Aku Telah Mati

Aku Telah Mati

Aku Telah Mati
Oleh : Mega Yohana

Aku telah mati.

Itu hal pertama yang kusadari saat membuka mata. Rasa dingin begitu menusuk, seolah-olah ribuan jarum yang terbuat dari es telah menggantikan bulu-bulu halus di tubuhku. Dingin, beku, kaku. Kemudian, tiba-tiba saja semuanya menjadi hampa. Tidak ada lagi dingin, tidak ada hangat, tidak ada apa-apa. Bahkan, aku tidak juga menemukan suaraku. Semuanya menjadi kosong.

Aku bisa menggerakkan tubuhku, tanganku, kakiku … tetapi tidak ada apa-apa di sana. Ketika aku mengangkat lengan, yang kulihat hanya bintang-bintang yang berpendar di langit. Cahaya keperakan dari bulan yang hampir purnama membuat lenganku turut bercahaya seperti plastik transparan yang terkena lampu sorot. Kulihat kakiku, tubuhku … semua tembus pandang, semua bercahaya. Kugerakkan kakiku menapak di udara. Melayang-layang di atas danau.

Oh, ya, danau. Di sanalah aku membuka mata. Di sanalah aku merasakan sesak dan dingin yang teramat sangat sebelum tubuhku naik, naik, naik, dan semuanya hampa.

Bagaimana aku bisa terbangun di sana? Aku tidak mengingatnya.

Siapa aku di kehidupanku sebelumnya? Aku juga tidak mengingatnya.

Bagaimana aku tahu aku telah mati? Sebab, aku tahu aku bukan lagi manusia.

Danau tampak begitu tenang. Permukaannya memantulkan cahaya bulan dan sinar bintang-bintang. Begitu hening, begitu sunyi, dalam keheningan yang berbeda dan kesunyian yang tidak benar-benar sepi. Bunyi jangkrik bersahut-sahutan dari hutan di sekeliling danau serta “wuk” para celepuk seolah-olah menyatu dalam keheningan malam.

Kudorong tubuhku yang seringan kapas menuju tepi danau, dan terus bergerak di sela-sela pepohonan hingga sampai di sebuah permukiman. Rumah-rumah tampak gelap, hanya ada beberapa lampu di tepi jalanan yang lengang. Rambutku yang panjang tergerai mengikuti gerakan tubuhku yang melayang-layang menyusuri jalan.

Apa yang kucari? Aku tidak tahu. Sesuatu di dalam diriku membuatku terus bergerak-melayang. Rasanya seperti ada sebuah tali tak kasatmata yang menarikku agar mendekat. Ini perumpamaan yang aneh, aku tahu, sebab jika tubuhku saja tembus pandang, bagaimana mungkin ada tali yang “tak kasatmata”? Namun, begitulah adanya.

Di sebuah persimpangan, aku berbelok ke kanan. Kususuri jalan hingga sampai di ujung. Sebuah rumah tampak menyendiri, terpisah beberapa puluh meter dari rumah-rumah lainnya. Kudekati rumah itu dan menembus dindingnya.

“Kau sudah datang.”

Itu hal pertama yang kudengar begitu berada di dalam rumah. Sebuah tikar pandan tergelar di lantai. Di sana ada lilin yang menyala dan bunga-bunga berserakan. Mawar merah, mawar putih, melati, kenanga, cempaka, kantil, dan sedap malam. Tujuh rupa bunga berserakan di tikar pandan, mengelilingi tujuh lilin dalam gelas-gelas kecil.

Seorang pria … tidak, seorang pemuda duduk bersila di hadapan lilin-lilin itu, tetapi matanya lurus memandang ke arahku. Aku ingin bertanya, tetapi bagaimana bisa aku bertanya tanpa suara?

Pemuda itu tersenyum. “Aku sudah menunggumu,” ujarnya, menelengkan kepala seolah-olah menyuruhku untuk mendekat.

Aku ingin menolak. Manusia ini sudah jelas bukan manusia biasa. Dia bisa melihatku, dan kurasa dialah yang menarikku ke sini entah bagaimana. Namun, sebagaimana kekuatan tak terlihat itu menarikku ke sini, gerakan kepalanya itu membuatku mendekat ke arahnya. Kutekuk kakiku dalam sikap duduk, meskipun tubuhku tetap melayang.

“Bagaimana rasanya menjadi bebas, Nina?” Dia bertanya. Kurasa, Nina adalah namaku. Jika bukan pun, sekarang Nina adalah namaku. Meskipun, itu adalah pertanyaan bodoh. Dia tahu aku tidak bisa menjawab. Kalaupun bisa, aku akan bertanya balik kepadanya. Apa yang dia maksud dengan menjadi bebas? Melayang-layang di udara dengan tubuh transparan seringan kapas tanpa ingatan akan kehidupan sebelumnya? Lagi pula, bagaimana dia tahu tentangku?

“Bukankah hidup ini menyedihkan?” Dia berkata lagi. “Kita selalu berusaha keras untuk bergerak maju. Namun, pada akhirnya, semua tidak ada artinya. Ketika waktu kita terhenti, semuanya menjadi tidak penting. Katakan, Nina, aku telah membantu menghentikan waktumu. Apa kau bahagia sekarang?”

Aku mengerutkan alis. Itu kata-kata berat yang keluar darinya. Apa aku memintanya membantuku? Apa aku sebegitu menderita dalam kehidupanku sebagai manusia hingga memilih untuk menghentikan waktuku?

Dia menghela napas panjang. “Tunggulah di sini,” pintanya, “sebentar lagi aku akan bersamamu.”

Mataku mengikuti gerak tubuhnya. Dia tampak sudah menyiapkan semuanya ketika mengambil sebuah gelas berisi cairan berwarna kuning di meja dan kembali duduk di tikar. Dia menenggak cairan itu dan menggumamkan sesuatu. Aku tidak menangkap apa itu, tetapi terdengar seperti mantra. Pelan-pelan, sambil masih merapalkan mantra, dia membaringkan tubuh di tikar. Kedua matanya memejam. Dadanya naik-turun seolah-olah begitu berat bernapas. Bibirnya bergetar. Lalu, semuanya berhenti. Tidak ada lagi gumaman. Tidak ada gerakan dada yang naik-turun. Kedua lengannya terkulai. Kemudian, dia yang lain bangun.

Dia yang lain telah meninggalkan tubuhnya yang tergeletak di tikar. Dia berkedip beberapa kali lalu mengangkat lengannya, mengamati lengan tembus pandang itu. Lalu, dia melihat ke bawahnya, ke tubuh yang tergeletak diam. Saat dia melihat ke sekeliling, mata kami bertemu.

Dia menatapku. Tanpa suara, tanpa kata-kata. Apakah dia mengingat dirinya? Aku tidak tahu. Yang kutahu, kini dia mengikutiku. Kami, dua sosok yang bergerak-melayang di udara. Naik, naik, naik, kami melayang-layang di atas permukiman.

Malam makin tua, rembulan telah meninggalkan takhtanya di atas sana dan mulai menggelincir ke barat, dan kami menggeliang bagaikan dua tali yang terpintal. Aku tidak tahu namanya. Aku juga tidak tahu asal-usulku maupun dirinya. Bagaimana dia mengenalku? Aku tidak tahu.

Aku telah mati. Begitu pula dia. Dan, sekalipun waktu kami telah berhenti, kami memiliki seluruh waktu di dunia ini untuk bersama. Meski tanpa kata-kata, kurasa itu cukup. Setidaknya, aku tidak sendirian.

 

Kaki Gunung Kelud, 29 Maret 2020

Mega Yohana, sesekali menulis dan sesekali menyunting naskah.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply