Aku Salah Menilaimu

Aku Salah Menilaimu

Aku Salah Menilaimu

Oleh: Monica Silvia Arinta

“Saya terima nikah dan kawinnya Riska Sari Binti Muhammad Prapto dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai.”

“Bagaimana para saksi, sah?”

“Sah.”

Alhamdulillah, resmi sudah aku menjadi istri dari Mas Hafiz. Dengan pertemuan yang cukup singkat, ia meyakinkan aku untuk dijadikan pasangan hidupnya. Bagiku Mas Hafiz orang yang sabar, baik, dan taat agama. Itu sudah cukup, dan masalah ekonomi, menurutku hanyalah bonus. Ia memang memiliki lahan tambang yang lumayan besar, dan pekerja cukup banyak.

Tak banyak yang aku kerjakan di rumah baru yang dibeli Mas Hafiz, semua sudah ditangani oleh pembantu. Dari masak, nyapu, ngepel, semuanya aku terima beres. Sebenarnya tidak enak juga, sebab dari dulu orang tuaku sudah mengajarkan semua pekerjaan rumah, dan setiap hari aku yang melakukannnya.

Bagiku Mas Hafiz sangat romantis, meskipun belum kenal lama aku sudah cukup mengetahui sikapnya. Seperti tadi pagi, saat bangun tidur ia langsung mencium keningku. Mas Hafiz sangat paham bagaimana memperlakukan wanita dengan baik.

Hari semakin siang, matahari juga sudah mulai keluar, kulihat Mas Hafiz sedang bersiap, mungkin akan ke Masjid, dilihat dari pakaiannya.

“Dek, Mas ke Masjid dulu, ya,” kata suamiku yang sudah rapi dengan sarung dan peci. Benar dugaanku.

“Iya, Mas, hati-hati, ya,” segera aku mengikutinya ke pintu depan.

Setelah bayangan Mas Hafiz hilang, aku bergegas masuk, merebahkan diri sejenak, sambil membuka ponsel Mas Hafiz yang tergeletak di meja. Pertama yang kulihat galeri, banyak foto pernikahan kami berdua, foto masa kecilnya, dan beberapa foto kegiatannya di tempat kerja.

Tak lama, ponsel Mas Hafiz berbunyi, tak ada nama yang tertera di layar bening itu. Kuputuskan untuk mengangkatnya, siapa tahu penting.

“Hallo. Assalamualaikum,” sapaku kepada seseorang di seberang sana. Tapi tak ada jawaban, kulihat panggilan itu masih tersambung, sinyalnya juga full. Kembali kusapa seseorang yang menghubungi Mas Hafiz, tetap sama. Kemudian sambungannya terputus.

“Assalamualaikum.” Suara Mas Hafiz terdengar di balik pintu kamar.

“Waalaikumsalam, Mas maaf tadi aku buka ponsel Mas Hafiz, ada yang telpon,” tuturku kepada Mas Hafiz.

“Siapa, Dek?” tanya Mas Hafiz sembari mengambil benda kotak pipih itu.

“Aku nggak tau, Mas, dianya diem aja,” jawabku menjelaskan kepada Mas Hafiz.

Tak lama setelah memandangi nomer yang tadi meneleponnya, Mas Hafiz terlihat sedikit berpikir, mungkin ia juga tidak mengenal nomer itu.

“Sebentar, biar Mas telpon dulu, ya, Dek, siapa tahu penting,” kata suamiku sambil melangkah keluar. Aku hanya mengangguk pelan, kenapa harus keluar? Pikiranku mulai menebak-nebak, sepenting apakah sampai aku istrinya sendiripun tidak boleh tau percakapannya?

Aku membuntutinya dari belakang, kulihat Mas Hafiz mulai mendekatkan benda pipih itu di dekat telinganya, dan beberapa saat kemudian mereka mulai berbicara. Aku tak menderngarnya begitu jelas, yang tertangkap telingaku hanyalah “Aku belum siap untuk bilang padanya, kamu yang sabar, ya” hanya itu yang terdengar, setelahnya tidak jelas.

Aku mulai berpikir, apanya yang belum siap? Siapa yang dia suruh bersabar, hatiku mulai tidak tenang. Belum genap satu minggu menjalin rumah tangga, apa iya Mas Hafiz selingkuh? Tapi tidak mungkin. Sikapnya sungguh manis, ia juga terlihat seperti orang baik-baik, jadi tidak mungkin Mas Hafiz melakukan itu.

“Siapa yang telepon, Mas?” tanyaku saat melihat Mas Hafiz sudah mengakhiri panggilannya, dan mulai berjalan kearahku.

“Itu Pak Burhan, temenku, Dek, dia menawarkan bisnis yang menggiurkan,” kata Mas hafiz terlihat gugup. Aku yakin jika dia berbohong. Tapi aku memilih untuk diam.

“Terus gimana, Mas mau?” tanyaku masih pura-pura percaya.

“Nggak, Dek, Mas nggak tertarik,” jawab Mas Hafiz singkat.

“Ya, udah, kita makan dulu, yuk,” ajak Mas Hafiz sambil merangkulku dari samping. Aku pun menurut. Aku masih merasa aneh dengan sikapnya barusan. Jika memang benar itu temannya, kenapa Mas Hafiz terlihat gugup?

Di meja makan, kami hanya fokus dengan makanan masing-masing, tidak ada percakapan disana, hingga Mas Hafiz memecahkan keheningan dengan menanyakan sesuatu yang membuatku hampir tersedak.

“Dek, emang Adek nggak merasa kesepian kalau Mas Hafiz sedang berangkat kerja, dan pembantu kita pulang?” Memang pembantu kami tiday menginap, ia hanya bekerja dari pagi sampai sore saja. Mas Hafiz yang memintanya, dengan dalih agar kami bisa ada waktu berdua saja.

“Maksud, Mas?” Aku masih belum paham arah pembicaraannya.

“Ya, kalau Adek mau, Mas bisa carikan pembantu yang mau menginap disini,” lanjutnya

“Kan kita bisa minta Mbok Nem nginep disini, Mas. Dulu, ‘kan, Mas sendiri yang minta agar Mbok Nem bisa pulang setiap hari,” kataku kemudian.

“Aku kasihan dengan Mbok Nem, Dek. Dia sudah tua, takut kecapean.”

“Terserah Mas saja, deh.” Akhirnya kuikuti usulan Mas Hafiz. Toh, ada benarnya juga, biar Mbok Nem ada temennya, dan bisa bagi tugas.


Orang yang kami tunggu akhirnya datang, aku dan Mas Hafiz menyambutnya. Dilihat dari wajahnya, dia mungkin tidak beda jauh umurnya denganku.

“Dek, ini dia orang yang akan membantu Mbok Nem, dan menginap disini, biar kamu nggak kesepian,” Mas Hafiz menjelaskan. Aku mengangguk dan mengajaknya masuk ke dalam.

Aku perkenalkan Mbok Nem dengan pembantu baru kami. Kulihat Mbok Nem seperti orang terkejut. Ada apa dengannya? Tapi aku tidak terlalu memikirkan itu. Mungkin Mbok Nem kenal, atau pernah melihatnya.


Hari semakin sore, tapi aku belum sampai rumah karena sejak siang mengunjungi rumah Ibu. Sebenarnya aku ingin Mas Hafiz menjemputku, tapi dari tadi, nomernya tidak bisa kuhubungi. Jadi aku naik taksi. Sesampainya di rumah, kulihat Mbok Nem masih belum pulang, ia sedang menyapu halaman.

“Mbok, Mas Hafiz sudah pulang?” tanyaku pada Mbok Nem, karena kulihat mobil Mas Hafiz sudah ada di garasi.

“Su … sudah, Bu”jawab Mbok Nem gugup.

“Kenapa Mbok, kok, gugup gitu?” Aku penasaran dengan sikap mbok nem. Kenapa dia terlihat ketakutan seperti itu.

“Nggak papa, kok, Bu. Bapak ada di dalam,” lanjutnya kemudian

Aku pun masuk ke rumah. Keadaan masih sepi, kemana Mas Hafiz?

Kulihat di kamar tidak ada, di dapur juga sama. Kulanjutkan mencari Mas Hafiz di belakang rumah, mungkin sedang santai disana. Tapi belum sampai di belakang, aku mendengar suara sayup-sayup dari kamar pembantu baruku, sedang apa sore begini ada di dalam kamar. Kudekatkan telinga ke pintu kamarnya, tapi Mbok Nem mengagetkanku, dia tiba-tiba muncul dari belakang.

“Ibu sedang apa?” tanya mbok nem heran

“Eh, itu, Mbok, kok, sore begini Bi Ita ada dikamar? Memangnya nggak bantu Mbok Nem?” kataku. Mbok Nem hanya diam.

Kulanjutkan mencari Mas Hafiz ke belakang rumah, tapi tetap tidak ada. Sudahlah mungkin sedang keluar sebentar, pikirku.

Saat melewati kamar Bi Ita, aku kembali penasaran, sedang apa dia di dalam. Saat ku dekatkan telingaku ke pintu kamar, aku terkejut setengah mati.

Sedang apa Bi Ita? Kenapa dia seperti mendesah begitu? Apa tadi suaminya kesini? Pikiranku sudah tak keruan. Belum juga dapat jawaban, tiba-tiba pintu kamar terbuka, aku melotot tak percaya. Mas Hafiz keluar dari kamar Bi Ita.

“Mas!” Hanya itu yang keluar dari mulutku. Hatiku tak keruan rasanya, air mata sudah ingin jatuh tapi masih kutahan. Mas Hafiz terlihat sangat pucat, keringatnya mengucur deras, mungkin itu keringat hasil bergelutnya dengan Bi Ita. Aku jijik membayangkannya.

“Dek, aku bisa jelasin ini semua,” kata Mas Hafiz memegang tanganku, tapi dengan cepat aku menghempaskan tangannya.

“Mau jelasin apa lagi, Mas?” Kini air mataku sudah tidak bisa dibendung lagi. Aku selama ini berpikir jika lelaki yang menikahiku ini adalah lelaki baik, tapi kenyataannya aku salah.

“Kamu tega, ya, Mas.” Aku memukul dada bidangnya dengan keras, tapi Mbok Nem menahanku dari belakang. Apa-apaan ini? Kenapa Mbok Nem seolah-olah membela Mas Hafiz?

“Dengerin Mas dulu, Dek.” Mas Hafiz menarik tangan Bi Ita keluar kamar, ia terlihat menunduk tak berani menatapku.

“Dia ini istriku juga, Dek.”

Deg. Apalagi ini? Mas Hafiz menikahi Bi Ita? Kenapa dia tidak bilang? Kenapa juga Bi Ita mau dijadikan istri kedua Mas Hafiz?

“Sejak kapan?” tanyaku tanpa melihat wajah mereka berdua.

“Satu tahun yang lalu,” jawab Mas Hafiz, aku menatapnya tak percaya. Jadi selama ini aku istri keduanya? Sungguh ini kenyataan yang tak bisa kuterima.

“Ita yang menyuruhku menikahimu, karena dia tidak bisa memberikanku keturunan. Aku sengaja menyuruh Mbok Nem untuk pulang setiap hari, agar dia tidak kelepasan. Jadi aku mohon kamu bisa maafin aku. Di sini Ita juga mengorbankan perasaannya demi melihat aku bahagia memiliki anak, seperti yang kami impikan, meskipun itu bukan dari rahimnya,” terang Mas Hafiz panjang lebar. Bi Ita tetap menunduk, tak ubahnya patung.

“Tapi seharusnya kamu bilang dari awal, Mas, kalau seperti ini kamu bukan hanya menyakiti Bi Ita, tapi menyakitiku juga!” teriakku. Aku sudah tidak bisa menahan amarah.

“Maafkan aku, Dek. Aku belum berani berkata jujur.”

“Ceraikan aku, Mas. Aku nggak mau kamu menikahiku tanpa rasa cinta, itu hanya membuatku semakin sakit.” Kali ini suaraku sudah mulai lemas, Mbok Nem masih memegang pundakku dari belakang.

“Kamu salah, Dek. Aku mencintaimu, bukan hanya karena ingin memiliki anak saja, tapi aku menikahimu juga karena cinta,” ucap Mas Hafiz. Kulihat Bi Ita mengusap ujung matanya, mungkin dia juga sakit hati mendengar perkataan Mas Hafiz.

“Tidak, Mas. Aku tidak mau menjadi istri keduamu. Lebih baik ceraikan aku.” Aku berlalu meninggalkan mereka. Menuju kamar membereskan semua barang-barang. Hatiku hancur mendengar pengakuan Mas Hafiz. Bagaimana mungkin dia yang terlihat baik mampu menyakiti dua wanita sekaligus.

Mas Hafiz membututiku dari belakang, berusaha mencegah. Tapi aku tetap dengan keputusanku, aku akan minta cerai.

“Dek, jangan pergi, aku mencintaimu,” kata Mas Hafiz masih terus mengikuti yang sudah berada di ruang tamu.

“Tarik lagi ucapanmu, Mas. Aku jijik.”

“Dek, kumohon.” Mas Hafiz menahan tanganku agar tidak keluar rumah.

“Lepas, Mas. Bahagiakan saja Istrimu itu, aku akan mengalah.”

Aku membuka pintu dan menutupnya dengan keras. Mulai hari ini … aku pergi. Meninggalkan dia, pria yang sebenarnya begitu kucintai. (*)

Monica Silvi Arinta, ibu rumah tangga yang suka mengisi waktu luang untuk membaca dan menulis, dan masih perlu banyak bimbingan.

Editor: Evamuzy
Sumber gambar: pinterest.com

Leave a Reply