Aku yang Tidak Berarti

Aku yang Tidak Berarti

Aku  yang Tidak Berarti

Oleh: Fathia Rizkiah

 

Aku dibuang, sengaja ditelantarkan. Memang, setelah tugasku selesai aku tidak lagi berguna sehingga mereka semena-mena membuangku di mana pun mereka suka. Mereka tahu aku tidak boleh diletakkan di sembarang tempat, tapi mereka berlagak tuli. Jika ada petugas berseragam jingga menegur, barulah mereka berakting seakan-akan amnesia. Padahal jelas-jelas mereka malas mematuhi peraturan pemerintah yang dianggap “ribet”.

Siang ini, aku mulai menjelajah. Tubuhku yang ringan terombang-ambing di udara, tertiup angin yang melintas. Petualanganku kali ini jauuuh sekali, hingga mendarat di tempat yang cukup asing, tapi aku suka! Tempat ini bersih, tidak ada satu pun kelompok kami bersemayam di sini. Pasti petugas atau penduduknya rajin membersihkan kami. Hmm, aku jadi tak sabar ingin bertemu mereka. Begitu salah satu dari mereka melihatku, pasti mereka akan mengambil dan menyimpanku ke tempat yang layak, ya kan? Aku akan tenang di dalam sana, bertemu teman baru lalu berkenalan. Dan pastinya, aku tidak akan kesal lagi karena angin, yang terus memindahkan tempatku sesukanya. Tidak peduli tempat itu kotor atau bersih, ia tetap meninggalkanku sendiri.

Dari kejauhan, aku melihat segerombol  anak kecil yang menanyakan berbagai macam hal yang mereka lihat. Tapi sayang, bila ingin bertanya, mereka harus mengangkat jari telunjuk dahulu. Perebutan mengangkat jari telunjuk dimulai. Suasana berubah gaduh. Mereka saling berlomba mengangkat telunjuk lebih dulu sambil meneriakkan nama masing-masing.

“Carissa!”

“Wawa!”

“Gibran!”

“Danis!”

Perkelahian kecil dimulai. Karena semua menyebut nama bersamaan, guru bingung harus memilih yang mana lebih dahulu untuk dijawab pertanyaannya. Beberapa anak perempuan memarahi teman-temannya yang tidak sabaran.

“Iiih, bicaranya satu-satu. Tuh, Bunda Guru bingung kan mau milih yang mana dulu,” omel Carissa sambil berkacak di pinggang.

“Kata Bunda Guru kan ini berebut, siapa cepat pertanyaannya dijawab,” balas Syasya mewakili teman-temannya.

“Iya, tapi sabar, satu-satu. Jangan semuanya tunjuk tangan. Bunda Gurunya bingung, tahu!”

Guru mereka tertawa, tingkah Carissa memang selalu lebih dewasa dari teman-teman seumurannya.

“Betul Carissa, betul Syasya. Bunda Guru memang bingung kalau semuanya berbicara, tapi sekarang kita sedang bermain siapa cepat pertanyaannya dijawab, jadi tidak apa-apa semuanya berbicara. Biar nanti Bunda Guru pilih mana yang paling rapi dan paling mengikuti aturan Bunda Guru, itulah yang Bunda pilih terlebih dahulu,” jelasnya.

Semua anak terdiam, berdiri tegak seraya menatap guru di depan mereka.

“Oke, sepertinya sudah siap semua. Are you ready?”

YES!”

“Kalau kau senang hati tepuk tangan!” Bunda Guru mulai bernyanyi sambil bertepuk tangan. Mulanya semua murid kecil bingung, tapi begitu mengingat harus mengikuti aturan Bunda Guru mereka lekas mengikuti nyanyian yang sedang dinyanyikan.

Selama bernyanyi, guru memerhatikan murid kecil yang bernyanyi paling semangat. “Yang pertanyaannya akan dijawab adalah … Daffa! Yeee.”

Carissa dan teman-teman yang lain mengeluh.

“Bunda Guru akan pilih satu orang lagi untuk dijawab pertanyaannya. Siap? Are you ready?”

Teriakan murid-murid kecil makin lantang, “YES!”

Guru mulai bernyanyi lagi, “Dua mata saya, hidung saya satu, dua kaki saya pakai sepatu baru.”

Semua murid-murid kecil mengikuti dengan semangat.

Setelah lagu selesai … “Yang pertanyaannya akan dijawab adalah … semuanya! Horeee.”

“Kok semuanya sih, Bunda? Katanya cuma satu orang,” protes Carissa tak suka.

“Karena hari ini semuanya mengikuti aturan Bunda guru, jadi Bunda akan pilih semuanya,” jelas guru pada semua murid, tapi sorot matanya terus menatap Carissa.

Guru melirik jam tangannya. Waktu mereka belajar di luar kelas tinggal 5 menit lagi. “Teman-teman, Bunda punya satu permainan lagi. Nama permainannya, ambil dan simpan di tempatnya.”

“Cara bermainnya bagaimana, Bun?” tanya Arya.

“Teman-teman harus mencari sampah lalu dibuang ke tempatnya. Nanti saat di kelas, teman-teman boleh menggambar tentang sampah apa saja yang teman-teman buang hari ini.”

Semuanya mengangguk tanda memahami perintah.

“Siap? Bunda hitung satu sampai tiga, ya. Satu, dua, tiga, mulaaai!”

Aku senang bukan main. Guru yang membimbing mereka seakan bisa membaca pikiranku meski jarak kami lumayan jauh. Sambil melihat anak-anak berlarian ke sana ke mari, aku berteriak, “Ke sini, Nak! Ambil aku.”

Salah satu dari mereka melihatku, “Eh, di sana ada sampah. Ambil yang di sana, yuk.”

“Ayo!”

Kedua anak kecil berlari riang menghampiriku.

“Wawa, Khayla, cari sampahnya di sini saja ya,” ujar guru, mengingatkan mereka.

Yaaaah, aku kecewa. Aku tidak jadi tinggal di tempat baru dan berkenalan dengan teman-teman baru.

“Khayla, kamu ambil sampah itu, aku kembali ke Bunda Guru,” bisik Wawa.

Khayla mengangguk. “Nanti cuci tangannya bersama-sama, ya.”

Wawa ikut mengangguk. “Iya.”

Khayla berlari cepat menghampiriku. Aku tersenyum lebar. Terima kasih, Khayla. (*)

 

Fathia Rizkiah, gadis yang menyukai anak-anak dan bekerja sebagai pendidik manusia-manusia kecil di TK. Cerita ini dibuat untuk melampiaskan rindu pada mereka. Sikap dan nama anak yang tertera asli diambil dari sikap anak itu aslinya.

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply