Aku Mencintaimu, Bukan Rahimmu

Aku Mencintaimu, Bukan Rahimmu

Aku Mencintaimu, Bukan Rahimmu
Oleh : Ardhya Rahma


Ruangan bercat putih berukuran 4×5 meter persegi itu seketika hening, selepas pria berjas putih bernama Dokter Joko menjatuhkan vonisnya.

Namun, tak lama kemudian perempuan berambut ikal dan berpakaian kasual yang duduk di depan Dokter Joko itu berteriak, “Ini pasti salah! Dokter mengambil hasil milik perempuan lain. Itu pasti bukan hasil tes milik saya.”

Perempuan tersebut masih meraung tak terima atas vonis yang dijatuhkan laksana bom atom. Sementara lelaki yang duduk di sebelahnya hanya terdiam, tak mampu bersuara atau bereaksi. Dia biarkan saja perempuan yang duduk di sebelahnya menangis histeris, hingga seorang perawat menenangkannya.

Beberapa saat dokter dan perawat membiarkan perempuan tersebut meluahkan semua perasaannya. Hingga hanya isak tangis perempuan tersebut yang masih terdengar di ruangan praktik dokter tersebut, karena lelaki di sebelahnya masih tetap bungkam. Setelah isak tangis mulai mereda, dokter mengangsurkan amplop berisi hasil laboratorium dan USG milik perempuan bernama Anita tersebut. Membuat lelaki dan perempuan itu mau tak mau harus meninggalkan ruangan, memberi kesempatan pasien lain bertemu Dokter Joko.

Lelaki dan perempuan tersebut melangkah gontai meninggalkan rumah sakit. Tak sepatah kata pun keluar dari mulut mereka, meski hanya kata penghiburan satu sama lain. Hingga si perempuan bernama Anita turun dari mobil, hanya sebaris kalimat yang terucap dari mulut lelaki bernama Bagus. “Nanti aku akan menghubungimu.”

Singkat dan tanpa emosi. Pertemuan terakhir di antara mereka berdua, sekaligus awal perpisahan. Karena komunikasi selanjutnya hanya selarik kalimat, yang dikirim lewat aplikasi chat berwarna hijau.

Maaf, aku tidak bisa meneruskan pertunangan kita. Keluargaku mengharapkan keturunan yang tak sanggup kamu berikan!

Sebuah kata putus yang dikirim tanpa memikirkan perasaan penerima chat tersebut. Tak tertanggungkan luka batin yang harus dialami oleh Anita. Menerima vonis kemungkinan besar tidak bisa mempunyai keturunan akibat tumor pada indung telur. Seolah-olah belum cukup penderitaannya, disusul pertunangan yang diputuskan sepihak.

Kalau saja keluarga tidak mendukung, juga Sita, sahabatnya semenjak kecil, tidak menghiburnya, Anita pasti memilih jalan mudah yang dilaknat agama, bunuh diri! Menurutnya kematian akan membuatnya lupa semua luka lara. Bersyukur hal itu tidak jadi dia lakukan.

“Benarkah yang kamu katakan itu, Mas?” tanya Anita.

Sore itu, di teras rumahnya lima bulan setelah vonis, Anita menerima tamu seorang lelaki yang sudah dikenalnya sejak kecil.

Zaki, kakak sahabatnya, Sita, tanpa terduga mengajukan sebuah lamaran pada dirinya.

“Ya, aku benar-benar ingin menjadikanmu istriku,” jawab Zaki.

“Kenapa? Karena kasihan denganku?” tanya Anita.

“Kasihan? Kenapa? Karena vonis dokter itu? Tidak! Pernah dengar kalimat cinta karena terbiasa? Itulah yang terjadi padaku. Awalnya kamu hanyalah gadis sahabat adikku, tapi lama kelamaan kamu adalah gadis dambaanku. Sayang, kamu memilih lelaki lain dan itu membuatku menjauh. Namun, setelah kamu tidak bertunangan, aku memutuskan untuk melamarmu,” jawab lelaki itu.

“Kalau kamu tahu vonis itu, kenapa kamu malah melamarku?” tanya Anita.

“Karena aku mencintaimu bukan rahimmu,” Jawaban tegas Zaki yang membuat Anita berurai air mata.

Meskipun tidak menjanjikan akan bisa mencintai Zaki layaknya dia mencintai Bagus, Anita menerima cinta Zaki dan bersedia mengarungi mahligai rumah tangga bersamanya. Dia percaya apa yang dikatakan Zaki bahwa cinta bisa hadir ketika terbiasa.

***

Mata hitam seorang lelaki mengawasi dengan intens tingkah lincah seorang gadis kecil berkucir kuda. Sesekali dia ikut tersenyum ketika melihat gadis kecil itu tertawa hingga memperlihatkan deretan giginya yang rapi dan kedua lesung pipi. Mengingatkan dia pada wajah berlesung pipi yang pernah hadir di masa lalunya.

“Humaira, sudah dulu mainnya, Nak. Itu Abi sebentar lagi membawa nasi ayam goreng favoritmu,” suara seorang perempuan memanggil nama gadis kecil itu.

Lelaki bermata hitam tersebut terperanjat manakala dia melihat perempuan yang menghampiri gadis kecil itu.

“Anita,” desisnya. Matanya tak lepas memandangi sosok dari masa lalunya yang sekarang terlihat berbeda dengan hijabnya.

Gegas dia mendatangi perempuan yang dia panggil Anita. Melihat sosok lelaki yang menghampirinya, Anita pun juga terkejut dan menyapa, “Mas Bagus … apa kabar?”

“Alhamdulillah, baik,” jawab lelaki bernama Bagus itu.

“Gadis cilik ini siapa?” Bagus tak bisa lagi menahan rasa penasarannya.

“Ooo ini Humaira, anakku. Ayo, Nak kasih salam dulu ke Om Bagus,” pinta Anita.

Humaira pun mengambil tangan kanan Bagus dan menciumnya. Bagus pun mengelus kepala gadis cilik berusia sekitar enam tahun, tersenyum dan berkata, “Waah … anak cantik dan pintar.”

Humaira balas tersenyum dan segera berlari ke arah lelaki yang sedang mengantre ayam goreng di salah satu foodcourt. Tingkah gadis kecil itu tak lepas dari tatapan Bagus.

“Kamu … sudah menikah?” tanya Bagus.

“Alhamdulillah sudah dan tidak sampai satu tahun kemudian lahirlah Humaira,” jawab Anita.

“Ja-jadi dia anak kandungmu?” tanya Bagus terbata-bata.

“Iya … memangnya Mas Bagus mengira siapa? O … saya tahu maksud Mas, vonis itu, ‘kan?” sahut Anita.

Demi melihat Bagus mengangguk, Anita melanjutkan,” Alhamdulillah, Mas Zaki-suamiku-tetap berikhtiar. Dia mencari second opinion dari sahabatnya yang juga dokter kandungan. Atas sarannya aku menjalani pengobatan intensif. Alhamdulillah setelah pengobatan berjalan tiga bulan, Allah beri rezeki dengan meniupkan ruh dalam rahimku. Aku hamil dan ketika melahirkan satu indung telurku yang ada tumor diangkat. Allah Mahabesar dan Mahakuasa. Apa pun bisa terjadi atas izinnya.”

Penjelasan Anita yang panjang lebar membuat Bagus tercenung. Dia menyesali keputusannya dulu, karena ternyata setelah tujuh tahun menikah dia belum dikaruniai keturunan. Bagus sangat malu, hingga ketika Anita mengajak dia menemui Zaki suaminya, dia menolak dan memilih berlalu.

Surabaya, 16-10-2020


Bionarasi :

Ardhya Rahma, nama yang ingin ditorehkan dalam setiap buku yang ditulis. Berdarah campuran Jawa dan Kalimantan. Mempunyai hobi membaca dan traveling. Baginya, menulis adalah proses mengikat ilmu dan pengalaman hidup. Berharap mampu menuangkannya dalam buku yang sarat makna bagi pembaca. Tulisan yang lain bisa dijumpai di akun FB @Ardhya Rahma

 

Editor: Erlyna

Leave a Reply