Aku yang Tampan, Kenapa  Kamu yang Repot?

Aku yang Tampan, Kenapa Kamu yang Repot?

Aku yang Tampan, Kenapa Kamu yang Repot?

Oleh: Rachmawati Ash

Detak jarum jam dinding di lantai enam memantul lembut dalam keheningan. Aku belum sempat bergeming dari kursi kerja, deadline yang harus segera kuselesaikan menahan tubuhku berjam-jam di depan layar komputer. Sesekali kulihat ponsel di meja, berharap ada seseorang yang menelpon atau mengirim pesan untukku. Tapi nihil, aku menyandarkan tubuh yang lelah di kursi kerjaku. Entah, kesepian tiba-tiba membuatku merindukan seseorang.
Rizka–kekasihku yang bertubuh semampai itu akhir-akhir ini membuatku rindu setengah mati. Aku merindukan suaranya yang meninggi saat teleponnya lama tidak kuangkat, atau saat merajuk memintaku datang ke rumahnya di malam minggu. Aku merindukan cerewetnya saat mengingatkanku tentang berbagai hal yang kuanggap sepele. Misalnya, mulutnya tidak berhenti berpesan kepadaku sambil sibuk memasukan handuk, permen, kue bahkan tisyu ke dalam tas ranselku.
“Astaga, aku laki-laki, kenapa harus bawa tisyu segala, Riz?” kalimatku penuh protes.
“Jangan sampai repot di perjalanan!” Kalimatnya lembut namun disertai matanya melotot, membuatku malas berdebat dengannya. Akhirnya aku mengalah, sambil menggerutu membawa semua benda-benda aneh di tas dalam perjalanan wisata kantorku. Tapi anehnya semua barang memuakkan itu bermanfaat untukku. Perutku terasa lapar dalam perjalanan jauh dan dingin, semua snack dari biro telah habis sejak sore. Malam-malam sulit mencari makanan, kalau aku minta Bus berhenti di sembarang tempat bisa-bisa akan mendapat masalah. Aku membuka tas ranselku, sebuah sanwich isi selai cokelat menunggu tanganku untuk segera mengambil dan memasukkannya ke mulut. Aku nyengir sambil menggeleng-nggelengkan kepala. Dalam hati aku berterima kasih pada gadis bermata bulat itu.

Atau kesempatan lain saat aku lupa tidak menyisir rambut, tidak segan-segan Rizka menyisir rambutku yang lurus. Menyodorkan cream pelembab rambut, dengan malas aku menggunakannya. Dari cermin kulihat senyumnya merekah dengan manja, tetap tidak membuatku iba atau gemas padanya. Aku justru ingin segera pergi meninggalkannya, mencari tempat yang tenang atau ngopi bersama teman-temanku di luar.
*
Aku membuka layar ponselku, mencari nama Rizka di sana. Hampir saja aku meneleponnya, namun kuurungkan saat kulirik jam dinding menunjukkan pukul 23 lebih 10 menit. Gadis kuning langsat itu pasti sudah tidur, ah, dia tidak suka tidur secepat itu. Mungkin dia sedang menangis di kamarnya karena merindukan aku, atau sedang online dengan teman-teman media sosialnya. Atau sedang menyiapkan materi untuk kuliahnya besok? Atau sedang makan? Atau…?
Ah, kenapa aku jadi yang tersiksa begini? Bukankah aku yang memintanya jangan menggangguku saat aku sedang bekerja?
Aku merindukan senyum yang menggaris diantara kedua lesung pipinya. Senyum yang di lemparkan kepadaku setelah aku menuruti semua keinginannya. Hampir sepekan tak ada telpon untukku, atau pesan masuk yang sekadar mengingatkanku untuk beristirahat, solat atau makan siang.

Aku bangkit dari kursi kerjaku, menuju ke toilet di belakang ruang kerja. Aku berdiri di depan cermin besar yang menempel di dinding pembatas toilet dan musola. Kuperhatikan wajahku kusut tidak terawat, rambutku acak-acakkan macam singa habis berkelahi di hutan. Aku juga merasakan tubuhku agak kurusan. Sepertinya memang benar, aku telah kehilangan seseorang yang paling peduli dalam hidupku. Seseorang yang rela repot untuk mengurusku, tanpa bayaran dan tanpa pujian.


Semua salahku, aku meminta Rizka jangan menggangguku sampai waktu yang belum bisa kupastikan. Alasannya sederhana, aku capai, aku bosan selalu diawasi, aku malu harus selalu diperhatikan seperti bocah umur lima tahun yang lepas dari tangan ibunya.
*
“Sayang, kenapa lama angkat teleponnya?” suara Rizka meninggi, seperti biasa aku hanya menjawabnya dengan, “Iya, maaf sayang aku lagi kerja.” aku selalu terpojokkan dengan kalimat-kalimatnya yang khawatir tentang kesehatanku. Aku pernah menanyakan kenapa harus rutin mengingatkanku untuk makan? Bukankah aku sudah dewasa? tidakkah ada pertanyaan lain?
Rizka bilang kalau aku laki-laki yang kacau, berantakan dan tidak bisa mengurus diri sendiri. Aku bosan dengan alasanya yang itu-itu saja.
*
Aku menarik nafas panjang dan dalam, menghempasnya dengan perlahan sehingga membentuk embun pada cermin di depanku. Aku kembali ke ruang kerja, mengambil ponselku yang lama diam seolah tidak memiliki manfaat apapun. Aku duduk di sofa yang ada di ujung ruangan, memainkan ponsel di tanganku. Wajah Rizka yang ayu semakin memenuhi otakku. Rasanya percuma saja kulanjutkan pekerjaanku, aku tidak bisa konstrasi.
Wajah Rizka membayang lagi di mataku, wajahnya yang pucat saat menemukanku terbaring di rumah sakit saat kecelakaan. Saat itu Rizka datang tergopoh-gopoh, memasuki kamar di mana aku di rawat karena luka-luka di seluruh wajah, tangan dan dadaku. Rizka memelukku, tubuhnya gemetar karena terlalu khawatir dan ketakutan. Aku meringis menahan rasa sakit di dadaku saat dia memelukku dengan erat. Rizka menangis tersedu-sedu, aku mengusap air matanya, “Kenapa menangis, kan, aku yang sakit?”. Dia memandangku dengan tajam, seolah akan menerkamku, “Lihat hidungmu yang mancung, jadi jelek, kan, sekarang, kenapa tidak hati-hati?” aku meringis lagi melihat mimik mukanya yang lucu. Aku mengacak-acak rambutnya. Kalimat-kalimatnya tidak berhenti, menyuruhku minum obat agar cepat sembuh, menanyakan bagian tubuhku yang mana saja yang terluka atau sakit. Menawarkan buah apa yang bisa disuapkannya untukku. Sampai aku malas mendengarkan cerewetnya yang tidak berujung.
*
Aku meletakkan ponsel di meja, menutup wajah dengan kedua tanganku. Aku merindukan gadis berambut lurus sebahu itu. Sungguh, aku berharap saat ini dia meneloponku, menanyakan kabarku. Sepekan ini telah membuatku sadar bahwa ada seseorang yang terlalu repot mengurusku. Dia pernah bilang akan melakukan apa saja agar tidak kehilanganku. Kepalaku sungguh pusing saat ini, bukan hanya karena repot memikirkan gadis itu, tapi sejak siang aku belum makan.

*
Aku menemui Rizka di tempat yang sudah dijanjikan. Tapi aku kecewa saat mendapatinya duduk di sofa ruang tunggu bioskop bersama seorang pria. Aku memperlambat jalanku, memperhatikan raut wajah Rizka yang tampak bahagia. Tertawa lepas saat pria di sampingnya mengucapkan sesuatu dari mulutnya. Sesekali pria itu merapikan rambut Rizka yang menjuntai di dahi. Darahku berdesir, jantungku membuncah, aku cemburu melihatnya. Bagaimana bisa pria itu menyentuh kekasihku. Rizka adalah milikku, gadis yang selalu repot mengurus segala hal dalam hidupku, dia kekasihku. Bukankah aku tidak pernah mengucapkan putus dengannya, jadi dia masih milikku, kan? Tidak kusadari aku mengepalkan tangan kanan, berjalan cepat menuju keduanya yang sedang duduk bermesraan.
Tanganku hampir mendarat di wajah pria bekacamata tebal itu, tapi Rizka dengan cepat berdiri dan menangisnya. Aku semakin panas, darahku mendidih. Bagaimana bisa Rizka lebih membela pria jelek itu daripada aku yang tampan. Kenapa Rizka tidak memilih menyambutku dengan senyumnya yang manis seperti biasanya. Aku semakin tidak bisa mengendalikan diri, aku tersinggung karena Rizka lebih memilih pria berkulit hitam dengan kaca mata tebalnya itu. Bukankah selama ini Rizka rela melakukan apa saja demi mempertahanku yang tampan ini menjadi kekasihnya. Hal yang paling di takutinya adalah kehilangan kesempurnaan fisikku. Lalu mengapa sekarang berbalik aku yang menginginkannya. Aku yang membutuhkannya, aku tidak rela pria lain mengambilnya dariku.
Rizka mendongakkan wajahnya ke arahku, “kumohon Jangan menggangguku, aku sudah bahagia sekarang.” Darahku kembali berdesir mendidih di seluruh tubuh. Aku tidak bisa menerima kenyataan, aku mencintai gadis ini. Astaga, aku baru menyadari aku mencintainya.
“Kenapa kamu datang? Bukankah kamu yang memintaku pergi?” kulihat air mata Rizka mulai turun ke pipinya, membentuk garis di lesung pipi yang menarik. Aku baru menyadari kekasihku begitu cantik. Aku maju beberapa langkah, mengusap air matanya yang bening.

“Kamu bilang aku jangan cemburu, aku jangan mengaturmu, kemarin kamu juga bilang bahwa aku harus berhenti menghubungimu. Aku tersiksa, aku menangis setiap siang dan malam. Aku takut kehilangan matamu yang indah, aku khawatir hidungmu yang mancung dan bibirmu yang menawan akan dipinjam gadis lain di luar sana. Aku rela melakukan apa saja, karena aku mencintaimu.” Suara Rizka tertahan diantara isak tangis dan nafasnya yang berat. Pria berkacamata tebal mengambil lembut tangan Rizka, menggandengnya meninggalkanku. Aku merasa jiwa laki-lakiku muncul seketika, aku menarik punggung pria itu, memukul wajahnya berkali-kali. Aku tidak peduli, aku tidak takut, Rizka adalah milikku.

Gubrak
Meja di depanku bergeser jauh dari tempatnya semula, aku terbangun dan tergagap. Rupanya aku tertidur di kantor karena kelelahan, ini adalah mimpi buruk yang pernah kualami selama hidupku. Napasku ngos-ngosan karena marah, emosi dan cemburu campur aduk menjadi satu.

Aku mengusap-usap kedua mataku, Aku tidak ingin menunda lagi, aku harus segera menelepon Rizka, aku harus memastikan sedang apa dia saat ini. Aku harus mengungkapkan perasaanku bahwa aku mencintainya. Aku tidak mau mimpiku menjadi kenyataan, aku tidak mau kehilangan cerewetnya, aku telah menyadari bahwa aku suka dengan kerepotannya dalam mempertahanku. Tanganku belum sempat meraih ponsel di atas meja. Ponsel itu bergetar dengan wajah Rizka memenuhi layarnya, Rizka meneleponku. Dengan cepat aku mengambil dan menggeser tombol hijau. Dadaku berdebar- debar, seperti pertemuan pertamakali dengannya.

“Hallo….” kalimat itu kami ucapkan bersamaan.

Rachmawati Ash. 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply