Aku adalah sebuah jam meja tua yang diletakkan seorang wanita di sebuah meja kecil di tengah ruang televisi. Namanya Clara, ia punya darah Turki dan wajahnya sangat cantik. Hidung mancung dan mata bulat indah, dan warnanya cokelat karamel. Mirip dengan mendiang ibunya yang selalu kulihat dari potret cantik di dinding. Hanya saja dia jarang tersenyum. Bahkan di rumah. Dengar-dengar dari asistennya yang pernah ke sini, Clara tak pernah menunjukkan senyum cantiknya pada siapa pun. Dia wanita yang keras, sejak lahir ia tidak pernah mengenal ibu. Ia hidup di bawah tangan dingin ayahnya, yang ingin sekali menjadikan Clara sebagai putra mahkota untuk industri tekstil yang sudah ia bangun lama.
Maka begitulah asal-usul ia tak pernah mengumbar senyumnya ke sembarang orang. Tapi semenjak ia menaruh vas kosong di sampingku, semuanya berubah. Ia jadi lebih sering tersenyum, kadang bersenandung, dan lebih sering melamunkan sesuatu. Sambil memangku laptop dan menghadap ke jendela besar. Sungguh senyumnya sangat cantik. Aku harap ia bisa tersenyum seperti itu setiap hari. Walaupun aku sendiri penasaran tentang sesuatu yang membuatnya selalu tersenyum.
Hari ini ia menonton acara televisi. Pemandangan jarang, karena ia lebih sering memantau layar laptop, dan lebih sering lagi tidur. Cerita romansa wanita dewasa yang menjalin hubungan gelap dengan suami orang. Yang mana pemeran wanita menunjukkan sikap yang sama persis dengan sikap Clara akhir-akhir ini. Oh, ia jatuh cinta rupanya. Senang rasanya melihat majikan rumahmu bisa bahagia.
“Aku sedang di rumah, menonton televisi. Ya tentu saja aku sendiri, memangnya dengan siapa lagi? Anjing tetangga?” Clara bercakap-cakap dengan seseorang di ponsel. Dan dia tertawa, bahkan sempat berkelakar pendek.
“Apa kau mau ke sini? Tapi kau baru saja pulang dari Milan, lebih baik kau pulang dan istirahat dulu. Apa tapi…,” Clara tak melanjutkan obrolannya karena seseorang sudah masuk. Pria tampan dan tinggi, wajahnya khas Asia Timur. Mungkin Korea. Dia punya kumis tipis dan aroma seperti kayu manis. Favoritnya Clara.
Clara menghambur dari kursi santainya. Aku yakin sekali Clara ingin sekali memeluknya, tapi ia hanya terdiam di sana. Mungkin berharap sebuah pelukan.
“Itu vas bunga yang aku belikan padamu di Roma waktu itu kan? Kenapa masih kosong?” alih-alih memberikan pelukan, pria itu malah membahas vas bunga. Dia bukan pria yang romantis.
“Aku tidak tahu bunga apa yang harus aku masukkan. Kau tahu sendiri kan aku tidak begitu tertarik dengan bunga. Dan lagi….”
“Pasti kamu belum pernah diberi bunga oleh siapa pun,” kata si pria sambil terkekeh. Ya ampun, kalau aku punya tangan akan kutampar dia sampai semua giginya lepas. Berani sekali dia mengejek Clara seperti itu.
“Kalau begitu berikan aku bunga, anggap saja kau pria pertama yang memberikanku bunga,” tapi Clara tidak seperti merasa diejek. Dia justru terlihat bahagia.
“Ya lain kali ke sini aku akan bawa oleh-oleh bunga. Hari ini aku membawakanmu ini,” pria itu menunjukkan tas kertas yang bertuliskan nama desainer ternama.
“Hei ini sangat mahal! Kenapa kau repot-repot membawakanku hadiah mahal seperti ini?”
“Tentu saja untuk wanita cantik sepertimu.”
Ah, senyum Clara merekah lagi. Dia jatuh cinta dengan pria itu.
***
Semenjak pria itu hadir di hidup Clara, aku benar-benar bisa melihat sisi lain dirinya. Wanita yang manis dan lucu. Pria yang sering ia panggil Lee itu selalu bisa membuat Clara bertingkah seperti remaja yang baru saja kena cinta monyet pertamanya. Clara selalu senang mendapat kado dari Lee. Walaupun terkadang sesuatu yang nyeleneh seperti kostum kucing atau pakaian perawat. Dan Clara akan mematutkan diri di cermin dengan senyum paling semringah. Apalagi saat pria itu datang setiap akhir pekan. Mereka akan makan malam dengan suasana romantis dan berdansa di ruang televisi yang sempit. Dan saat malam semakin menanjak, Clara akan membawa Lee ke dalam kamarnya. Entah apa yang mereka lakukan, tapi Clara tak pernah kehilangan senyumnya saat bersama pria itu. Hanya senyumnya pernah hilang saat Lee lebih mementingkan panggilan ponselnya daripada memperhatikan Clara.
Hari itu Clara pulang saat larut. Wajahnya yang ayu kelihatan lesu. Ia langsung merebahkan diri di sofa dan menonton drama. Oh, drama yang waktu itu. Kali ini si aktris ketahuan menjadi pelakor dan diperlakukan semena-mena. Cerita yang menyedihkan. Ponsel Clara berdering. Ia buru-buru mengangkatnya.
“Apa?! Minggu ini kau tidak datang lagi! Tapi kau sudah berjanji akan makan malam denganku akhir pekan ini. Bagaimana bisa kau membatalkannya?!” Clara berteriak marah. Salah satu hal yang jarang sekali aku lihat.
“Maaf Clara, tapi akhir pekan ini putraku berulang tahun. Dan istriku tidak mau tahu aku harus datang.”
“Jadi sampai sekarang kau belum menceraikannya?! Kau bilang kalian sedang dalam proses perceraian! Kau mau berbohong lagi padaku!”
“Istriku hamil, dan dia menolak bercerai. Aku tidak bisa berbuat apa-apa.”
Clara tak lagi mendengarkan kata-kata Lee setelahnya. Karena ponselnya sudah melayang menghantam tembok. Syukurlah ponsel itu tidak hancur berkeping-keping. Dan untuk pertama kalinya Clara menangis sesenggukan.
Kupikir semenjak Lee tak lagi datang mengunjungi Clara, wanita kesayanganku itu mulai kehilangan hidupnya lagi. Seperti yang aku dengar dari asistennya juga bahwa Clara merasa sangat kehilangan sejak ayahnya meninggal dua tahun yang lalu. Clara mengunci dirinya di kamar selama berhari-hari dan tak mau makan. Hanya saja ia keluar kamar saat terburu-buru ke kamar mandi. Aku mendengar dia suaranya yang mual-mual di kamar mandi. Dan itu terjadi selama berhari-hari. Hingga suatu pagi setelah ia mual-mual di kamar mandi, ia kelihatan sangat tidak bertenaga. Baru keluar dari pintu kamar mandi dia sudah ambruk tak sadarkan diri. Aku benar-benar terkejut. Aku khawatir tapi tak bisa berbuat apa-apa. Aku hanyalah sebuah jam.
Clara sudah terbaring di sana selama dua jam. Aku hanya bisa berharap akan ada orang yang datang menolongnya. Doaku dikabulkan Tuhan. Tak berselang lama asistennya datang. Awalnya ia memanggil-manggil nama Clara, namun begitu melihat tubuh lemas Clara di lantai, ia segera mendekatinya. Pria berwajah latin itu memeriksa tubuhnya. Hingga ia merasa terkejut karena sesuatu. Ia segera meraih ponselnya.
“Ambulans tolong datang ke Excellent Residence. Ada seorang wanita mengalami pingsan dan pendarahan!”
Aku sebagai jam hanya bisa terdiam. Namun aku benar-benar merasa ngeri saat melihat darah yang keluar dari celah-celah paha Clara. Semenjak insiden pagi itu. Aku tak melihat Clara selama tiga hari. Rumah ini jadi sepi tanpanya. Aku baru saja ingin curhat kepada vas bunga yang berisi mawar kering di sampingku saat pintu yang sudah tiga hari terkunci itu terbuka. Clara dan asistennya bergantian masuk. Bisa kulihat wajah Clara sangat pucat. Dan asistennya sedang dalam kondisi perasaan bercampur aduk.
“Sebaiknya kamu istirahat selama seminggu lagi. Dokter bilang kondisimu saat ini sangat rentan. Aku akan mengosongkan jadwalmu selama seminggu penuh dan aku tidak akan mengganggumu selama seminggu itu,” ucap asistennya setelah meletakkan barang yang—mungki—dibawa dari rumah sakit. Aku melihat tulisan rumah sakit di tas itu. Asistennya segera undur diri.
Tak lama setelah asistennya pergi, Clara meraung sejadi-jadinya. Ia bukan hanya menangis seperti saat bertengkar dengan Lee. Tapi ia menangis seperti orang gila. Menjerit, mengutuk nama Lee, melempar barang-barang yang bisa ia raih. Termasuk aku. Aku bahkan bisa melihat pecahan kaca yang berserakan dari vas bunga pemberian Lee dan barang-barang yang lain. Setelah menangis selama satu jam ia akhirnya bisa menenangkan diri. Sambil menatap pemandangan sore dari balik jendela, ia menempelkan ponsel di salah satu telinganya. Ia sedang menelepon seseorang. Tukang bersih-bersih mungkin.
“Clara syukurlah kau menelepon.Sudah seminggu sejak kau tidak menjawab telponku.” Oh, dia menelepon Lee. Tapi kenapa? Setelah pria tersebut melukainya sangat dalam.
“Kita akhiri saja semuanya. Semoga kau dan keluargamu bahagia. Barang-barang pemberianmu akan kukembalikan besok. Ah, aku lupa. Semoga saja anakmu yang masih di kandungan segera menyusul anakku.”
Dan dengan begitu Clara mengakhiri teleponnya. Ia masuk ke kamar untuk mengambil kardus. Tas rancangan desainer dan baju-baju pemberian Lee. Bunga-bunga kering yang ia kumpulkan dalam sebuah kotak. Clara berjongkok di sebelahku, memunguti pecahan-pecahan vas. Membungkusnya dengan kain, yang aku yakini sebagai syal pemberian Lee. Dia memasukkan semuanya ke dalam kardus. Untuk sesaat ia terdiam. Menatapku. Lalu memasukkanku bersama barang-barang lainnya.(*)
Reza Agustin, lahir dua puluh tahun yang lalu pada 20 Agustus 1997. Bunga yang terlambat mekar. Penikmat drama Korea dan pembaca webtoon. Kunjungi FBs aya dengan mengetik Rezha Agusteen dan IG saya dengan mengetik @reza_minnie.
Cerpen ini terpilih sebagai nominator pada KCLK (Kompetisi Cerpen Loker Kita) untuk minggu ke-4 Februari.
Selebihnya tentang KCLK, mari bergabung ke grup kami:
Grup FB KCLK
Halaman FB kami:
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan