi melakukan penggerebekan. Para karyawan bingung dan menangis, pelanggan marah, sementara aku … hanya membisu menyaksikan polisi menggeledah dan mengambil semua peralatan salon dan kosmetik. Aku hanya menurut ketika diminta menandatangani berkas yang katanya berisi catatan barang bukti. Pun hanya terdiam ketika digelandang masuk ke mobil polisi dan menyaksikan salon disegel.
Semua itu bagaikan mimpi, saat dalam sekejap, ruangan yang nyaman dan ber-AC, berubah menjadi kerasnya lantai dan dinginnya tembok penjara, entah sampai kapan karena vonis belum dijatuhkan. Aku hanya tahu, Bu Aida menjadi buronan, karena sebagai owner dia juga menjadi tersangka. Sementara tiga orang karyawanku dibebaskan, karena mereka tidak tahu aku bukan seorang dokter.
Penyesalan memang selalu hadir terlambat. Kini aku menyesal telah terbutakan oleh ambisi dan harta. Andai aku memperlakukan mimpi dengan cara yang benar, tak perlu kulewati episode yang menyesakkan ini. (*)
Surabaya, 2020
Ardhya Rahma, penulis novel Matahari untuk Aditya. Berdarah campuran Jawa dan Kalimantan. Mempunyai hobi membaca dan traveling. Baginya, menulis adalah proses mengikat ilmu dan pengalaman hidup. Berharap mampu menuangkannya dalam buku yang sarat makna bagi pembaca. Penulis bisa dihubungi di akun FB @Ardhya Rahma dan IG @ardhya_penulis.
Editor : Devin Elysia Dhywinanda
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata