Aletta
Oleh: Naafisa
Aletta masih saja terdiam sembari memandangi lantai rumah berwarna coklat susu itu. Sorot matanya begitu sendu, wajah cantiknya nampak kusut dan lesu. Seperti sedang memikirkan sesuatu yang harus dipikirkan secara matang-matang.
Gadis remaja berumur 17 tahun itu nampak berbeda akhir-akhir ini. Ia lebih suka terdiam dan menyendiri, berkebalikan dengan sifat aslinya yang cerewet dan periang itu. Entah kejadian ataupun pemikiran apa yang telah merubah semua hal yang melekat pada dirinya. Ia terlihat gelap, hidupnya terasa abu-abu atau bahkan… hitam. Bibirnya tak lagi menyunggingkan senyum keramahan yang memberikan ketenangan bagi setiap insan yang melihatnya.
“Ceritakan. Coba ceritakan sesuatu yang membuatmu terlihat muram. Sesuatu yang membuatmu tak lagi menyapa dunia dengan senyuman dan wajah ceriamu. Ceritakan, Atta!” Aku mencoba membujuk Atta—sebutanku pada Aletta—untuk berbicara tentang semua yang terjadi padanya. Namun, ia masih saja terdiam, tak menggubris perkataanku.
Huft!
Aku menghela napas kasar. Helaan kepasrahan dan kesedihan. Dadaku terasa sesak melihat keadaan Atta yang seperti ini. Seorang sahabat yang sudah kuanggap seperti keluargaku sendiri. Ia yang selalu memberi ketenangan dan kebahagiaan.
Kini, semua telah sirna dari dalam dirinya, seolah terbawa arus sungai yang deras. Semua tak lagi sama. Hilang tak berbekas.
Semua terjadi semenjak Rio—pacar Atta—pindah ke salah satu sekolah yang ada di daerah Bandung. Itu menyebabkan Rio memutuskan hubungannya dengan Atta. Awalnya gadis itu menolak, karena pikirnya tidak apa-apa menjalani hubungan jarak jauh asalkan tetap setia dan saling percaya. Lagi pula, saat libur sekolah mereka masih bisa bertemu. Namun, Rio bersikukuh untuk mengakhiri hubungan di antara mereka berdua. Sebaliknya, Atta justru bersiteguh untuk mempertahankan hubungannya.
Dua hari setelah insiden itu, sikap Atta berubah. Ia menjadi pendiam dan murung seperti ia yang sekarang di hadapanku. Entah apa yang membuatnya seperti itu. Aku pikir Atta bukanlah tipe orang yang akan sangat terpuruk setelah hubungannya terputus. Ia bukan seperti kebanyakan perempuan di luar sana yang terjebak dalam sebuah jeruji kepiluan bernama patah hati. Yang menyebabkan penghuninya seperti tak memiliki tujuan hidup yang berguna dan hanya berteman dengan sepi dan air mata. Bukan! Atta bukan orang yang seperti itu. Aku yakin itu.
Kenyataan memaksaku untuk meyakini itu semua. Memaksaku untuk memercayai bahwa Atta memang terjebak dalam jeruji patah hati. Namun, ini semua masih janggal. Jika Atta memang merasakan patah hati, harusnya itu terjadi sesaat setelah Rio memutuskannya. Bukan dua hari setelahnya. Tapi tidak! Saat itu, ia justru terlihat tenang dan bisa menerima semua keputusan Rio dengan lapang dada.
Berbagai pikiran masih berkecamuk memenuhi otak dangkalku ini. Pasalnya, aku tak mengetahui secara pasti apa yang telah terjadi kepada Atta. Kejadian apa yang membuatnya kehilangan dirinya sendiri. Aku tidak tahu jelasnya.
“Atta, a—aku ini sahabatmu. Aku ini seorang yang hadir untuk selalu berbagi cerita denganmu. Bukan orang lain. Jadi… kumohon, ceritakan apa yang membuatmu menjadi seperti ini. Tolong!” ucapku bergetar tak kuasa menahan air mata yang kerap kali membasahi pipi. Kesedihanku sudah tak dapat lagi menopang air mata, mungkin karena terlalu perih.
“Kau jangan seperti ini, aku tak tega melihatmu. Ke mana kamu yang dulu? Kamu yang selalu ceria dan tertawa. Ke mana, Atta? Ke mana?” ujarku dengan tangis di wajah. “Tolong jangan berdiam diri terus. Jangan berubah menjadi orang bisu yang memendam kesedihan. Tolong! Aku tak sanggup, Ta. Tak sanggup.” Air mataku tak henti berlinang. Isak tangisku semakin pedih terdengar. Namun, Atta masih diam tanpa bicara. Pandangannya beralih menatap ke depan. Dengan tatapan kosong, tanpa gairah dan tanpa binar-binar permata yang terpancar.
“Kau bukan orang yang mudah terperangkap dalam jeruji patah hati, Ta. Aku tahu itu. Kau bukan tipe orang—”
“A—aku hamil,” potongnya cepat.
Deg!
Jantungku seolah berhenti berdetak. Ruangan ini seolah diselimuti awan gelap. Semua terasa mengejutkan, pun kalimat yang baru saja ia lontarkan.
Sepersekian detik, ia menangis. Aku tahu itu karena tubuhnya bergetar. Ia menundukkan kepala, kemudian menutup mulut agar tangisnya tak memecah kesunyian.
“A—aku hamil, Ana. Rio sudah merenggut kehormatanku dan… dia sudah merusak impianku. Aku bodoh! Aku ini bodoh! Dia menghamiliku lalu pergi meninggalkanku begitu saja. Dasar cowok brengsek!!” Tangis Atta pecah, ia benar-benar terpuruk sekarang.
Aku pun tak kuasa menahan tangis, aku bisa merasakan penderitaan yang dialaminya. Sebagai seorang perempuan, kehormatan itu sangatlah penting untuk dijaga. Kesucian yang seharusnya hanya diperuntukkan bagi pasangan hidup semata.
Aku mendekatinya, mendekapnya erat dengan pelukan kehangatan. Berharap bisa membuatnya tenang. Aku tak melontarkan sepatah kata pun setelah ia berkata demikian. Selain karena terkejut, aku juga tak ingin membuatnya semakin sedih. Dia hanya butuh suasana tenang, bukan kata-kata penenang, pikirku.
***
Pagi harinya, aku terbangun tanpa keberadaan Atta. Ia tak terlihat di segala penjuru ruangan. Hingga mataku berhenti pada sepucuk kertas yang terletak di atas meja.
Dear, Ana.
Terima kasih sudah mau menjadi sahabatku selama ini. Sudah menjadi seseorang yang selalu mendengarkan celotehanku tentang apa pun itu. Terima kasih, karena kau selalu ada saat aku mengalami dua kejadian yang sangat membuatku terpuruk. Yaitu, kepergian Ayah dan Ibu serta kejadian yang membuat impian dan masa depanku hancur karena mahkotaku telah hilang. Terima kasih karena membuatku kembali percaya bahwa Tuhan itu adil. Terima kasih atas semuanya, Ana. Kau sahabat yang baik. Jangan lupa bahwa aku akan selalu menyayangimu. Aku pergi dan jangan cari aku. Kau tenang saja, aku akan baik-baik saja. Terima kasih.
Aletta.
Tes!
Air mataku menetes, aku tak percaya ia telah pergi. Tapi, ke mana? Ia tak punya siapa-siapa lagi. Orangtuanya sudah meninggal karena kecelakaan pesawat dua tahun yang lalu. Keluarga dari ayah dan ibunya sudah tak menganggapnya lagi. Ke mana dia akan pergi?
Semalam Atta menceritakan semua yang terjadi padanya. Semua perlakuan dan tindakan keji Rio padanya. Dan semua hal yang terjadi padanya belakangan ini. Dan aku tak menyangka dia akan pergi meninggalkan diriku.
Beberapa bulan setelahnya, aku mendengar berita seorang gadis yang meninggal setelah melahirkan seorang bayi. Berita itu membuatku berpikiran, bahwa itu adalah Atta. Dengan sigap aku segera mendatangi lokasi rumah sakit tempat gadis itu melahirkan. Sesampainya di sana, aku tak bisa berkata apa pun. Tubuhku kaku dan lidahku kelu seolah waktu telah memberhentikan jarumnya. Dugaanku benar, itu adalah Aletta. Kenyataan itu membuatku semakin tak kuasa menahan tangis.
Setelah prosesi pemakaman, aku mencari-cari informasi tentang pria brengsek yang sudah menodai Aletta, Rio. Dan ternyata, Rio dan keluarganya sudah pergi ke luar negeri. Informasi itu membuatku mengeluarkan berbagai umpatan kepadanya. Pria brengsek yang hanya bisa menikmati kesenangannya di awal, tapi tak mau menanggung akibatnya.
Aku bergegas menuju rumah sakit untuk menjemput anak dari Aletta. Setelah berunding dengan Papa dan Mama, akhirnya kami memutuskan untuk merawat anak Aletta.
Kini, aku sedang menggendong anak itu. Di dekat jendela kamar dengan sapuan angin sore dan pemandangan senja yang lembut. Kupandangi wajah cantiknya. Persis seperti ibunya, cantik dan teduh.
“Aletta, semoga kau tenang di sana. Kau tidak usah khawatir, anakmu akan kuurus hingga ia tumbuh menjadi seorang gadis cantik sepertimu. Perihal Rio, aku sudah mengirimkan surat pemberitahuan kepadanya. Ia sekarang berada di luar negeri bersama keluarganya. Tapi, aku yakin setelah lulus sekolah nanti Rio akan kembali ke Indonesia. Dan saat itu terjadi, aku akan meminta pertanggungjawaban darinya. Percayalah dan lihatlah, anakmu tersenyum. Cantik sekali. Manis. Menentramkan. Sama sepertimu. Mmm… aku akan memberi nama anakmu Aletta, agar ia tumbuh menjadi anak yang kuat dan periang sepertimu. Aletta. Aletta Karisma Permata.”(*)
Naafisa merupakan nama pena dari Nilna Kaesan Nafis. Seorang pelajar yang bersekolah di SMKN 2 Bawang, jurusan Teknik Audio Video. Meski mengambil jurusan elektronika tapi ia sangat suka menulis. Belum memiliki cita-cita tetap, tapi ingin menghasilkan karya yang bisa dikenang oleh banyak orang.
JIka ingin tahu lebih lanjut bisa menghubunginya di:
Email: Nilnakaesan2001@gmail.com
Fb: Nilna Kaesan Nafis
IG: Nilna_Kaesan
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita