Akulah Sita

Akulah Sita

Akulah Sita
Oleh : Eda Erfauzan

Alengka. Taman Asoka

Seorang pria berjubah putih dengan aura seorang maharaja meninggalkan pintu gerbang taman. Wajahnya rupawan, kulit terang, sinar mata tajam, langkahnya tegap tanpa keraguan.

Sementara di atas pohon Asoka dalam kerimbunan daun dan bunga, sepasang mata dinaungi bulu lebat mengawasi. Lalu pandangnya terpaku pada sosok perempuan berkulit pualam, berwajah secantik teratai tengah duduk bersila. Wajahnya mendung dengan titik air menggantung dari matanya yang sejernih danau.

Tubuh putih berbulu itu pun meluncur turun. Memutari Sang Dewi.

“Siapa Kau? Sungguh berani memasuki taman ini.”

“Hamba utusan Rama, tuanku?”

Sang Dewi termangu. “Benarkah? Apa yang kau tahu tentang Rama?”

“Rama, putra Raja Dasarata dari Ayodya, ksatria mulia yang tengah berduka karena istri tercinta tiada, diculik raksasa angkara.” Mahluk berbulu menyerahkan cincin yang dititipkan Rama.

Sang Dewi memberi isyarat untuk meletakkan cincin itu dalam lingkaran rumput kering. Batas yang dibuatnya untuk melindungi diri. Air mata berlinang ketikan Sang Dewi mengambil cincin itu.

“Dengarlah wahai Utusan. Dengarkan baik-baik dan sampaikanlah pada junjunganmu apa yang kukatakan, jangan kau kurangi atau lebihkan.”

Akulah Sita, simbol kesetiaan, cinta dan pengorbanan.
Akulah Sita, kekasih Rama yang dipuja Rahwana.
Akulah Sita, perempuan yang sesungguhnya kecewa.

Sembilan purnama kulalui di Alengka tetapi Rama tak jua menjemputku. Apa yang terjadi dengannya?
Bukankah sebagai titisan Wishnu mudah saja baginya untuk mencariku? Dengan senjata anugerah para dewa tak sulit baginya menaklukan penculikku.

Di manakah Rama? Di manakah dia yang pernah berkata tak akan bisa bahagia jika aku bersedih, percuma mencari surga jika aku tak bahagia? Dan kini aku bersedih karenanya. Keindahan Asoka tak berwarna bagiku karena jauh darinya. Oh, di mana Ramaku, lelaki yang untuknya rela kutinggalkan istana. Ikhlas menyertainya dalam empat belas tahun masa pembuangan di hutan Dandaka.

Sembilan purnama menjaga hati untuk setia, bertahan suci dan tak tersentuh laki-laki selain suamiku.

Tahukah, engkau suamiku jika Rahwana tak pernah menampakkan hal-hal menakutkan padaku. Sikapnya terjaga, selalu memastikan yang terbaik untukku dan selalu berkata lembut meski Asoka pernah porak poranda karena amarahku.

Tahukah kau, bukan karena tak cinta perempuan tergoda untuk tidak setia tetapi rapuhnya hati karena lelah menanti, kecewa karena janji yang tak dipenuhi dan rasa sendiri, terasing, merasa tak dipedulikan kekasih hati.

Taman Asoka selalu berseri layaknya musim semi. Bunga aneka warna bermekaran menebar aroma wangi. Merak-merak tak jemu memamerkan ekor mereka. Mekar indah bagai kipas warni-warni, semua seakan tanpa warna karena kau tiada, suamiku.

Selembar rumput kering pembatas kuletakkan dan Rahwana tak pernah melampauinya. Ia menghormatiku, perempuan yang diculiknya.

“Aku tak akan melewatinya. Tak akan memaksakan keinginanku padamu, Dewi. Jangan takut. Aku akan menunggu rasa cinta seperti yang kurasa tumbuh dalam hatimu. Terlalu mudah bagiku memaksakan kehendak agar memilikimu. Aku akan menunggu tak peduli berapa lama waktu yang kau butuhkan,” itu kata-katanya saat menurunkanku dari Kereta Puspaka.

Setiap hari ia mengunjungiku, memastikan para dayang memperlakukanku dengan baik, bertindak sesuai dengan keinginanku dan membuatku senang. Tak pernah kasar, tak pernah marah, selalu bersikap dan bertutur lembut.

Aduhai, Hanoman utusan terpilih penakluk samudra. Terlalu lama aku menanti Rama. Takdirku telah tertulis dengan peperangan besar yang dimenangkan Rama, aku akan kembali padanya. Lelaki di mana aku bersetia tetapi dia membuatku kecewa.

Dengarlah, wahai Utusan. Katakan pada Ramaku untuk tidak berperang karena aku tak mau dihinakan suamiku di depan rakyatnya. Cukuplah para dewa menjadi saksi bagaimana aku setia dan menjaga kesucianku. Tak ingin luka hatiku karena tak dipercaya belahan jiwa.

Aku tak akan membakar diriku di Alengka usai peperangan juga tak akan meminta bumi menelanku di Ayodya untuk membuktikan prasangka, keraguan dan ego junjunganmu.

Katakan pada Ramaku untuk membawa pulang pasukan, bukan karena lautan luas yang membentang tetapi kemenangan perang menghapus cahaya dari hatinya. Bawalah ini, permata yang pernah disematkannya di dahiku.

Sang Utusan pergi.

Asoka beku dalam keheningan saat Sang Dewi mengeluarkan botol racun dari balik jubah sutra dan meminumnya tanpa ragu.

Akulah Sita, simbol kesetiaan, cinta dan pengorbanan.
Akulah Sita, kekasih Rama yang dipuja Rahwana
Akulah Sita, perempuan yang sesungguhnya kecewa.

 

Note: Cerita ini merupakan fanfiction dari kisah Ramayana

Eda Suhaedah/Eda Erfauzan lahir di Tangerang Banten. Anak keempat dari tujuh bersaudara yang semuanya perempuan. Gemar membaca sejak kecil dan mulai belajar menulis secara otodidak sejak tsanawiyah, tetapi lebih banyak curhatan di buku harian. Kesibukan bekerja sempat mengalihkan minat menulisnya. Kini keinginan menekuni kegemaran  menulis kembali hadir. Belajar hingga bisa melahirkan karya yang baik dalam isi maupun penulisan.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply