Aku Tak Mau Seperti Kamu
Oleh: Evamuzy
Kira-kira, pertengahan bulan Mei kita bertemu. Kamu terlihat pucat saat itu. Seperti sedang sakit. Duduk termenung di tepi jembatan yang tidak jauh dari toko buku yang baru saja aku datangi. Dinginnya angin sore di puncak kemarau, membuatku merasa sedikit menggigil. Mantel tipis yang aku pakai tidak cukup membuat hangat. Dengan menenteng kantong kain berisi buku yang sudah kuincar sebulan lalu, langkahku mendekatimu.
“Hei, kamu baik-baik saja? Kenapa sendirian?”
Suaraku seperti angin lalu, kamu tetap diam. Termenung menatapi ujung kakimu. Yang aku tahu saat itu, dengan jelas terlihat, perutmu buncit. Sepertinya kamu ….
Sore dengan matahari yang sepertinya enggan cepat-cepat merapat pulang, aku mengajakmu pulang ke rumah. Kamu setuju saja, meski tidak ada satu dua patah kata pun yang keluar dari mulut mungilmu. Iya, untuk seumuran dirimu, kamu terlihat sangat menarik dan manis. Putih, bersih dengan mulut dan hidung yang mungil, tetapi lucu, juga mata yang sulit dijelaskan. Pokoknya indah, membuat mataku tak bosan-bosan melihatnya: bulat, bersinar, seperti berwarna langit yang cerah, tetapi kadang-kadang sayu. Menarik bukan? Kalau saja dirimu tak murung, pasti akan banyak pasang mata yang jatuh hati padamu. Eh, tunggu, begini saja sudah banyak yang jatuh hati pastinya. Kecuali sesuatu yang membesar di perutmu. Apakah ini alasanmu menekuk wajahmu dalam-dalam? Apakah kamu seperti yang lain di luar sana? Korban ….
***
Ayah Ibuku dengan senang hati menerima kedatanganmu. Bahkan di luar dugaan, mereka sama sekali tidak mempermasalahkan perutmu yang … begitulah. Oh … beruntungnya dirimu. Jika itu terjadi padaku, sudah habislah riwayat gadis manis sepertiku ini. Kalau tidak dicoret dari anggota keluarga, ya, tidak masuk daftar penerima warisan, diusir dengan kasar, atau dinikahkan dengan pria yang sudi menanggung malu. Tidak, tidak akan seperti dirimu yang diterima dengan tangan hangat di rumah ini. Mungkin karena kamu dan aku berbeda.
“Ibu Ayah tak masalah. Anggap dia keluarga kita. Kita akan ikut membantu merawat anaknya nanti.”
Baiklah. Aku setuju. Daripada harus melihatmu menjadi gelandangan di tepi jalan raya. Lebih baik begini. Membelikanmu susu dan makanan yang baik untukmu pun aku lakukan dengan tulus. Iya, aku tulus. Aku tulis agar kamu semakin percaya. Bukan berniat ria, bukan.
Ibuku bahkan tak pernah luput menyiapkan olahan ikan yang menurutnya baik untuk kehamilanmu.
“Siapa yang membuatmu seperti ini? Siapa yang melakukannya?” Terdengar kejam, ya. Namun, aku memang penasaran. Dan lagi-lagi, kamu hanya tertunduk diam. Menekuri ujung-ujung kakimu. Ya, persis seperti saat pertama kali aku menemukanmu. Ya, ya, ya, baiklah, mungkin kamu tidak suka dengan topik bahasan ini. Terlalu menyakitkan mungkin. Kita ganti topik saja, kapan kira-kira anakmu akan lahir? Aku suka bayi.
***
Hari kelahiran tiba. Menjadi salah satu hari yang menegangkan sekaligus menarik untukku. Menantikan kelahiran bayimu. Sementara Ibu dan Ayah pun turut antusias.
Setelah seharian kamu terlihat mondar-mandir tidak jelas–kata orang, itu cara pengalihan dari rasa sakit dan keram yang luar biasa– sekarang kamu tergolek lemah di atas tempat yang telah dipersiapkan untukmu. Ibu ikut berada di dalam ruanganmu, memastikan keadaan kalian–kamu dan bayimu–baik-baik saja. Iya, hanya Ibu, sebab aku belum kuat mental untuk menyaksikan sebuah proses kelahiran. Ngeri.
Tak sampai lama, terdengar suara baru dari ruanganmu. Bayi! Iya, itu suara bayi.
“Wah, anaknya dua. Mereka sehat-sehat.” Ibu keluar dengan wajah senang.
“Ke-kembar, ya, Bu?” tanyaku, terkejut. Ibu hanya tersenyum. Sementara Bapak sejak lima menit yang lalu memberikan ekspresi yang biasa saja. Hanya senyum tipis seperti saat aku bilang aku dapat ranking dua di kelas.
Aku segera masuk ke ruanganmu. Ingin melihat anak-anakmu yang kata Ibu sangatlah menggemaskan. Sampai di depanmu, wah … betul sekali, aku menyaksikan mereka mengulet dan bergerak lucu.
“Kamu luar biasa,” kataku memuji. Kamu terlihat sibuk memberikan asi pertama kepada anak-anakmu. Wajahmu terlihat lebih baik jika dibandingkan dengan saat pertama kali datang ke rumah ini.
Hari-hari selanjutnya, kamu lewati dengan rutinitas menemani dan mengurus bayi-bayimu. Kamu sesekali membawa mereka ke teras depan, lalu kembali ke ruangan kalian. Anak-anakmu tumbuh baik, meski kami lihat ada yang terlihat rada-rada aneh: salah satu dari si kembar berbadan lebih kurus, mata yang selalu menutup dan dipenuhi dengan kotoran dan selaput. Kami sedikit khawatir, lalu akhirnya memutuskan memberikan penanganan khusus untuknya.
Kami membawanya ke sebuah klinik. Dokter di sana bilang, kalau anakmu yang satu itu terkena virus. Oh … si kecil yang malang. Kami pun dengan telaten merawatnya, berharap kondisinya akan semakin membaik di bertambahnya usia si kecil. Namun, yang terjadi justru sebaliknya, salah satu si kembar itu semakin lemah. Lebih kurus dari sebelumnya. Aku turut sedih, teramat sedih sampai-sampai kadang makan pun tak selera.
Suatu pagi, kami bangun pagi seperti biasa. Tidak ada yang berbeda, pun dengan sinar matahari hangat yang masuk lewat celah-celah genting sebelah timur. Ibu yang lebih dulu ke ruanganmu. Sejak si kecilmu yang satunya itu sakit, Ibu merawatnya layaknya adik kecilku. Aku tak iri, sebab si kecil pantas dapatkan itu.
“Dia kemana?” Suara Ibu saat aku melewati ruanganmu.
“Siapa, Bu?” tanyaku masuk ke ruanganmu, mendekati Ibu.
“Dia. Hanya ada si kecil yang sakit di sini. Coba kamu tengok ke belakang. Siapa tahu dia sedang di sana.”
Aku segera melakukan perintah Ibu. Menilik setiap sudut rumah dan ruangan, mencarimu. Namun, sampai keringat sebiji stroberi keluar dari pelipisku–karena mencarimu kali ini cukup melelahkan–kamu tak kunjung ditemukan. Di mana kamu? Aku mulai frustrasi saat itu.
Aku, Ibu dan Ayah sampai-sampai pusing mencari keberadaanmu, bahkan kami melewatkan sarapan. Hingga kami menyadari sesuatu. Iya, sesuatu yang menampar pipi kami, tetapi rasa sakitnya gaib. Bahwa kamu … kabur!
Sial! Kenapa kami tak berpikiran ini sejak dulu, bahwa kamu dan yang membuat perutmu membuncit itu sama, sama-sama tidak bertanggung jawab.
“Meong-meong.” Lirih suara si kecil yang malang menyadarkan kekesalan kami.
Ah, dasar kucing sialan! Aku akan membuat perhitungan denganmu. (*)
Evamuzy. Gadis biasa saja yang suka dengerin radio.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata