Always The First Love
Oleh: East
Cerpen Terpilih ke-4 pada #Tantangan_Lokit_6
Aku gelap apa pun tentang manusia, tapi setidaknya … aku tahu sebuah kisah salah satu dari mereka. Cerita mengenai cinta dan rasa takut, takut akan lupa.
***
Rain tertegun, untuk sesaat tubuhnya mematung. Kemudian gadis itu termenung. “Apa yang akan kulakukan?”
“Mana sepatuku, Rain?” teriakan dari suaminya, Surya.
“Ah, benar! Sepatu!”
Segera ia menyambar sepasang sepatu yang tergeletak di bawah meja rias. Kemudian, menghampiri pria kesayangan, suami, serta cinta pertamanya dengan bergegas.
Awalnya hanya ingatan-ingatan sepele yang perlahan memudar. Namun siapa sangka apabila masalah akan bertambah besar?
***
Rain sedang melamun saat bau terbakar itu merambat di udara. Belum sempat ia bereaksi, saat itu juga api membakar tubuhnya, lupa jika badan bersandar pada kompor yang tengah menyala.
Lolongan kesakitan membahana detik kemudian. Perempuan itu berlari tidak karuan, berharap panas yang melingkupi segera padam, hingga akhirnya tibalah ia di kamar. Para tetangga segera berdatangan, mereka menjerit saat terpampanglah keganasan si jago merah itu berusaha menghanguskan raga lemah Rain bersama pakaian yang kebakaran.
Aku? Hanya mampu menyaksikan.
***
“Sudahlah, jangan menangis.” Tangan hangat Surya mengelus perlahan, tapi tetap saja punggung wanitanya gemetaran, tidak henti-hentinya sesenggukan. Air mata terus mengalir walaupun tahu cairan asin itu membuat kesakitan.
“Ini salahku.”
Wajah Rain terangkat perlahan, menampilkan separuh kulitnya yang kemerahan, juga mata kanan penuh air mata kepedihan, sedangkan yang kiri tidak bisa terbuka karena terbakar.
“Ini … salahku,” kata itu terucap lagi, diiringi nada penyesalan dan pedih yang mampu mengiris hati.
Surya terlalu tenggelam dalam kesedihan yang terjabarkan pada manik istrinya, merasa seolah jantung terkoyak brutal di dalam dada. Mata pria itu mulai memerah menahan tangis atas nama duka.
“Bukan, Rain. Sudahlah, yang penting kau selamat.”
“Tapi kita menghabiskan semua tabungan untuk anak kita kelak! Hanya untuk perawatanku! Perawatan yang tidak berguna karena aku tetap cacat! Dan itu semua hanya karena aku lupa! Lupa!” Rain tersedak oleh tangisnya sendiri, lalu pernyataannya mengalir lagi, “Sekarang bahkan aku tak yakin kau mau dengan wajah ini, begitu pula anak kita, tidak mungkin ia sudi memiliki ibu cacat sepertiku.”
“Cukup, itu tidak benar!”
Segala kelembutan tersalur lewat pelukan mereka. Kasih sayang dan kesedihan terbagi bersama. Dan saat itulah Rain tertegun.
“Siapa kau?!” Wanita itu meraung marah. Meradang saat dengan seenaknya pria di hadapannya menjamah.
“Apa maksudmu dengan pertanyaan itu?” Kerutan muncul di kening Surya. Rasa bingung berputar-putar di kepalanya. “Tentu saja aku suamimu.”
“Suami apa maksudmu? Aku tidak—” Selanjutnya Rain terdiam. Membiarkan keheningan merajalela dengan mencekam.
Lalu teriakannya memecah malam. “Tidak! Aku tidak mungkin lupa!” Detik itu juga ia melihatku, benci dan rasa tidak terima jelas tergambar di mata itu.
***
Sungguh malang, ekonomi yang sulit tidak bisa membawa Rain guna memeriksa jiwanya yang terguncang. Setiap hari ia mencari jawaban, setiap usaha dikeluarkan, agar penyakit lupanya ini hilang.
