Aku Tidak Membenci Suara Takbir di Malam Lebaran

Aku Tidak Membenci Suara Takbir di Malam Lebaran

Aku Tidak Membenci Suara Takbir di Malam Lebaran
Oleh: Rachmawati

Aroma masakan opor ayam memenuhi seluruh rumah. Adam mengulum senyum, dilemparkan tas dan seragam sekolahnya dari ruang tamu melalui pintu kamar. Berlari kecil menuju dapur untuk menemui Bunda. Mendapati Bunda sedang memasak opor ayam kesukaannya. Meski tangan Bunda sibuk dengan panci dan peralatan masak lainnya, tetapi bibirnya terlihat komat kamit membaca doa.

Bunda memang wanita yang solehah, setiap ada waktu luang selalu menyempatkan diri membaca solawatan.

“Assalamualaikum, Bundaku.” Adam mencium punggung tangan wanita cantik itu.

“Waalaikumsalam, anak ganteng Bunda.” Senyum malaikat terkembang merekah meluluhkan rasa lelah sepulang sekolah. Hati Adam selalu dibuat sejuk oleh Bunda.

Seperti dulu, saat pertamakali Adam belajar puasa Ramadan. Hari pertama menjalani puasa pada usia enam tahun memang berat. Rengekan dan pertanyaan pukul berapa boleh berbuka hampir tak dapat dihitung dalam sehari. Dengan sabar Bunda merayu dan menasehati meskipun hampir sia-sia. Berkali-kali hampir merajuk ingin membatalkan puasa lebih awal. Tapi Bunda selalu punya cara jitu untuk membuatnya bertahan puasa satu hari full tanpa menyakiti fisik maupun perasaan putra semata wayangnya.

“Anak Bunda lapar?”

“Iya.”

“Nggak kuat?”

“Iya, Bun. Adam nggak kuat.”

“Adam tahu bagaimana rasanya orang-orang miskin di luar sana menahan lapar?” Bunda berjongkok, memegang kedua pundak putranya. Adam menggeleng polos.

“Mereka menahan lapar sehari, dua hari atau bahkan lebih, sampai mereka mendapatkan makanan.” Bunda mendudukkan tubuh Adam di sofa hitam depan TV. Adam menyimak kalimat Bunda dengan cermat. Wajahnya tetap polos, menggemaskan.

“Dari mana mereka mendapatkan makan?” pertanyaan yang ditunggu-tunggu Bunda keluar juga dari bibir mungil putranya.

“Mengais sampah, memulung atau meminta-minta,” Bunda menjawab dengan kalimat sengaja dipotong-potong agar putranya dapat menerimanya dengan baik.

“Kalau gak dapat makanan bagaimana?” Adam bertanya dengan rasa ingin tahu, Bunda memegang pipinya yang cubby.

“Mereka akan menahan lapar lagi, lebih lama,” Bunda sedikit berbisik. Adam Mengambil remote TV dan menyalakannya. Mengulurkan jari kelingking kepada Bunda, membuat janji bahwa Adam tak akan merengek lagi tentang lapar di bulan Ramadan. Dengan duduk manis Adam menunggu Bunda melanjutkan memasak untuk berbuka puasa.

Adam kecil tumbuh menjadi remaja yang hebat. Prestasinya tidak diragukan lagi. Selain selalu juara kelas, juara membaca Alquran tingkat provinsi, dia juga menjadi idola para gadis karena kemampuannya bermain musik. Belum lagi juara lomba pidato tingkat nasional yang membuat sekolahnya terkenal dan nama baik Ayah Bunda semakin terpupuk.

Dalam semua prestasi yang diraih Adam, tidak pernah lepas dari peran Ayah dan Bunda. Terlebih adalah peran Bunda. Wanita tiga puluh enam tahun itu tetap cantik dan enerjik, meskipun bekerja sebagai guru SMP Negeri yang super sibuk. Bunda tetap selalu ada waktu untuk mengantar dan mendampingi Adam di berbagai prestasinya.

Senja sore menguning di ufuk barat, rembulan yang melengkung siap berganti posisi dengan matahari yang hendak beristirahat semalaman. Adam mengemudikan motor menyusuri jalan kota yang lenggang. Dibelakangnya, Bunda duduk dengan piala besar dipangkuannya. Adam memenangkan lomba pidato lagi sore ini. Pundak Adam tiba-tiba ditepuk Bunda, memberi isyarat agar berhenti sebentar.

Adam menghentikan motor, menoleh dan mengecek keadaan Bunda kalau-kalau kepayahan memangku pialanya. Tapi Bunda langsung turun, berjalan cepat dan memanggil-manggil seseorang yang sedang berjalan di tepian.

Adam memperhatikan tingkah Bunda dengan seksama. Mungkin Bunda mengenal orang itu, pikirnya. Adam menghampiri Bunda yang sedang berbincang dengan seseorang. Pemulung barang bekas, iya, laki-laki yang usianya lebih tua dari Bunda, dengan kaos biru dongker yang terdapat sobekan dan lubang di mana-mana, celana hitam selutut tampak kumal. Disandarkan dua karung yang berisi penuh botol dan gelas plastik bekas di pagar sebuah kantor. Mereka berbincang-bincang di trotoar. Adam mengambil posisi agak jauh. Tampak Bunda memberikan beberapa lembar uang kepada Bapak pemulung itu. Mereka saling mengangguk, lalu pergi.

Usai salat Magrib berjamaah, Adam mengerjakan tugasnya di ruang tamu. Seperti biasa, Bunda akan menyempatkan diri menemaninya. Bagi Bunda, menemani Adam belajar tidak akan banyak membantunya menjadi pintar atau cerdas, tapi setidaknya ada penghargaan tersendiri bagi putranya. Waktu kebersamaan tak dapat diputar kembali, menurut Bunda.

“Kenapa Bunda selalu baik dengan orang-orang di luar sana?” Adam meletakkan pulpennya di meja.

“Karena Bunda lebih beruntung dari mereka.” Bunda menambahkan gula ke cangkir tehnya.

“Beruntung?” Adam mengerutkan mata. Mengamati Bunda dengan penuh tanya.

“Bunda sangat beruntung, kamu juga, kita ini beruntung, Nak. Allah tidak memilih kita untuk menerima bantuan dari orang lain, tetapi Allah melimpahi kita dengan banyak kelebihan, baik materi maupun pikiran. Kalau kita tidak membaginya dengan orang yang membutuhkan, itu berarti kita tidak bersyukur.” Bunda menjelaskan panjang lebar seperti Mama Dedeh yang ditayangkan di TV setiap pagi.

“Tapi kita tidak kaya, Bun.” Adam yang cerdas masih belum puas dengan jawaban ibundanya.

“Allah bisa membalikkan keadaan dengan mudah, Nak. Yang cukup bisa menjadi kekurangan atau sebaliknya. Memberi tidak perlu menunggu kaya, ‘kan?” Bunda tersenyum kepada Adam. Putranya mengangguk dan melanjutkan menulis.

Adam dan teman-teman sekolahnya sedang ada materi lari jarak jauh. Guru olah raga membawa mereka memutari jalan kompleks di sekolah. Sesekali anak-anak SMA kelas XI itu berhenti atau memperlambat larinya. Tepat saat Adam menghentikan lari kecilnya, seorang anak laki-laki usia duabelas tahunan menangis di samping warung tenda. Bajunya lusuh, rambutnya gembel, duduk mendekap kedua lututnya. Adam bergegas menghampirinya. Teman-temannya heran melihat tingkah laku Adam. Tapi, Adam tidak peduli.

Adam menepuk punggung anak laki-laki itu. Berbincang sebentar dan memberinya uang. Kebetulan di saku celananya ada uang untuk jajan.

“Kamu kenal anak itu, Dam?” tanya salah satu temannya penasaran.

“Nggak, emang kenapa?” Adam berlari di samping temannya, rambutnya yang lurus basah oleh keringat. Tubuh atletisnya terlihat lebih tinggi dari teman-temannya.

“Kamu jangan asal kasih uang ke orang, Dam.” Teman lainnya menambahkan.

“Iya, sekarang banyak penipuan, modus tahu.”

“Kalau mau nolong, ya, nolong aja, masalah dia menipu itu urusan dia.”  Adam berlari lebih cepat meninggalkan teman-temannya, sambil menjulurkan lidah ke arah teman-teman di belakangnya. Teman-teman menyusul, mereka saling dorong dan bercanda seolah mereka sudah saling mengenal hati masing-masing begitu dalam.

Suatu ketika Adam pernah merengek meminta robot yang besar. Ayah dibuatnya marah karena tangisnya menjadi-jadi. Bunda dengan tenang menyodorkan teh hangat untuk Ayah, menggandeng tangan Adam dengan lembut, mengelus kepalanya, memandang matanya dengan penuh kasih sayang. Bunda berjanji akan mengajak Adam berwisata besok pagi.

Minggu pagi Bunda membawa Adam ke pasar. Bunda memilih naik becak agar bisa menikmati jalan kota yang sejuk. Turun dari becak kaki mereka mulai merasakan lantai pasar yang lembab, bau amis ikan-ikan yang dijejer sepanjang lorong, jalan yang becek membuat Adam sesekali berjinjit karena khawatir sandalnya basah atau kotor. Bunda menggandeng tangan Adam dengan lembut, menuntun putranya mengelilingi pasar. Tidak sepatah kata pun keluar dari bibirnya.

Bunda menggerakkan pegangan tangan Adam saat melihat gadis kecil yang kumal sedang berlari meminta-minta di pintu angkot. Adam beringsut, mendekatkan tubuh kecil pada Bunda, lalu berjalan lagi, melewati tukang balon warna-warni. Seorang nenek terkantuk-kantuk menunggu cabai, terong dan bayamnya dibeli orang. Penjual es krim yang termangu menunggu pembeli tak kunjung datang. Adam memperhatikan hiruk pikuk pasar, tidak ada orang uang berpenampilan mewah di sana. Bagi Adam yang dianugerahi kecerdasan lebih dibanding teman-temannya dengan singkat dia dapat menangkap maksud Bunda membawanya berwisata ke pasar. Iya, wisata yang dimaksud Bunda adalah wisata religi, melihat langsung gambaran orang-orang yang berjuang, tidak mengeluh dan selalu bersyukur dengan keadaannya.

***

Adam menaburkan bunga-bunga cantik dan wangi di pusara. Bunda sangat menyukai bunga. Sehingga Adam tak pernah lupa membawanya untuk menaburkannya di pusara yang sudah enam tahun memisahkannya dengan Bunda. Air mata Adam membasahi pipi, tidak perduli berapa pasang mata peziarah memperhatikannya. Biar saja, laki-laki juga butuh menangis.

Adam bersimpuh, mengirim doa untuk Bunda tercinta. Enam tahun lalu Bunda wafat di rumah sakit, tepat di malam lebaran, saat takbir menggema ke seluruh angkasa. Bunda melepas nyawa, kembali kepada pemilik-Nya dua sebulan sebelum Adam diwisuda. Sakit diabetes telah membawa Bunda pergi untuk selama-lamanya.

Saat semua orang bersuka cita mengumandangkan takbir kemenangan, Adam tergugu di samping ranjang Bunda yang telah terbujur kaku. Hatinya tersayat-sayat, hidupnya seperti akan berhenti. Dadanya sesak tak kuasa melepas Bunda kembali pada Ilahi. Pemakaman juga dilakukan di malam yang sama karena Ayah tidak ingin kematian Bunda mengganggu lebaran keluarga dan tetangga di lebaran esok paginya.

Suara azan Magrib berkumandang dari masjid kota. Istrinya bangkit, mendekat pada Adam, mengusap lembut punggung Adam. Menggandengnya menuntun pulang ke rumah menyusul Ayah yang sudah menunggu mereka.

Adam tersenyum, berjalan mundur meninggalkan makam Bunda. Dia menggandeng tangan istrinya yang sedang hamil tua. Wanita baik yang datang menemaninya menggantikan Bunda, meski tak pernah sempat dikenalkannya pada Bunda sebelum pernikahannya.

Malam lebaran telah tiba, gema takbir berkumandang membelah malam. Sebagian orang menyambutnya, sebagian lagi berduka karena beberapa alasan yang tidak bisa diceritakan pada orang lain. Adam yakin Bunda telah bersama malaikat-malaikat baik di surga, melewati malam takbiran dengan tenang di sana.

 

Brebes, 10 mei 2019

Rachmawati, bergelut di majalah sekolah sejak SMA hingga saat ini. Rajin mengikuti lomba menulis karya ilmiah maupun fiksi meski hasilnya tak pernah bagus.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata