Aku Memanggilnya Bunda
Oleh: Sri Wahyuni
Wanita itu masih mengenakan seragam kerja ketika sampai rumahku; hem warna putih dengan rok hitam panjang sebagai bawahannya. Jilbab paris yang membingkai wajah lelahnya, sudah mencong sana mencong sini. Tangan kanannya menenteng tas kresek, oleh-oleh untuk anak-anakku. Sedangkan tangan kirinya menenteng tas kerja warna hitam berbahan kulit. Senyumnya mengembang diikuti suaranya tawanya yang menghidupkan suasana.
“Assalamualaikum, anak-anak ini Bunda bawakan mie ayam.”
Anak perempuanku yang berdiri di dekat pintu menyambut tas kresek itu dengan ucapan terima kasih lalu ia pergi ke belakang mencari kakaknya.
Aku lalu mempersilakannya duduk. Setelah sapaan standar dan cium pipi kanan kiri, mengalirlah cerita yang hanya kepadaku dia bisa menceritakannya. Entah kenapa kami akrab begitu saja, sehingga membuatnya nyaman bercerita. Mungkin karena aku adalah pendengar yang baik. Bukankah terkadang kita hanya butuh didengar?
Mata wanita berumur setengah abad yang masih terlihat sangat energik itu berkaca-kaca. Di balik keceriaan dan kekuatan yang selama ini dia perlihatkan; di balik kesibukan dengan semua kegiatan yang dilakukannya, ternyata ada sisi rapuh yang dia sembunyikan.
“Dulu awal menikah kami memang dijodohkan, namun seiring berjalannya waktu kami bisa saling melengkapi,” tuturnya dengan wajah yang mulai sendu.
“Hingga akhirnya lahirlah anak-anak kami.” Dia melanjutkan lagi kalimatnya yang menggantung.
“Salahku, Dek. Dalam mendidik aku kurang memperhatikan pendidikan agama putra-putriku sejak kecil. Aku dan suami hanya fokus mencari nafkah memenuhi kebutuhan mereka secara materi, tapi membiarkan jiwa mereka kosong dari ilmu agama.”
Dia masih melanjutkan ceritanya dan aku hanya diam mendengarkan.
Aku menyuruh anak perempuanku untuk membuatkan minum untukku dan Bunda, begitu aku memanggilnya.
Di depan terdengar bunyi bel tukang bakso, Bunda mengejarnya keluar dan memesan bakso untuk anak-anak. Anak bungsu yang baru bangun tidur masih menggelendot manja padaku, dia malu-malu saat ditawari bakso dan gorengan favoritnya.
“Adek mau bakso? Gorengannya mau gak? Bunda ikut-ikutan merayu anak bungsuku agar tidak rewel. Guru TK biasanya pandai merayu anak kecil, tapi kali ini kesusahan karena anakku tidak seperti anak-anak yang lain.
Anak perempuanku datang dengan membawa dua gelas air lemon yang pinggiran gelasnya dia hiasi dengan irisan buah lemon.
“Cantik sekali, kayak di restoran.” Pujian Bunda membuat anak perempuanku tersipu.
“Hmmm, enak!” katanya lagi, “terima kasih, ya, Kak.”
“Kakak, mau bakso juga kaya adek?” Tawar Bunda sekali lagi. Gadis kecilku mengangguk lalu berlari ke depan. Di sana sudah parkir pak Bro, penjual bakso langganan yang biasa lewat depan rumah ketika siang hari.
Ketika anak-anak sudah asyik dengan cemilannya, Bunda melanjutkan ceritanya yang tertunda.
“Aku cuma cerita sama kamu, Dek,” katanya lagi, dan aku mengangguk mengiyakan. Kubiarkan wanita paruh baya itu menuntaskan semua kisahnya. Aku hanya menjadi pendengar setia yang sesekali hanya menimpali. Asam garam kehidupan tentulah dia yang lebih banyak mengalami.
Begitulah kehidupan, Tuhan tidak akan kehabisan cara menguji kita para ciptaan-Nya. Semuanya kebagian ujiannya sendiri-sendiri. Yang keluarganya harmonis, banyak uang, diuji dengan penyakit. Keluarganya harmonis, semua sehat, diuji dengan kemiskinan. Keluarganya harmonis, uangnya segudang tapi tidak dikaruniai keturunan. Duitnya banyak, semuanya sehat, tapi selalu bertengkar. Ganteng-ganteng tapi jomblo, yang wajahnya biasa saja anaknya sudah tiga. Begitulah Tuhan, kadang suka bercanda.
“Bunda, sudah makan?” tanyaku, karena sekarang waktunya makan siang.
“Aku punya oseng daun kates,” lanjutku, biasanya dia semangat kalau aku bilang oseng daun kates.
“Nanti saja, Dek. Tadi sudah makan mie ayam.”
Aku mengangguk, mengambil rempeyek ebi dari atas meja. Kami asyik bercerita tentang kuliahnya, tentang dosen, dan teman-temannya. Bunda meskipun sudah punya cucu, masih semangat menuntut ilmu. Wajah bunda yang tadi mendung, sekarang kembali ceria seperti semula.
Terdengar deru motor berhenti di teras rumah, ternyata suamiku pulang. Dia membawa oleh-oleh lima bungkus batagor. Artinya, tidak ada yang makan nasi siang ini. Anak-anak pun jika sudah makan camilan, tidak makan nasi.
Suami ikut nimbrung, ngobrol ke sana kemari bersama kami. Sesekali Bunda mengulang kembali ceritanya.
“Anak dan menantuku pergi dari rumah, gak pamit.”
Suamiku nampak terkejut. “Kapan? Kan kemarin aku ketemu waktu kesana.”
“Besok paginya, waktu aku sekolah,” tuturnya, kali ini wajahnya tidak semendung tadi.
“Bun, kesini tadi sama siapa? Kok motornya gak ada?”
Rupanya suamiku baru sadar, tidak ada motor lain yang parkir di depan rumah.
“Tadi, aku naik kereta, Kang,” selorohnya seraya tertawa.
“Nanti, anterin Bunda pulang ya.”
“Ok.” Suamiku mengangguk, mulutnya sibuk mengunyah batagor.
Sore ini langit mendung, sehabis salat Asar suamiku mengantar Bunda pulang bersama anak bungsuku. Kira-kira lima belas menit berlalu, anak perempuanku yang baru pulang dari bermain sepeda, berteriak dari ruang tamu.
“Mah, HP Bunda ketinggalan.”[*]
Magetan, 15 Juni 2022
Bionarasi:
Sri Wahyuni, penyuka semburat jingga di langit sore.
Editor: Nuke Soeprijono
Sumber gambar: Google