Sekarang ia bahkan menuliskan segala biodata dirinya dan Surya di lengan, berjaga-jaga saat ia kembali hilang ingatan, karena mengunakan kertas tidak membuat perbedaan jika ia lupa di mana benda tersebut diletakkan.Dan bukan sekali-dua kali bergunanya kulit penuh coretan.
Bertambahnya hari membuat wanita itu makin takut. Bagaimana kalau ia lupa segalanya? Lupa tentang hidup bahagianya yang semula? Lupa untuk bernapas? Bahkan khawatir bahwa jantungnya akan lupa memompa darah.
Namun … itu belumlah puncaknya.
***
Suatu malam yang penuh petir tanpa hujan, Rain terbangun dengan enggan, merasa tidak nyaman. Refleks ia membalik badan, agar wajahnya berhadapan dengan suami tersayang. Dan detik itu juga horor paling menakutkan berada di depan.
Mata Surya hampa tanpa kehidupan, tubuh dengan darah yang berlumuran, juga kepala dalam keadaan terpenggal.
Berdebum terdengar saat ia terjatuh dari ranjang, dan denting yang mengikuti membuat Rain sadar dengan pisau di tangan, juga air anyir di seluruh badan.
“Tidak!”
Suami penyayangnya telah tiada. Satu-satunya pria yang menerima Rain apa adanya hilang sudah. Karena dirinya, yang bahkan lupa bagaimana kejadian itu menimpa.
“Tidak!” Matanya yang telah memerah menahan tangis tiba-tiba menangkap sebuah rekorder jadul di nakas samping. Itu milik Surya! Saat diputar, suara bariton yang terdengar lemah mengalir begitu saja.
“Hai, Sayang. Aku ingatkan lagi, namaku Surya, suamimu. Akhir-akhir ini sepertinya keadaan kita … semakin memburuk, benar, kan? Namun tenang saja, penyakitmu bukan kutukan, karena dengan hal itu semua kenangan buruk di masa lalu bisa kau lupakan dengan mudah. Itu anugerah, Sayang, setidaknya bagiku, dengan begitu aku selalu bisa menjadi cinta pertamamu, saat kau lupa, tugasku hanya membuatmu jatuh cinta padaku lagi, kan?”
Selesai, dan bendungan di mata tidak lagi bisa menahan kesedihannya.
Panik, cemas, murka, dan duka melintas silih berganti di wajah. Tanpa disangka, ia bangkit sarat dengan amarah. “Kau! Ini gara-gara kau!” Pisaunya teracung-acung mengancam ke arahku, amukan langit serta ledakan emosinya beradu.
Tapi aku tetap bergeming.
Mendadak Rain tertawa dengan gelak mengerikan, kerjap selanjutnya air mata mengalir tanpa dihentikan, lalu beberapa saat kemudian isaknya menjadi lolongan, dan akhirnya … wanita itu terdiam.
Perempuan tersebut telah melupakan kewarasan.
Selanjutnya, bahkan tidak sampai satu kedipan mata, sebuah kursi menghantam keras ke arahku yang diam saja, menghancurkan tubuhku berkeping-keping sebagai salah satu bentuk pelampiasan hati yang patah.
Namun tetap saja tidak ada yang bisa kulakukan, saat wanita itu mengiris kejam nadi di pergelangan tangan, sewaktu darah mengucur deras tanpa bisa dihentikan, bahkan saat perlahan-lahan cahaya kehidupan menghilang dari matanya yang dulu kemilauan.
Memangnya apa yang bisa kulakukan? Aku hanya cermin yang kini pecah berhamburan.(*)
East, dengan nama asli Adelia Putri Septiani, seorang gadis virgo yang ingin sekali mempunyai masa depan cerah, secerah hari saat matahari tersenyum.
Tantangan Lokit 6 adalah perlombaan menulis cerpen yang diselenggarakan di grup FB KCLK.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata