Alika (Bagian 2)
Oleh : Vianda Alshafaq
Ini adalah hari ketiga mereka—para peserta olimpiade—latihan. Alika dan Reino masih terlihat canggung. Alika masih tidak tahu bagaimana ia bisa menghadapi Reino yang ternyata melihatnya mengambil makanan di kantin. Terlebih lagi, laki-laki itu terlihat ogah berinteraksi dengannya.
“Teori tumbukan lenting sempurna kamu salah, tuh,” ujar Reino tiba-tiba. Ia menunjuk buku Alika dengan pensil.
Alika mengernyit. Bagaimana mungkin ia salah? Begitu pikirnya. Melihat kening perempuan itu berkerut, Reino menghela napas. Reino mengambil secarik kertas yang tadi ia gunakan sebagai kertas corat-coret.
“Tumbukan lenting sempurna itu terjadi ketika kedua benda saling menjauh setelah terjadi tumbukan. Nah, ini kan soalnya begitu. Coba kamu gambarkan dulu soalnya. Jangan asal masuk rumus aja.”
Reino menjelaskan salah satu pelajaran mereka itu dengan sedikit kesal. Bagaimana mungkin seorang peserta olimpiade masih salah menjawab soal sederhana seperti itu.
“Berarti kayak kamu sama aku dong,” timpal Alika.
“Lha?”
“Iya, kayak kamu sama aku. Kalau ketemu kan langsung jauh-jauhan.”
***
Jam menunjukkan pukul 4 sore. Alika mengetuk-ngetukkan kakinya ke trotoar. Sore ini, Alika dan Citra berjanji akan pergi ke toko buku. Ada beberapa buku yang harus ia beli. Sebenarnya, bisa saja ia menjemput Citra. Tapi, mereka sepakat bertemu di halte dekat Supermarket Orion, salah satu supermarket di dekat kompleks perumahan Alika.
Sudah seperempat jam Alika menunggu, tetapi sahabatnya belum kunjung datang. Ia sudah menoleh ke kiri beberapa kali sejak tadi, tapi tidak ada berita baik. Banyak mobil dari arah sana, tetapi tidak ada mobil merah milik Citra.
Alika memutuskan masuk ke supermarket untuk membeli sebotol minuman. Gadis yang menggunakan sling bag hitam itu berjalan santai menuju supermarket yang terlihat tidak begitu ramai. Sembari berjalan, Alika bersenandung kecil, dan jelas saja hanya dia yang mendengarnya.
Ketika sudah sampai di dalam, Alika tidak langsung menuju tempat minuman. Ia melihat-lihat sebentar. Di salah satu rak, bagian kosmetik, ada beberapa kuas yang terpajang di antara alat make up lainnya. Karena tertarik, Alika mengambil kuas kecil itu—yang biasa digunakan ketika maskeran. Alika melihat-lihat kuas itu sejenak. Kemudian beralih ke rak lain dan memasukkan kuas itu ke dalam tasnya.
Alika mengulas sebuah senyuman manis di bibirnya. Setelah sampai di rak bagian minuman, Alika mengambil sebotol minuman dan setelahnya pergi ke kasir.
Alika keluar dari supermarket setelah membayar minuman yang dia ambil. Ketika sudah sampai di luar supermarket, seseorang menghentikannya.
“Maaf, Dek. Kamu beli apa saja tadi?” tanya pria bertubuh tinggi dan badan besar.
Alika mengangkat sebotol minuman yang tadi ia beli. Ia sedikit was-was, tetapi mencoba sesantai mungkin agar pria itu segera pergi.
“Tidak ada barang lain?” tanya pria itu yang membuat Alika menggeleng.
“Tapi tadi kamu memasukkan kuas ke dalam tasmu. Saya melihatnya dari CCTV.”
Raut wajah Alika berubah seketika. Di dalam hati ia merutuki dirinya sendiri. Ia mencoba mencari alasan agar laki-laki ini segera pergi dan tidak lagi menanyainya.
“Saya tidak jadi mengambilnya.”
“Tapi saya melihat kamu memasukkan barang itu ke dalam tasmu.”
“Saya tidak mengambilnya!” Suara Alika mengeras.
Tiba-tiba, seseorang datang dari belakang Alika. Lali-laki berambut cepak dan menggunakan kaos hitam itu mendekat.
“Ada apa ini, Pak?”
Reino menatap laki-laki yang ia tebak berumur tiga puluh tahunan itu dan Alika secara bergantian. Entah takdir seperti apa yang mempertemukan mereka di sini, begitu katanya di dalam hati.
“Ini, lho, Mas. Adek ini mengambil barang tanpa membayar. Tadi, saya melihat dia memasukkan sesuatu ke dalam tasnya dan tidak membayarnya di kasir. Saya melihatnya dengan jelas dari CCTV.”
Reino menatap Alika tajam. Sementara Alika hanya memalingkan wajahnya setelah mendapat tatapan seperti itu dari Reino.
Reino mengulurkan tangannya ke arah Alika. Melihat hal itu, Alika mengernyit seolah berkata “apa?”.
“Mana barang itu,” ujar Reino sedikit membentak.
Alika merasa kesal, tentu saja. Mereka tidak saling mengenal dengan baik. Tapi laki-laki itu berani membentaknya. Bahkan, orang tuanya saja tidak pernah membentaknya.
Masih dengan perasaan sebal, Alika mengeluarkan kuas tadi dari tasnya. Ia memejamkan mata dan menyerahkan kuas itu ke Reino.
Dasar bodoh! rutuk Alika di dalam hati.
“Tuh, kan. Saya nggak salah lihat.”
“Maaf, ya, Pak. Nanti saya saja yang bayar,” ujar Reino yang langsung diangguki pria itu.
“Mulai sekarang, kamu harus paham konsep gerakan vertikal ke atas sama gerakan vertikal ke bawah,” ucap Reino setelah pria tadi kembali ke supermarket.
“Apa hubungannya? Kenapa kamu selalu bawa-bawa fisika, sih.”
“Kamu itu kalangan atas, harusnya ngasih ke yang bawah. Bukan malah sebaliknya. Harusnya tangan kamu di atas, bukan di bawah.”
“Kan aku nggak minta-minta!”
“Nggak minta, sih. Tapi ngambil, kayak maling. Eh, udah maling.”
Alika memukul kepala Reino dengan cukup keras. Wajahnya langsung cemberut. Tak lama setelah itu, ia berjalan menuju halte dengan sesekali mengomel pelan.
“Dasar, Miss Klepto.”
***
Malam sudah menjelang. Alika baru sampai setengah jam yang lalu di rumah. Alika sebal. Wajahnya cemberut. Bahkan ia melempar tasnya begitu saja ke atas kasur. Tiga jam lebih menghabiskan waktu bersama Citra benar-benar membuatnya kesal. Bagaimana tidak, gadis itu selalu membahas Reino.
“Coba kamu pikir, deh. Reino itu ganteng banget. Kamu nggak buta kan, Al?”
Itu pertanyaan yang dilontarkan Citra ketika mereka sampai di toko buku tadi. Bukannya menjawab pertanyaan sahabatnya itu, Alika malah pergi ke rak buku lainnya. Ia tidak mau mendengar apa pun tentang Reino. Terlebih lagi laki-laki itu sudah beberapa kali memergokinya mengambil barang orang lain.
“Bener, sih, dia itu ganteng. Tapi nyebelin. Sok pinter banget bawa-bawa fisika ke mana-mana!” gerutu Alika di kamarnya. Tiba-tiba ia kembali mengingat kejadian di supermarket tadi.
Sebenarnya, Alika juga kesal pada dirinya sendiri. Entah kenapa ia tidak bisa menahan dirinya agar tidak mengambil barang-barang yang pernah ia curi. Padahal, bisa saja ia membeli barang itu. Toh, ia juga orang yang berkecukupan. Membeli barang-barang yang pernah diambilnya itu bukanlah masalah besar. Hanya saja, Alika kadang melakukan hal itu secara spontan.
Alika berdiri di depan cermin di kamarnya itu. Ia mematut pantulan dirinya di sana. Bulu mata lentik, bibir ranum, pipi tirus, dan hidung yang sedikit pesek. Itu yang Alika lihat di cermin. Benar-benar sosok yang cantik—setidaknya begitu kata banyak orang.
Tiba-tiba, Alika melemparkan pelembap wajah yang ada di atas meja rias itu ke kaca. Ia melemparnya dengan sangat keras. Alika berteriak. Dan, kaca itu retak.
Seketika, air mata mengalir dan membekas di pipi Alika. Alika membenci dirinya. Alika benci kebiasaannya.
Bersambung ….
Bagian sebelumnya: Alika (Bagian 1)
Bagian selanjutnya: Alika (Bagian 3)
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata