Alika (Bagian 3)
Oleh : Dhilaziya
“Sialan!”
Entah sudah berapa ratus kali makian itu keluar dari bibir Alika selama beberapa hari belakangan. Seringnya pelan saja, karena akan sangat memalukan bagi seorang selevel Alika mengumpat.
Reino. Siapa lagi yang jadi alasan kekesalan Alika. Entah apa yang membuatnya seolah mengambil peran jadi satpam. Penjaga nyaris dua puluh empat jam. Barangkali, jika dirasa perlu Reino akan ikut masuk dan tinggal di dalam rumah Alika.
Mata Reino seakan tak pernah lepas dari seluruh gerak-gerik Alika. Meskipun mereka berbeda kelas, tapi pemuda yang menurut nyaris semua perempuan penghuni sekolah adalah makhluk yang amat sangat tampan, tahu segala aktivitas Alika. Apa pelajaran hari ini, dengan siapa dia bicara, apa saja yang dia lakukan, bahkan informasi jika ada jepit rambut yang hilang. Benar-benar sialan!
Jika jam istirahat, jangan ditanya lagi. Reino langsung saja muncul di sekitaran pintu kelas Alika. Padahal jarak antara kelas mereka tak begitu dekat. Butuh paling tidak dua menit berlari. Tapi, mengingat postur Reino yang tingginya mencapai lebih dari 170 centimeter, tentu saja hal itu tampaknya bisa dimaklumi.
Reino akan mengikuti Alika ke kantin. Meski tidak terlalu kentara. Kadang malah Alika tidak bisa melihat di mana keberadaan cowok itu. Kadang tiba-tiba saja dia sudah berdiri di samping Alika saat gadis itu berdiri di depan meja tempat jajanan digelar. Atau membuat gadis itu nyaris tersedak es jeruk yang tengah disedot ketika Reino ujug-ujug sudah duduk menyebelahinya.
Pulang sekolah juga, Reino terus merendengi ke mana pun Alika mampir. Dia akan memastikan gadis itu sampai ke rumah dengan selamat. Memastikan gadis itu tidak melakukan hal-hal yang membuatnya harus menanggung malu dengan pemilik kantin pekan kemarin. Apalagi setelah Alika tertangkap basah mengutil. Sepertinya kalau bisa, cowok itu akan mencopot salah satu matanya dan menempelkannya ke jidat Alika.
Yang membuat Alika kian tak bisa berkutik, Reino sama sekali tidak membicarakan perihal perilaku Alika kepada siapa pun. Dia hanya memastikan gadis itu tidak melakukanya lagi. Itu saja. Entah mengapa, dia seolah menjaga nama baik Alika di hadapan semua orang. Menyimpan rahasia seorang diri. Sehingga Alika kebingungan menghadapi cowok itu. Malu, segan, kesal, juga beberapa perasaan lain yang dia tak tahu menamakannya apa.
“Bagi minum, Ka!”
Tiara berteriak dari sisi lain lapangan di masa time out permainan basket. Alika melemparkan botol minum ke arah sahabatnya, yang ditangkap sempurna oleh si peminta. Hari yang sibuk bagi Alika, setelah pulang sekolah, dia langsung mengikuti sesi persiapan olimpiade. Bukannya langsung pulang, gadis itu malah ikut bergabung dengan Tiara dan anggota tim inti basket untuk berlatih. Bagi Alika, berolahraga setelah kepalanya begitu penat dan penuh oleh teori dan rumus, adalah caranya untuk tetap seimbang. Berkeringat membuatnya segar dan bugar kembali.
“What?”
Air minum yang masih terkumpul di rongga mulutnya kembali tersembur keluar begitu pandangan Alika menangkap siluet Reino. Astagaaa! Manusia satu itu benar-benar mengerikan, pikir Alika saat mengusap-usap bagian depan bajunya yang basah.
“Ngapain si Reino di sini, sih? Kan bukan jadwal tim putra latihan hari ini?”
Sambil mengerucutkan bibir, Alika bertanya pada gadis yang sama-sama menyelonjorkan kaki di sebelahnya.
“Yey, dia kan udah ngerubah jadwal latihan tim putra ama putri biar bareng. Mereka pake lapangan belakang, kita pake lapangan sini.”
“Hah? Sejak kapan? Kok aku ga tau?”
“Emang sejak kapan kamu peduli ama jadwal mereka? Cieee, sejak kamu deket ama si Reino ya?”
“Deket? Siapa deket?”
“Kalian lah. Semua juga tau kali! Bisa liat kalo tiap hari dia nyamperin kamu mulu!”
Nyamperin! Yasalam! Jadi itu pikiran orang-orang selama ini? Dikira si Reino nongol mulu deket-deket Alika karena pedekate? Hadeuuh! Coba kalo mereka tahu tujuan sebenarnya si Reino. Eh, tapi jangan ding, aib. Alika sibuk ngedumel dalam hati mendengar cekikian teman-temannya mengghibahinya. Go_bah kok di depan orangnya. Benar-benar ngawur mereka semua.
Latihan usai, dan Alika masih diam di pinggir lapangan. Perbincangan teman-temannya tadi masih terngiang. Beberapa pertanyaan mengusik hatinya. Benarkah Reino melakukan semua itu karena dia suka pada Alika? Bagaimana mungkin dia menyukai gadis yang jelas-jelas dia ketahui berperilaku buruk?
Lamunan Alika buyar oleh suara deheman dari seorang cowok yang entah sejak kapan sudah berdiri di depannya. Sosoknya yang tinggi terlihat menjulang di hadapan Alika yang tengah duduk di bangku taman sekolah.
“Apa?”
Alika bertanya dengan judes. Spontan tangan kanannya dipakai melindungi matanya yang silau oleh matahari senja. Cahayanya membuat wajah Reino terlihat berkilauan.
“Ayo, pulang.”
“Capek. Ntar aja.”
“Udah sore, mo magrib. Nunggu apa?”
“Nunggu capeknya ilang.”
Reino mendengkus oleh jawaban Alika. Dia berbalik hendak melangkah menjauh saat tiba-tiba saja Alika memanggil namanya. Sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya.
“Gendong!”
Mulut Reino melongo mendengar kata yang keluar dari mulut Alika. Apa dia tidak salah dengar?
“Kakiku kram.”
Kalimat itu disusul oleh air mata yang segera saja membanjiri kedua pipi Alika. Alih-alih menyusutnya, Alika malah mengisak keras. Dan pertahanan Reino runtuh. Cowok itu segera mendekati Alika, meletakkan tasnya di samping gadis yang menatapnya dengan begitu nelangsa.
Tanpa bicara, Reino melepas sepatu Alika. Kemudian kaus kakinya. Perlahan dia melakukan pertolongan untuk kaki yang kram. Reino menaikkan celana training panjang yang dikenakan Alika.
“Sakiiit ….”
“Dikit lagi.”
Beberapa saat kemudian tidak ada pembicaraan di antara keduanya. Semua sibuk. Reino sibuk mengurut perlahan kaki Alika sementara si empunya kaki sibuk mengeringkan air mata dengan lengan baju.
“Ayo!”
Reino berjongkok di hadapan Alika. Tas ranselnya dia kenakan di bagian depan. Alika tertegun. Punggung Reino terlihat begitu kokoh untuk dinaiki.
“Buruan! Keburu gelap!”
Alika tergesa mencangklong tasnya lantas merapatkan tubuhnya ke punggung Reino. Tanpa suara Reino bangkit lantas melangkah, pelan. Kedua tangannya melingkar di bawah lutut Alika yang menggamit pinggangnya. Sementara kedua tangan Alika menjuntai melewati kedua bahu Reino.
Nyaman. Alika merasa sangat nyaman. Punggung Reino terasa hangat dan menenangkan. Perlahan dia meletakkan dagunya di pundak Reino, dan mengamati wajah penggendongnya dari samping. Kali ini, dia harus mengakui kebenaran pernyataan teman-temannya. Reino tidak jelek. Dan dia baik. Sangat baik.
Bersama setiap langkah kaki Reino menuju rumahnya, ingatan Alika serupa rol film yang diputar. Menampilkan frame-frame adegan di antara mereka. Dan dia tidak menemukan satu kali pun kejadian di mana Reino melakukan hal buruk padanya. Melindungi, membantu, selalu begitu. Seperti sekarang. Dan dada Alika menghangat oleh sesuatu yang tidak dia kenali namanya. Perlahan, sesungging senyum muncul di bibir Alika.(*)
bersambung …
Bagian sebelumnya: Alika (Bagian 2)
Bagian selanjutnya: Alika (Bagian 4)
Dhilaziya, perempuan penyuka sunyi, bunga, buku, dan lagu.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata