Alan dan Magnetic Ship
Oleh: Inet Wijaya
Terbaik 9 Lomba Cerpen Fantasi Lokerkata
Sudah dua minggu ayah belum kembali ke Agartha. Itu berarti sudah dua minggu pula aku hidup menumpang di rumah Bibi Ollie. Tempat ini sama sekali tidak nampak seperti rumah. Mungkin lebih tepatnya tempat persembunyian, laboratorium tua tempat moyang Bibi Ollie menjadikan Agartha sebagai dunia yang begitu sempurna. Dari luar, bangunan ini tampak seperti bunker tua. Lumut tumbuh di sana-sini, sulur tumbuhan liar menutupi pintu masuk, rumput liar pun tumbuh subur di sana.
“Kau yakin akan menyusul ayahmu?” tanya Bibi Ollie.
Aku mengangguk untuk jawaban kesekian kalinya, “Aku harus menemukan ayah, Bibi Ollie. Dia satu-satunya keluargaku yang tersisa.”
“Astaga! Anak ini benar-benar keras kepala seperti Teddy.”
“Mau bagaimana lagi? Aku adalah anaknya.” Bibirku tersenyum masam.
Bibi Ollie mencebik, ia meninggalkan kunci berbentuk piramida pada ujungnya di meja kaca, meninggalkan bunyi yang khas. Kunci itu segera kusambar. Aku yakin ini adalah kunci yang kucari, kunci magnetic ship, kendaraan teknologi Agartha berpuluh tahun silam yang tersisa. Kendaraan yang mampu melesat di udara.
“Terimakasih, Bibi Ollie. Kau memang yang terbaik!”
“Jangan sampai mati, Alan! Kau baru berumur empat belas tahun!”
Aku tidak akan mati sebelum bertemu ayah. Selain itu impianku sama seperti impian ayah, melihat dunia permukaan, Yawa Loka.
Berpuluh tahun silam, Agartha adalah dunia dengan peradaban tinggi jika dibandingkan dengan Yawa Loka. Agartha terletak di rongga bumi, sedangkan Yawa Loka adalah sebutan untuk permukaan bumi. Gedung-gedung tinggi menjulang di Agartha, para ibu selalu memasak makanan yang bergizi untuk anak-anaknya. Para ayah tidak kesulitan mencari pekerjaan, dan anak-anak belajar sesuai dengan bakatnya. Namun, kenyamanan itu membuat bosan orang-orang Agartha. Mereka menginginkan lebih. Dan itu menimbulkan bencana.
Orang-orang Agartha menginginkan tanah suci Sahasya. Artinya mereka ingin memulai peperangan dengan monster-monster sebesar gedung-gedung yang menjulang di Agartha. Mula-mula kampanye perihal bahaya kebangkitan monster-monster didengungkan selama berhari-hari, hingga menimbulkan kepanikan massal. Para ilmuwan dituntut agar menemukan kelemahan monster-monster itu.
Selama beratus tahun monster-monster itu hidup berdampingan dengan manusia, mereka tinggal di Sahasya, Agartha bagian barat. Selanjutnya tanah itu disebut tanah suci agar tidak ada yang berani menginjakkan kaki di sana. Manusia dan monster dapat hidup berdampingan dengan damai karena berkat Vivere. Vivere adalah orang-orang yang dapat berkomunikasi dengan monster. Sayangnya sekarang sudah tidak ada Vivere, mereka dibantai oleh orang-orang Agartha yang tamak.
Mereka mengira dengan membantai Vivere dapat membuat monster-monster itu melemah. Ternyata sebaliknya, monster-monster itu mengamuk. Bahkan Rahvaya, pemimpin dari monster itu meluluhlantakkan Agartha. Agartha kembali ke titik nol. Waktu itu ayahku berusia sama sepertiku. Ialah guru sejarahku yang telah menceritakan semuanya kepadaku.
Agartha kini dikuasai oleh monster, baik di tanah maupun udara. Orang-orang bersembunyi di gedung-gedung yang setengahnya sudah rubuh, rumah-rumah terbengkalai, atau tempat persembunyian seperti punya Bibi Ollie.
“Wah, wah, wah … Jadi ada yang mau ke Yawa Loka,” ucap Katrin mengagetkanku. Handuk basah yang kugunakan untuk mengusap magnetic ship terjatuh.
“Aku hanya sendiri, ya. Kau bisa lihat sendiri, magnetic ship hanya untuk satu orang.”
Katrin mengambil handuk basah, ia melanjutkan pekerjaanku. Katrin adalah anak Bibi Ollie, ia sama keras kepalanya denganku ingin ke Yawa Loka. Kami pernah membuat janji akan ke sana bersama.
“Masih ada satu lagi,” bisiknya. Ia melihat tangga, memastikan tidak ada Bibi Ollie yang sedang menguping, “Mendiang ayahku menyimpan satu untukku.”
“Kau mau ikut?”
“Sssttt.” Katrin mengangguk.
Ada rasa tenang yang mengalir dalam tubuhku. Mempunyai teman dalam perjalanan lebih baik daripada sendirian. Namun, aku juga merasa bersalah kepada Bibi Ollie, ia takkan mengizinkan Katrin ikut jika tahu.
Pagi-pagi buta aku dan Katrin bersiap menuju ke Yawa Loka. Selain agar tidak menarik perhatian monster-monster, juga agar Katrin tidak ketahuan Bibi Ollie. Kami mengendap-endap keluar lewat pintu belakang. Magnetic ship sudah kami keluarkan di hari sebelumnya. Kami menyibak kain hitam yang menutupi magnetic ship sepelan mungkin. Magnetic ship ditopang oleh dua roda besar yang sejajar, di bagian depan ada mesin berbentuk lingkaran.
Katrin melemparkan sarung tangan usang. Saat kupakai, tanganku menjadi tampak lebih besar. Katrin juga memakai sarung tangan, bedanya sarung tangannya jauh lebih bagus. Warnanya merah.
“Aku ada kejutan untukmu,” kata Katrin memecah kesunyian.
“Kejutan apa?” tanyaku.
“Jika kau tekan tombol warna merah, magnetic ship akan berubah menjadi magnetic kapsul.” Katrin tersenyum penuh arti melihatku kebingungan.
“Pokoknya tekan hanya saat kau mau memasuki lubang penghubung. Mengerti!”
Aku mengangguk. Katrin selalu dapat kuandalkan. Bukan karena ia lebih tua tiga tahun dariku, tapi karena ia selalu terencana dan brilian. Menurut peta, lubang penghubung berada di Sahasya, tepat ada di sarang Rahvaya. Itu sebabnya aku harus menunggu purnama, karena tiap purnama Rahvaya akan pergi dari sarangnya untuk mencari makan. Saat itulah aku dan Katrin akan menjadi nyamuk yang melewati sarang Sang Pemimpin Monster.
Untuk menuju ke Sahasya, ada dua jalan. Jalan pertama lebih cepat, tapi medannya berbahaya karena melewati kota yang dikuasai oleh monster-monster. Jalan kedua lebih lama sampai, tapi akan aman dari monster. Jalan itu melewati hutan Nantahala, hutan yang siang pun terasa seperti malam, pepohonan tinggi menjulang, dahan-dahannya menghalangi cahaya masuk.
Langit sudah terang ketika kami hampir sampai ke lubang penghubung. Wajah Katrin kini tak setenang tadi. Kami sedang beristirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan.
“Ada apa, Katrin? Kau takut?”
“Sekarang bukan saatnya bilang takut. Kalau aku takut tidak akan sampai sejauh ini, Alan. Dengar! Apa pun nanti bisa saja terjadi. Kita harus fokus! Mengerti!”
Aku mengangguk, “Kita pasti berhasil, Katrin. Aku yakin.”
Magnetic ship Katrin melesat ke udara, aku segera menyusulnya. Untungnya magnetic ship tidak mengeluarkan bunyi, jadi selama kami menghindar dari tatapan monster, kami aman. Tiba-tiba magnetic ship Katrin melambat, kami bersisian. Tangan Katrin menunjuk ke gua yang ada di tebing. Kami mendarat di sana.
“Alan, Ada dua monster yang terbang di dekat sarang Rahvaya. Mereka seperti sedang berjaga.”
“Kita tidak bisa bebas ke sana?”
Katrin mengangguk, “Kau percaya aku, kan?”
“Tentu saja.”
“Aku akan mengalihkan perhatian dua monster itu, sementara itu kau pergi ke lubang penghubung.”
Aku mengernyit, “Katrin, itu artinya kau tidak ikut ke Yawa Loka? Dan bagaimana kalau kau diserang monster-monster itu?”
“Alan, kau lebih berhak ke sana untuk menemui ayahmu. Jangan khawatirkan soal monster-monster itu. Kau hanya harus percaya kepadaku.”
“Katrin, bagaimana dengan Bibi Oll…. “
“Kita tidak punya banyak waktu Alan. Rahvaya akan segera kembali ke sarangnya.”
“Oke, terima kasih, Katrin. Kamu tidak boleh mati.”
Katrin tersenyum, “Bukankah aku terlalu muda untuk mati?”
Magnetic ship Katrin melesat ke udara, ia menjalankan sesuai rencana. Mengalihkan perhatian dua monster yang terbang di dekat sarang Rahvaya. Sementara itu magnetic ship yang kukendarai melesat ke sarang Rahvaya. Tiba-tiba suara yang begitu keras mengalihkan perhatianku, itu adalah suara Rahvaya! Ia sedang berlari ke arah sarangnya!
Kesadaranku kembali karena teriakan Katrin. Rahvaya cepat sekali tiba-tiba sudah ada di belakangku. Untung saja sebelum monster besar itu berbelok ke sarangnya, Aku sudah lebih dahulu berbelok. Sebentar lagi aku bisa sampai ke lubang penghubung. Magnetic ship melesat dengan kecepatan penuh hingga tubuhku hampir terbang.
Sisi dari lubang penghubung tampak bergerigi, lebih dalam lagi hawa panas menyergapku. Aku baru ingat pesan Katrin. Aku harus memencet tombol warna….
Aku lupa.
Ada tiga tombol, merah, kuning, dan biru.
Tanganku mulai gemetar, sarung tangan yang kupakai terasa berat.
Tunggu, sarung tangan? Sarung tangan Katrin warna merah. Iya, Katrin suka warna merah. Aku segera memencet tombol warna merah.
“Halo, Tuan. Bersiaplah, saya akan bertransformasi,” ucap Magnetic Ship mengagetkanku.(*)
Pekalongan, 27 Oktober 2024.
*Inet Wijaya, ibu dari seorang putra yang masih terus belajar menulis.
Komentar Juri, Berry:
Satu dari sedikit (atau mungkin satu-satunya) naskah fantasi dalam lomba kali ini yang ditulis dengan cara yang sangat “remaja” tetapi betul-betul enak dibaca. World building di awalnya cukup, tidak berlebihan, dan adegannya pun tidak berisi dialog-dialog kosong. Idenya yang sederhana pun dibangun dari pemahaman politik sehari-hari yang masuk akal, terkait keserakahan manusia dan sebagainya.
Meski ide pokoknya tidak memberi “tendangan” yang aku harapkan, cerita ini sudah sangat enak dibaca.