Alam di Bawah Sadar

Alam di Bawah Sadar

Alam di Bawah Sadar
Oleh : Siti Nuraliah

Tubuhku seperti tersedot ke dalam ruangan yang pengap dan gelap. Kuarahkan pandangan ke kiri dan ke kanan. Hawa dingin menyergap tubuhku seketika, membuatku merapatkan jaket yang sedang kukenakan. Aku berjalan pelan, sambil meraba-raba dinding yang basah mengembun. Semakin lama, mataku bisa beradaptasi dengan gelap sehingga sedikit bisa melihat sekitar.

Ternyata tempat ini seperti lorong yang panjang, beberapa kali aku menengok ke kiri, ke kanan, dan ke atas. Tidak ada apa-apa. Lengang.

Hening, telingaku seperti berdenging, tidak ada suara-suara yang bisa didengar oleh telingaku. Kecuali suara telapak kakiku yang beradu dengan lantai lorong ini yang sedikit berair, entah dari mana air itu berasal. Aku merasa ketakutan dan cemas, aku juga baru sadar kakiku telanjang.

Semakin jauh aku berjalan, di depan sana terlihat ada seberkas cahaya yang masuk. Langkah kaki kupercepat menuju cahaya itu, berharap ada jalan keluar agar aku bisa segera bebas dari tempat yang membuatku semakin lama semakin sesak.

Tiba-tiba tenggorokanku terasa sangat kering, aku dilanda rasa haus yang menyiksa. Sedikit demi sedikit tenagaku mulai terkuras, perut mulas dan rasa lapar pun mulai terasa. Aku benci, cahaya di depan sana ternyata tak kunjung mendekat, malah seperti semakin kupercepat langkah ini cahaya itu semakin menjauh.

Kakiku terperosok ke dalam lubang, aku terjatuh. Kuraba-raba kakiku yang terjepit. Ternyata bukan lubang, ini seperti parit atau selokan air. Kutarik kakiku dengan paksa. Perih, kuusap dengan tangan sambil sedikit dipijit. Ada cairan yang keluar dari kakiku yang kuyakini adalah darah. Sekali lagi aku menengok ke kiri, ke kanan, dan ke atas. Seperti ada yang membisikkan suara ke telingaku untuk mencoba memasukkan tangan ke dalam parit–tempat kakiku terperosok.

Setelah kumasukkan tangan sampai melewati sikut ke dalam parit itu, seperti mendapat oase di tengah padang pasir, aku girang. Air mengalir pelan dengan sangat sejuk di bawahnya. Kuceduk airnya dengan telapak tangan, membasuhkannya pada kakiku yang perih. Kuceduk lagi untuk membasahi tenggorokanku yang kering. Aku duduk bersandar di dinding lorong ini. Sebentar saja melepas lelah, pikirku.

Mataku mengantuk, berat sekali untuk dibuka. Aku hampir saja ketiduran bila saja tidak ada suara seperti bisikan-bisikan namaku yang membuyarkan rasa kantuk.

“Dona ….”

“Dona ….”

“Dona ….”

Aku menajamkan pendengaran, mencari-cari sumber suara yang sudah bukan lagi merupa bisikan. Ini sudah seperti teriakan. Aku terlonjak, berdiri sekuat tenaga. Rasa perih di kaki sudah tidak terasa lagi.

Dengan langkah goyah, kuseret kakiku yang sudah lecet di kedua telapaknya akibat beberapa kali terpeleset. Mencoba berlari mengejar sumber cahaya. Lagi-lagi cahaya itu menjauh. Suara-suara lain bermunculan, membuat tubuhku bergetar dan menggigil semakin ketakutan. Air mataku luruh, aku menangis. Sebenarnya tempat apa ini? Mengapa aku berada di sini? Ibu? Iya, Ibu pasti mencariku. Dan pertanyaan-pertanyaan lainnya yang kuucapkan di dalam hati.

Aku harus kuat, kadang berjalan pelan kadang mencoba berlari kadang juga merangkak. Karena aku baru sadar, lorong ini sedikit menanjak. Tubuhku dingin, tetapi keringat membanjir di seluruh tubuh. Rasa lapar dan haus tidak lagi kuhiraukan, yang ada dalam otakku adalah kapan akan sampai menuju sumber cahaya itu. Dengan tenaga yang masih tersisa, aku berhenti sejenak mengatur napas yang tersengal-sengal.

Aku memejamkan mata merapal doa yang kubisa. Aku menyumpahi diri, mengapa baru sekarang teringat doa. Setelah merasa cukup berdoa, kubuka mata dengan perlahan. Ajaib, sumber cahaya itu hanya tinggal beberapa meter lagi di depanku. Seperti ada kekuatan baru, aku berlari dengan terpincang-pincang.

Sekarang aku sudah berada di ujung lorong, sumber cahaya itu ternyata berasal dari ruangan yang cukup luas, di sini semuanya terlihat putih. Aku tertegun, tempat ini seperti istana di negeri dongeng. Aku terlena, beberapa benda di ruangan ini seperti tercipta dari tangan-tangan tukang seni. Kursi, lemari, dan plafon-plafonnya mempunyai ukiran yang sangat indah.

Tapi, apakah tempat ini tidak berpenghuni?

“Dona ….”

“Dona ….”

Suara-suara yang memanggil namaku terdengar lagi, saat ini terdengar meggema seperti seseorang yang sedang berteriak-teriak di ruangan kosong. Suaranya memantul. Lagi-lagi aku mencari dari mana suara itu berasal.

Kali ini suaranya bergemuruh, aku memegangi telinga. Sebab ada banyak suara yang tidak jelas. Seperti orang mengaji, dan … Ada suara ibuku di sana.

“Ibuuu. Ibuuu.” Aku berteriak histeris.

“Ibuuu. Tolong Dona, Bu! Dona takut.”

“Hei, siapa itu?”

Seseorang turun dari tangga yang meliuk-liuk ke atas bagai menembus awan. Aku terpana, di tempatku berdiri ada langit-langit dan plafon yang megah, sedangkan seseorang itu menuruni tangga dari atas yang tidak terlihat jelas ada ruangannya di sana. Semuanya serba putih menyilaukan.

“Ouh, gadis manis!” Dia menyapaku.

Perempuan cantik dengan rambut bergelombang dan gaun putih berbulu lembut berjalan menghampiriku. Aku masih mencoba menguasai diri agar tidak pingsan. Perasaan takut, rasa haus, dan lapar adalah konspirasi yang kuat untuk menumbangkan tubuhku. Lututku sudah mulai lemas, telapak tanganku semakin basah oleh keringat.

“Jangan menatapku seperti itu, mari duduk!” Dia menuntunku menuju kursi dan meja makan.

“Aku tahu, kamu lapar. Silakan duduk dan makanlah, anak manis! Perintahnya kepadaku.

Hidangan di atas meja itu membuat lambungku semakin terasa perih, menggoda lidahku untuk segera melahap semuanya. Logikaku menolak, aku tidak mungkin makan di tempat asing seperti ini. Namun, rasa lapar membuatku lupa.

“Aku boleh makan?” Akhirnya aku memberanikan diri membuka suara.

Perempuan yang seperti malaikat di depanku ini mengangguk dengan senyuman yang sangat manis.

“Makanlah!” jawabnya.

Segelas air putih langsung kuteguk habis, kemudian menyendok nasi dan menambahkan lauk pauk ke dalam piringku. Makanan ini, adalah makanan yang paling enak yang pernah kumakan. Rasa nikmat dari hidangan yang dia sediakan membuatku dua kali menyendok nasi. Perempuan ini hanya memerhatikanku, dia tidak ikut makan.

“Setelah ini pulanglah! Ibumu sudah satu minggu menunggu.”

Ucapannya membuatku berhenti mengunyah. Aku tersedak. Dia menyodorkan segelas air putih, entah dari mana gelas itu terisi penuh lagi. Padahal gelas itu sudah kosong, isinya sudah tandas sejak tadi pertama kali kuteguk.

“Dona ….”

“Ini Ibu, Nak. Bangun sayang!” Suara itu terdengar jelas di telingaku. Tetiba ruangan ini menjadi gelap, pengap dan napasku terasa sangat sesak. Telingaku berdenging lagi. Aku seperti kehilangan pendengaran. Semuanya gelap, dan hening.

***

“Bangun, Nak!”

“Dona ….”

Suara itu, bergantian terdengar kembali di telingaku. Suara Ibu, suara orang berdoa, dan suara yang memanggil namaku. Aku memejamkan mata, ingin berteriak, tetapi suaraku seperti tiba-tiba menghilang.

Kakiku terasa nyeri kembali, aku masih memejamkan mata menahan sakit. Kali ini bukan akibat lecet-lecet karena beberapa kali terpeleset. Kakiku seperti sedang dipijit dengan sangat keras.

“Aaargghhh. Sakiittt!!” Aku berteriak, sambil membuka mata.

Kini, tempatku sudah beda. Ada Ibu yang matanya membengkak dan wajahnya lusuh. Adik bungsuku yang juga sama matanya basah. Pak Ustaz, guru ngajiku. Serta beberapa tetangga yang turut mengucapkan kalimat: alhamdulillah.

“Bu, aku kenapa?” Suaraku hampir tidak terdengar.


“Tidak apa-apa. Syukurlah kamu sudah sadar. Lain kali, dengarlah ucapan Ibu. Jangan main di pantai terlalu sore, sampe nekat berenang ke tengah segala. Untung ada Mang Ujang yang menolong kamu.” (*)

Banjarsari, 4 Juli 2020.

 

Siti Nuraliah, perempuan sederhana penyuka sastra. Kadang suka menulis, kadang suka membaca. Penulis pemula yang selalu berusaha memperbaiki tulisannya

 

Editor : Uzwah Anna

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata.

 

Leave a Reply