Alea dan Seseorang yang Menggandeng Tangannya
Oleh : Rachmawati Ash
Sejak tangan dingin itu menggandengnya berjalan di lorong, yang entah bagaimana Alea tak dapat menggambarkannya. Alea hanya dapat memahami bahwa dia sedang berjalan di suatu tempat yang gelap. Lampu remang-remang memancar tanpa diketahui dari mana letak sumbernya. Alea mengamati sekitar jalan yang dilaluinya. Mencoba mencari pembatas antara lantai dan dinding, namun tak jelas dalam pandangannya. Semua terlihat muram dan samar-samar.
Kakinya merasa lebih dingin dari sebelumnya. Begitu pun tangan seseorang yang menggandengnya terasa seperti sesuatu yang beku, namun tidak membuatnya takut. Alea menajamkan pendengarannya, berusaha menangkap suara apa saja yang bisa memberinya petunjuk di manakah dia sedang berjalan. Alea juga mencoba peka pada bau-bau di sekitarnya, berharap mendapat kata kunci, di tempat apa dia sedang berjalan dalam gandengan seseorang.
***
Alea menatap layar komputer di meja kerjanya. Alea tak mampu menahan kantuk yang tiba-tiba menyerangnya di siang bolong. Saat itulah seseorang kembali menarik tangannya. Mengajaknya berjalan ke arah entah yang tak bisa dipahaminya. Alea merasa berjalan melayang, tubuhnya menjadi sangat ringan. Kepalanya celingukan, mencoba menerka wajah seseorang yang kembali menggandeng tangannya. Alea tak ingin berburuk sangka kepadanya, hanya ingin memberikan senyum jika ternyata orang itu berwajah manis, atau memberinya tatapan protes jika ternyata wajah itu buruk dan menyeramkan.
Alea mendengar suara musik yang diputar di komputer meja kerjanya. Juga suara hiruk pikuk teman-teman yang sibuk ruang kerja. Namun rasa penasaran lebih menguasai hatinya. Alea tidak melakukan perlawanan, dia terus mengikuti langkah seseorang yang menggandengnya. Seseorang itu membawa Alea cukup jauh. Melewati perkebunan kopi yang luas dan rimbun, sampai sinar matahari pun tak dapat dirasakan di tempat ini. Hawa dingin semakin membuat kuduknya merinding. Alea terus mengikuti langkah kaki yang tak jelas dalam pandangan matanya. Meski kakinya sendiri sudah letih dan terasa keras di bagian paha, Alea tetap mengikuti seseorang yang menggandeng tangannya.
Jalan semakin menanjak, Alea mulai cemas. Entahlah apa yang menurut orang lain terjadi. Alea mendengar hiruk pikuk tempat kerjanya, namun pandangan matanya pada pohon-pohon kopi yang tinggi dan rimbun. Alea merasa berada di dua tempat dalam waktu yang bersamaan.
Seseorang yang menggandeng tangannya berhenti, melepaskan tangan Alea yang masih dingin dan beku. Sebuah danau biru terbentang di depan Alea, dikelilingi pepohonan kopi yang meluas sebatas mata memandang. Pikiran Alea terfokus pada bunga-bunga yang indah di depannya, sampai Alea lupa bahwa dia sangat ingin melihat wajah seseorang yang menggandengnya. Alea memetik sekuntum bunga lili air yang mengambang di atas danau. Hatinya girang karena menemukan bunga yang hanya dilihatnya dalam film atau Google komputer meja kerja.
Angin tiba-tiba datang begitu kencang. Seseorang kembali datang dan menggandeng tangannya. Alea dengan cepat memungut bunga lili yang jatuh di tanah, sebelum langkahnya terbawa oleh tangan seseorang yang menggandeng tangannya. Alea tak ingin kehilangan bunga secantik bunga dalam dongeng itu. Alea seperti berjalan cepat, atau lebih tepatnya melayang. Alea merasakan kakinya tidak berpijak di tanah.
Dalam hitungan detik tubuhnya terkulai di kursi kerja. Keringat bercucuran di pelipisnya, tubuhnya gemetar dan merasakan haus yang luar biasa. Wajah Alea pucat dengan sekuntum bunga lili air di tangannya. Alea merasa tidak enak kepada teman-teman kerja lainnya, karena dia lalai dan seperti tertidur.
***
Apel adalah buah paling disukainya, hingga ia dapat menolak semua makanan jika ada sepiring apel di hadapannya. Malam itu Alea tak pernah berkhayal menjadi putri salju yang disembunyikan di dalam hutan. Bibinya berkunjung dari Jepang, membawa sekotak penuh apel kesukaannya.
Baru saja Alea memakan habis apel pemberian bibinya. Seseorang mengajaknya turun dari meja makan, menggandeng tangannya. Tarikan seseorang itu membuatnya melayang. Alangkah gembiranya, ia mengayun kaki seolah sedang menjalankan sepeda di atas angin. Tubuhnya terbang melewati ruang tamu, kamar anak-anaknya, beranda, taman dan jalan raya.
Alea lupa pamit kepada putri sulungnya yang tadi duduk di depannya saat makan malam. Lupa pamit kepada suaminya yang menyuruhnya makan apel dengan pelan, bahkan Alea lupa mengucapkan terima kasih kepada bibinya yang telah memberinya buah apel. Alea pergi meninggalkan mereka dan kini tengah berada di padang pasir yang dipenuhi cahaya. Padang pasir yang sangat luas dengan cahaya yang terang tetapi tidak menyilaukan mata.
Di atas kepalanya, bintang-bintang dan kristal beradu oleh tiupan angin. Tiba-tiba langit menjadi hitam pekat. Alea merasa mendapat kejutan di Planetarium, seperti yang pernah dikunjunginya saat masih sekolah dasar. Benda-benda yang melayang di atas kepalanya berubah menjadi manik-manik berwarna emas dan perak yang indah. Bintang-bintang di atas kepalanya saling bertabrakan, memercik bunga-bunga api ke segala arah, mirip petasan di malam perayaan tahun baru yang sering dikunjunginya bersama teman-teman semasa SMA.
Alea beringsut, matanya mencari-cari seseorang yang menggandeng tangannya. Alea berjalan meraba-raba sekelilingnya. Tak ada apa pun yang bisa disentuhnya. Sampai sesuatu menyentuh jari-jarinya. Alea terkejut, sesuatu itu tidak terlihat di matanya, namun dapat dirasakannya seperti agar-agar yang kenyal dan sejuk.
“Siapa kamu?” Alea bertanya dengan suara lembut namun menimbulkan gema yang memantul ke segala arah.
“Aku seseorang yang pernah menggandeng tanganmu, pergi ke kebun kopi dan ke danau.” Suaranya berbisik, seolah tak ingin diketahui oleh siapa pun selain Alea.
“Apa ada orang lain selain kita di sini?” Alea memaksakan diri berani bertanya lagi. Jari-jarinya masih belum dilepaskan oleh seseorang yang berada di hadapannya. Alea merasa tidak nyaman, wanita tiga puluh dua tahun mendapatkan genggaman dari seseorang yang belum dikenalnya. Bahkan Alea tak tahu apakah seseorang itu laki-laki atau perempuan.
“Tidak ada siapa pun di sini, hanya kita berdua di tempat ini.”
“Kenapa kamu membawaku kemari, suami dan anak-anak akan mencariku.” Alea berusaha melepaskan sesuatu yang menggenggam jari-jemarinya. Namun aneh, Alea merasa genggaman itu membuatnya nyaman. Bahkan, meski langit hitam pekat tanpa sedikit pun cahaya yang meneranginya di padang pasir ini, Alea tidak merasa takut.
“Aku seseorang yang kesepian, aku ingin menjadi temanmu, Alea.”
“Siapa namamu?” Alea berusaha keras menangkap wajah seseorang itu. Alea menyipitkan mata, melihat dagu, hidung, dan mata seseorang itu. Namun Alea tidak yakin apakah seseorang itu laki-laki atau perempuan. Wajahnya samar, pakaiannya berkilau seperti peri dalam dongeng. Seseorang itu juga selalu berbicara dengan suara yang berbisik.
“Apakah setiap orang harus punya nama? Bagaimana kalau aku tidak punya nama? Apa kamu akan membenciku?” Seseorang itu menjawab dengan lembut.
“Bagaimana aku memanggilmu?” Alea merendahkan wajahnya, mengamati wajah di sampingnya.
“Kamu bisa memanggilku dengan sebutan apa saja, aku akan menyukainya.” Seseorang itu berdiri. Menarik tangan Alea.
Alea ingin menanyakan apakah seseorang itu laki-laki atau perempuan, tapi Alea mendengar suami dan anak-anaknya memanggil namanya berkali-kali. Alea melayang, mengikuti asal suara yang memanggil namanya.
“Tinggallah di sini, Alea, temani aku.” Seseorang orang itu menahannya.
“Suami dan anak-anak memanggilku, sepertinya mereka terguncang dan sangat khawatir dengan kepergianku denganmu, antarkan aku pulang, kumohon.” Alea ikut menurunkan volume suaranya. Mengikuti cara bicara seseorang yang menggandeng tangannya.
Alea melewati padang pasir, hutan yang gelap, lalu jalan raya menuju ke rumahnya. Alea membuka mata, mendapati putri sulungnya menangis sambil menggucang-guncang tubuhnya, Alea juga melihat remukan apel berhamburan di meja makan. Alea merasa ada sesuatu mengganjal di tenggorakannya, terbatuk dan berusaha mengeluarkan apa saja yang membuat napasnya sesak saat itu.
***
Hampir sepanjang hari mata Alea tak mau terpejam. Rasa takut menyergapnya, ketakutan yang disertai penasaran yang luar biasa. Dalam kamar yang sunyi Alea menuliskan kisah perjalanannya dengan seseorang yang menggandeng tangannya. Hatinya bertanya-tanya siapakah seseorang itu. Mengapa dia selalu hadir saat matanya terpejam. Apakah seseorang itu manusia yang berjenis kelamin perempuan ataukah laki-laki.
***
Alea mendapat surat peringatan dari atasannya. Alea terkejut saat membaca alasan peringatan itu–Alea terlalu sering tidur saat jam kerja kantor. Menurut atasannya, hal ini dapat menyebabkan kemerosotan dedikasi dalam pekerjaannya. Alea murung, mencoba mengevalusi dirinya sendiri. Pikirannya melayang, membayangkan setiap kejadian seseorang itu datang menggandeng tangannya. Alea menyadari saat-saat seperti itu terjadi dia berada di tempat lain yang tidak dipahaminya.
Alea menggerutu, merasa kesal tetapi tidak jelas kepada siapa kekesalan itu dia tujukan. Teman-teman satu ruangan saling melirik dan membicarakannya. Alea mulai merasa tidak nyaman dan selalu diawasi.
Sejak kejadian seseorang menggandeng tangannya itu terjadi, hidup Alea tak pernah tenang. Setiap kali matanya terpejam secara tiba-tiba, Alea akan berada di tempat lain yang tak pernah dipahaminya. Kejadian itu bahkan tidak hanya terjadi saat dia sedang bekerja di kantor, tapi juga saat Alea berada di rumanhnya sendiri. Kejadian-kejadian aneh terjadi, selalu diawali dengan rasa mengantuk yang yang menyerang tiba-tiba.
Alea takut memejamkan mata, karena kejadian yang dilaluinya bukan hanya tentang keindahan, tetapi berubah menjadi sesuatu yang mengerikan. Pernah, suatu ketika Alea sedang mengganti baju anak-anaknya di rumah, tetapi tiba-tiba matanya terasa berat. Alea melayang, melewati hutan perdu yang dipenuhi duri. Alea berjalan di antara hewan-hewan buas yang mengerikan. Alea berteriak minta tolong, tetapi tak seorang pun datang kepadanya. Ketika hewan raksasa bertaring hendak menerkamnya, Alea mendengar tangis anaknya, seketika Alea berlari ke arah suara tangisan. Alea tergeletak di lantai kamarnya, tubuhnya basah kuyup karena keringat. Debar jantungnya tak beraturan, anaknya yang berusia dua tahun memeluknya dengan suara tangis yang menjadi-jadi.
Alea juga pernah tak sengaja tertidur di ruang tengah rumahnya. Tiba-tiba tubuhnya melayang, mengikuti cahaya yang tak bisa dipahaminya sebagai cahaya apa dan berasal dari mana. Seketika Alea telah sampai di suatu negara yang tak asing baginya. Alea berada di Negeri Gingseng, Korea. Sepanjang pengetahuannya dari film drama Korea yang dilihatnya melalui sebuah aplikasi, Alea tahu bahwa saat itu dirinya berada di negeri lain. Negeri orang-orang yang berkulit putih bersih dan terkenal ketampanan maupun kecantikannya.
Alea melihat segerombalan orang sedang minum-minum alkohol di sebuah teras toko, orang-orang itu tertawa dan berjalan sempoyongan ke arah Alea. Sekejap tubuh Alea terjatuh karena diserang oleh orang-orang yang mabuk. Alea berusaha lari, tetapi kakinya dipegang oleh salah satu pemabuk di belakangnya. Alea menjerit meminta tolong, tetapi beberapa orang yang lewat di sekelilingnya hanya melihat dan melanjutkan perjalannya. Alea berusaha keras untuk lepas, meski beberapa kali tidak berhasil. Alea dapat melepaskan diri dan berlari, tepat saat telinganya mendengar suara adzan yang sayup-sayup. Ketika membuka mata, anaknya menangis di ruang tengah dengan makanan dan mainan yang berantakan. Alea telah meninggalkan anaknya beberapa menit yang tak disadarinya.
Semakin hari Alea merasa jiwanya kosong, ruhnya berjalan ke mana pun tanpa kehendaknya. Alea merasa telah terjadi sesuatu yang aneh pada dirinya. Sejak seseorang menggandeng tangannya, ia merasa memiliki kemampuan berpindah tempat satu ke tempat lain tanpa disadarinya. Alea sering mendapatkan masalah, setiap kali matanya terpejam, setiap kali pula dia meninggalkan masalah di sekitarnya.
Atasan dan teman kerjanya sudah sering menegurnya, supaya tidak tidur saat jam kerja. Tapi Alea tak dapat menahan kantuk yang selalu datang tiba-tiba. Begitu pun ketika berada di rumahnya, tak jarang tiba-tiba ia meninggalkan anak-anaknya dengan sembarangan dan tertidur untuk beberapa waktu lamanya. Kebiasaan tertidur membuat ia mendapatkan banyak masalah yang bertubi-tubi. Masalah di kantor maupun masalah dengan keluarga di rumahnya.
Diam-diam, doa sebelum tidur Alea berubah. Bukan ingin diselamatkan sepanjang malam, atau dijaga dari mimpi buruk. Kini, ada keinginan lain, yang tak ingin disampaikan kepada siapa pun selain catatan harian di notebook pribadinya. Ia mengharap seseorang yang menggandeng tangannya hadir dan menjemputnya dalam perjalanan malam ini.
Alea mulai menyadari, ada rasa aman saat seseorang itu datang dan menggandeng tangannya. Alea mulai merindukannya, berdoa agar dalam pejam mata yang berikutnya seseorang itu hadir dan menggandeng tangannya. Alea lelah, masalah datang seperti hujan yang turun dari langit.
***
Matahari terik di luar ruangan, Alea berusaha fokus pada pekerjannya. Tiba-tiba rasa kantuk menyerangnya, matanya terkatup. Dalam sekejap, ia sudah berada di tengah-tengah perang yang melibatkan banyak tentara. Alea menutup kedua telinganya, rasa takut menyergap secara tiba-tiba. Alea ketakutan setengah mati. Dentuman meriam, tembakan dan peluru beterbangan di atas kepalanya. Alea hampir gila, tak seorang pun dikenalnya dalam pertempuran itu. Ia mencoba menerka di mana dirinya saat ini berada. Namun suasana mencekam membuat otaknya berhenti berpikir waras. Alea berusaha menghindar dan bersembunyi, sebuah peluru terbang ke arah Alea. Sekuat tenaga ia berusaha menghindar, namun peluru itu menembus pinggang kirinya, membuatnya oleng dan terjatuh diantara langkah kaki para prajurit bersenjata.
Pandangan matanya kabur, Alea hampir tak sadarkan diri. Seseorang datang menggandeng tangannya. Alea merasa terbang, kakinya ringan berjalan di antara prajurit yang saling serang di medan perang. Alea merasakan tangannya sejuk dalam gandengan seseorang. Alea tersenyum, memejamkan matanya. Alea tak berharap lagi dapat melihat wajah seseorang yang menggandeng tangannya. Ia hanya berharap seseorang itu menyelamatkannya. Alea sudah cukup bahagia dapat menemukan kembali seseorang itu.
Seseorang yang menggandeng tangannya berhenti. Alea rebah di bawah pohon apel yang rindang. Langit hampir gelap, mata alea menangkap cahaya putih yang bersinar di hadapannya. Seseorang yang menggandeng tangannya tersenyum.
“Siapa kamu sebenarnya?” Alea meraba wajah seseorang yang menggandeng tangannya.
“Aku adalah bagian terdekat dari dirimu.” Seseorang itu menjawab dengan suara berbisik.
“Kenapa datang lagi, ke manakah kamu selama ini?” Alea mengusap wajah yang tidak jelas dalam pandangannya. Kulitnya licin, kenyal dan sejuk seperti agar-agar.
“Aku datang saat kamu mengharapkannya, dan … aku pergi saat kamu menginginkannya.”
Alea mencoba mencerna kata-kata seseorang yang menggandeng tangannya. Pikirannya mulai peka, ia menyadari bahwa seseorang yang datang menggandeng tangannya selalu datang dan membawanya ke tempat-tempat yang indah. Tetapi setiap kali seseorang itu meninggalkannya, Alea selalu pergi ke tempat-tempat yang mengerikan dan mengancam jiwanya.
Alea tersenyum, memahami apa yang diucapkan seseorang yang menggandeng tangannya.
“Tolong, antarkan aku pulang. Kumohon.” Alea memohon kepada seseorang yang menggandeng tangannya untuk mengantarnya pulang. Wajah Alea semakin pucat, darah yang keluar dari lukanya semakin banyak dan membuatnya tidak berdaya.
“Tinggallah di sini bersamaku, Alea. Aku kesepian sejak kita berpisah di hari lahirmu.” Seseorang yang menggandeng tangannya tampak sedih, suaranya semakin tidak terdengar di telinga Alea.
“Aku punya keluarga yang membutuhkanku, tolong, antarkan aku pulang.” Alea kembali memohon. Air matanya jatuh di pipi, bukan karena rasa takut atau sakit di pinggangnya. Tetapi rasa takut kehilangan seseorang yang menggandeng tangannya juga rindu pada suami dan anak-anaknya.
“Kamu tidak kasihan kepadaku, Alea?” suara itu terdengar menyayat hati.
“Siapa kamu, apakah kita bersaudara?”
“Anggap saja begitu, aku akan hadir setiap kali kamu mengingat kebaikan, mengingat kekuatan untuk bertahan hidup, aku ada di sana.” Seseorang yang menggandeng tangannya bangkit, mengusap wajah Alea dengan lembut. “Tinggallah di sini bersamaku, aku akan menjagamu dari orang-orang jahat yang memanfaatkanmu untuk ambisi mereka.”
Dalam beberapa detik Alea sudah berada di kantornya. Darah segar mengucur dari pinggangnya yang rapuh. Riuh teman-teman kerjanya karena terkejut, tetapi tidak segera menolongnya. Alea memejamkan mata, berharap tidak berpisah dengan seseorang yang menggandeng tangannya.
Rachmawati Ash. Penyuka warna biru dan hitam. Tinggal bersama suami dan kedua jagoannya yang tampan dan menggemaskan.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata