AKU TAK INGIN MATI

AKU TAK INGIN MATI

AKU TAK INGIN MATI

Oleh: Karnajaya 

“AKU TIDAK INGIN MATI.”

Aku berdiri di atas sebuah bangku plastik berwarna merah. Seutas tali menggantung di atas kepala, terikat erat pada sebatang kayu penunjang atap. Tali itu telah menunggu sedari tadi. Sebentar lagi waktuku akan berakhir. Sebentar lagi … Tinggal menghitung mundur, detik demi detik. Tak ada lagi waktu untuk berpikir, tak ada lagi waktu untuk menunda. Toh, selama beberapa hari ini aku telah menimbang-nimbang. Ini adalah kesimpulan akhir.


Jadi ini sebenarnya sebuah perkara yang mudah ‘kan! Bisa diselesaikan dengan secepat mungkin. Bahkan lebih cepat daripada sepasang tangan malaikat pencabut nyawa yang cekatan. Beban hidup yang mengganduli kaki-kaki rapuhku akan menghilang. Tak ada lagi keputus-asaan. Tak ada lagi penderitaan. Kebebasan akan datang menjemput.


***


Sebenarnya ada beberapa cara untuk mati, dan semua alternatif itu telah aku pikirkan baik-baik. Mulai terjun dari jembatan penyeberangan, gedung tinggi, atau menabrakkan diri pada kereta api yang sedang melaju cepat. Namun aku harus melupakan dua pilihan tersebut. Tak tega rasanya membiarkan anak-istriku, juga sanak saudara yang sedang meratapi kematianku, masih harus pula melihat kepalaku yang pecah, atau potongan tubuhku yang hancur tercerai-berai berantakan. Seperti tubuh tetanggaku yang tempo hari bunuh diri di tengah rel. Aku dan beberapa tetanggaku yang lain ikut memunguti serpihan-serpihan tubuhnya. Bukankah itu begitu menyeramkan. Aku mual beberapa hari setelahnya.


Namun kesulitan hidup yang selalu melekat dengan kehidupan kami, membuat aku sangat, sangat tertekan. Utang yang menumpuk di sana-sini, tagihan-tagihan bulanan yang telah menunggu, sedangkan gajiku tidak pernah mencukupi. “Lebih besar pasak daripada tiang.” Istriku juga selalu mengoceh, katanya biaya hidup sekarang yang semakin mahal. Ada lagi yang membuat istriku sering mengeluh. Beberapa kali seminggu, para penagih hutang selalu datang ke rumah dan bertanya, “kapan utang kalian dibayar?” Salah seorang penagih pun sering berkata dengan nada yang tinggi, dan memasang wajah yang garang. Setelahnya, istriku hanya murung berjam-jam tanpa suara. Hanya matanya yang menatap penuh kecewa ke arahku.
Aku diam menelan ludah. Pasrah, juga menahan malu. Tak ada lagi yang bisa dikatakan. Meski jalan keluarnya sering kami pikirkan bersama, pertengkaran demi pertengkaran kerap terjadi. Kesulitan hidup ini memang bukan salahnya. Itu tanggung jawabku sebagai seorang suami: mencukupi semua kebutuhan keluarga.


Kali ini pagi-pagi buta ia telah pergi meninggalkan aku dan anak-anak. Istriku entah pergi ke mana. Biasanya ia berkunjung ke rumah mertuaku, meminjam duit kepada ibunya. Padahal aku sering mewanti-wanti ia, “jangan sering-sering ke sana. Enggak enak, Ma. Kita ‘kan enggak pernah bayar!”


“Kalau kamu punya malu, setidaknya kamu harus berusaha keras dong. Jangan cuma bisa ngomong doang!” Ia memperingatkan aku dengan nada kesal
Aku terdiam, tak mampu membalas kata-katanya.


***


Tali tambang itu sudah melingkar di leherku. Tinggal menyorongkan bangku, dan sebentar lagi nyawaku melayang. Selamat tinggal dunia. Selamat tinggal semuanya. Selamat jalan Aku: seorang suami yang bodoh!
Aku memejamkan mata, bersiap-siap, menikmati setiap tarikan dan embusan napas terakhir.


Tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara anakku yang bungsu memanggil-manggil. Tak lama kemudian ia muncul dan berteriak-teriak sambil menepuk-nepuk kakiku.

“Bapak, Bapak. Aku ingin jajan ….”


Aku tersadar dan seketika langsung membuka mata. Kegelapan yang menyelimuti akal mendadak sirna. Mataku kembali bersinar, seolah baru saja mendapat pencerahan. Aku segera melepaskan tambang yang melilit di leherku; kemudian turun dari bangku. Aku merogoh saku celana untuk mengambil uang yang masih tersisa.


“Ini Sayang. Kamu mau jajan apa?”


“Aku mau beli cemilan Pak.”


Matanya yang jernih dan bundar memandang wajahku dengan penuh harap. Ia tidak mengerti apa-apa. Selembar uang, hanya itu yang diinginkannya. Napasnya pun masih tersengal-sengal. Mungkin ia setengah berlari untuk menemuiku, setelah melihat teman-temannya yang lain membeli jajanan. Wajahnya yang lugu dan polos, memang hanya mengetahui satu hal, jajan dan jajan.


Untung saja ia datang tepat waktu, jika tidak nyawaku akan melayang sia-sia. Ya, selama ini aku hanya sibuk dengan keinginanku sendiri, ingin mati, bukannya memenuhi keinginan dan harapan orang-orang yang hidup. Orang-orang yang sangat mencintai dan menyayangiku. 


“Aaaaaah!” Aku berteriak untuk membangkitkan semangat.

Aku harus menantang hidup. Aku harus bertahan dan berjuang demi hidup. Aku akan menjadi pemenang kehidupan. Kehidupan memang layak dipersembahkan untuk mereka yang hidup, dan ingin tetap hidup, anak-anak dan istriku.

Karna Jaya Tarigan, seorang penyanyi yang kini sedang belajar menulis. Sekarang ia sedang menyukai Okky Madasari dan Djenar Ayu.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply