Aku Memanggilmu di Hari Kematianku

Aku Memanggilmu di Hari Kematianku

Aku Memanggilmu di Hari Kematianku

Oleh: Vianda Alshafaq

 

Aku memanggilmu di hari kematianku. Senja itu langit berwarna oranye dengan sedikit sentuhan abu-abu. Senja itu aku akan mati, dengan cara yang entah bagaimana. Buku itu tidak memberitahuku bagaimana aku akan mati. Hanya saja, satu hal yang pasti, senja itu, pukul 18.55 di detik ke–43 aku akan mati.

Setiap manusia yang hidup selalu mendapatkan buku itu dua hari sebelum mereka mati. Seperti dua hari sebelum senja itu, tiba-tiba buku bersampul hitam mendarat di tubuhku ketika berbaring. Ia tiba-tiba muncul di awang-awang dengan cahaya hitam yang menyebar dan membuatku sedikit terkejut, awalnya. Namun, setelah menyadari bahwa buku itu adalah buku kematian, aku merasa sedikit bahagia.

Aneh, memang. Bukannya merasa sedih dan ketakutan ketika akan mati seperti orang lain, aku malah merasa bahagia—walau masih sedikit gemetaran. Ini adalah hal yang kutunggu-tunggu. Sudah berkali-kali aku mencoba mati sebelumnya, tetapi tak ada yang berhasil. Meski aku menyayat urat nadi di pergelangan tangan di apartemen, seseorang tiba-tiba datang dan membawaku ke rumah sakit.

Hari itu, aku tidak jadi mati. Dua minggu lebih aku berada di rumah sakit dan setelahnya diizinkan pulang. Sejak saat itu, Ibu menemaniku di apartemen. Ia tidak ingin aku melakukan hal yang sama lagi.

Di lain waktu, dua bulan setelah keluar dari rumah sakit, aku kembali mencoba mati. Hari itu aku memilih menggunakan obat tidur. Kupikir, meminum sebotol obat tidur akan membuat mati lebih cepat. Akan tetapi, lagi-lagi aku gagal mati. Ibu datang dan masuk tanpa mengetuk pintu kamar. Obat-obat itu berserakan di lantai setelah Ibu menepisnya—sebelum sempat kulemparkan ke mulut.

Cih, takdir memang begitu! Ia tak membiarkan aku mati dan tidak juga membiarkan aku hidup dengan tenang.

Sebetulnya, aku masih muda. Masih 23 tahun. Seharusnya aku masih dipenuhi ambisi untuk menggapai mimpi-mimpi yang pernah terangkai. Seharusnya, aku menulis lebih banyak buku dan mengisi seminar di sana-sini, seperti dua tahun sebelum ini. Namun, sejak bulan delapan setelah menyelesaikan buku terakhir dan berhenti menulis naskah lainnya, aku … mati. Bukan kematian yang sebenarnya, tetapi kematian yang lebih buruk ketimbang ajal.

Kau datang setiap malam, menahan mataku agar tak tertutup. Dan, itu mengerikan.

Seperti malam itu, tanggal 18 bulan 9 tahun lalu, di hari ulang tahunku, kau datang dengan pakaian putih lusuh dan berdarah-darah. Rambutmu kucel dan kusut. Sepertinya sudah lama sekali tak kau sisir. Sementara matamu, terlihat lebih mengerikan ketimbang rambut. Sebelah matamu menghitam dan sebelah lainnya mengalirkan darah. Kulitmu pucat seperti bulan pagi. Kuku panjang seperti kuku kucing—ketika merobek ikan yang kuberikan setiap malam. Kau selalu datang seperti itu.

“Kau tidak boleh tidur.” Kalimat itu selalu menjadi kalimat pertama yang kau ucapkan ketika datang. Kau mengulangnya sesering mungkin. Menakut-nakuti dengan mendekat dan mengarahkan kuku panjangmu itu ke leherku.

Tubuhku bergetar hebat. Anak-anak sungai yang penuh rasa takut terasa terbentuk di kedua pipi. Langit-langit kamar dan lampu yang meremang, mengabur di pandangan. Air mata menumpuk di sana sehingga aku tak dapat melihat dengan jelas, tetapi wajahmu yang pucat dan berdarah-darah terlihat jelas dan semakin jelas setiap detiknya. Bagaimana kau melakukannya?

“Kau tidak bisa begitu padaku.” Itu kalimat kedua yang sering kau ulang-ulang. Entah apa maksudmu, aku tidak mengerti.

Apa yang sudah kulakukan sehingga kau datang menemuiku setiap malam, mengganggu tidur, dan melempariku dengan darah-darah yang mengalir dari matamu? Sekeras apa pun aku berpikir, aku tidak mengerti apa pun.

Di malam yang lain, aku memberanikan diri untuk bicara. Mencari tahu kenapa kau mengganggu dan tidak membiarkanku tidur dengan nyenyak. Bahkan, sering kali kau menaruh kukumu di leherku ketika aku akan tidur dan mengabaikan kedatanganmu.

“Kenapa kau menggangguku? Apa salahku?” Aku berteriak sembari menarik rambutku sendiri. Frustrasi. Takut. Lelah. Semua rasa itu bercampur dalam diriku.

“Kau tidak bisa begitu padaku.”

“Apa yang sudah kulakukan? Aku tak melakukan apa pun padamu.”

“Kau tidak bisa begitu padaku. Kau tidak bisa mengakhiri hidupmu. Kau tidak boleh mengakhiri aku.”

Demi Tuhan, aku tak mengerti apa yang kau maksud. Sekali lagi aku bertanya, dan kau masih menjawab dengan kalimat yang sama.

 

***

 

Dua hari yang lalu, buku kematian itu mendatangiku. Itu artinya, hari ini keinginanku itu akan terkabul. Aku akan mati. Senja ini, tepat pukul 18.55 di detik ke–43. Seperti yang tertulis di buku itu.

Aku hanya duduk di atas ranjang, sembari memegang buku kematian. Saat ini masih pukul 18.33. Artinya, sebentar lagi aku benar-benar akan mati. Di dalam hati, aku memanggilmu berulang kali, berharap kau datang dan menyaksikan kematianku. Aku tidak memanggil namamu. Aku hanya membayangkan rupamu di benak, dan memanggilmu dari hatiku.

Seperti sebuah keajaiban, kau benar-benar datang. Dengan cara dan tampilan yang sama seperti sebelum-sebelumnya.

“Kenapa kamu menggangguku?”

“Kau tidak bisa begitu. Kau tidak boleh mati. Aku tak ingin berakhir seperti ini.”

“Apa hubungannya? Kita tidak punya hubungan apa pun. Semuanya sudah usai!”

“Tidak. Kau harus menyelesaikan dendamku. Kau tidak bisa menutup hidupku tanpa akhir begitu. Kau tidak bisa menyiksaku seperti ini,” kau berhenti sejenak, “kau harus menyelesaikan cerita ini. Kau harus menulis kisahku lagi.”

“Tidak. Tidak akan pernah. Aku sudah muak membayangkan rupa tokohku yang menakutkan. Seharusnya kau tidak datang kemari. Seharusnya aku tidak pernah menulis tiga bab pertama itu.” Aku berteriak, kemudian menjambak rambutku sendiri.

Kau masih mengulang-ulang kalimat bahwa aku tidak bisa begitu. Akan tetapi, aku tidak menghiraukanmu. Aku menutup telinga dengan kedua tangan, menutup mata, dan menenggelamkan wajah dalam tekukan lutut.

Mungkin kau kesal karena aku mengabaikanmu. Dengan segera, kau mencengkeram leherku dengan kuku-kukumu yang panjang. Perih. Sesak. Takut. Hanya itu yang kurasakan. Pada akhirnya, aku tetap ketakutan menghadapi kematian meski aku sangat menginginkannya sebelum ini.

 

Entah berapa lama aku bertahan dengan rasa sesak dan sakit itu, aku tidak tahu. Hanya saja, aku yakin tepat pukul 18.55 di detik ke–43, aku sudah mati. [*]

 

Agam, 28 Mei 2021

 

Vianda Alshafaq. Anggota Kelas Menulis Loker Kata yang menyukai segala hal berbau cokelat.

Leave a Reply