Aku Mau Digendong, Ma ….
Oleh: Aryati
Semenjak perut Mama yang bulat sebesar buah semangka itu kempes, rumah ini kedatangan makhluk kecil baru berwarna putih sedikit kemerahan yang hampir tiap dua jam sekali menangis. Mama dan Papa memanggilnya‘Adik Bayi’, dan tentu saja aku ikut memanggilnya demikian. Adik Bayi begitu manja, baru ditinggal sebentar saja sudah menangis. Badannya yang kecil itu jarang sekali turun dari gendongan Mama. Dia juga tak mau diletakkan di boks kecil yang mirip sekali rumah Miu, kucing milik Tante Agnes—tetangga sebelah—yang tidak ada atapnya dan bagian bawahnya dilapisi kasur kecil dan lembut.Di tiap pinggirnya ada bantal guling kecil berwarna biru bergambar beruang. Sama dengan bantal guling punyaku. Bedanya, punyaku berwarna merah muda.
Hampir setiap saat Adik Bayi selalu berada di dekat Mama. Kadang Mama meletakkan di pangkuan, kadang pula diletakkan di depan bawah dada memakai kain jarik pemberian Nenekyang diikat kencang di belakang pundaknya.
Aku pernah bilang sama Mama kalau aku juga ingin digendong seperti Adik Bayi, tapi Mama tak memperbolehkan. Aku sudah jadi kakak, tidak boleh manja.Gantian sama Adik Bayi. Tata, kan, sudah pernah digendong,begitu kata Mama sewaktu aku merengek-rengek minta digendong.Lagi pula Tata sudah kelas dua SD, mana pantas digendong kayakAdik Bayi, ucap Mama lagi.
Mama itu seperti robot pengasuh, sedang tombol remote-nya itu tangisan Adik Bayi. Begitu si Adik menangis Mama bergegas menggendongnya. Namun, begitu Adik menghentikan tangisannya, Mama kembali meletakkan tubuh Adik dalam boks. Tapi percayalah, itu hanya sebentar, karena tak lama lagi tombol remote itu akan dipencet. Entah siapa yang memencet tombolnya. Di saat itu, sebenarnya, aku ingin merajuk lagipada Mama.Tapi tangisan Adik tak bisa kusela sedikitpun.
“Adik Bayi masih belum bisa melakukan apa-apa. Semua harus dibantu Mama. Sama kayak Tata dulu waktu masih bayi.” Mama menjelaskan sambil tersenyum dan mengelus kepalaku.
Kalau begitu lebih baik aku minta gendong Papa saja . Tiap Sabtu, kan, Papa selalu pulang. Papa pasti tak akan keberatan jika aku minta gendong.
Tapi ternyata, minggu ini aku tak bisa digendong Papa juga. Begitu sampai rumah, Papa langsung menanyakan Adik Bayi. Lalu Papa akan menggendongnya, lama. Aku menarik-narik kemeja Papa. “Kenapa, Sayang?” Hanya itu yang ditanyakan Papa. Sambil bergoyang-goyang dan berjalan-jalan pelan di sekitar rumah, Papa terus bicara dengan Adik Bayi.
Aku mencari Mama ke semua ruangan, tapi Mama hilang.Entah siapa lagi yang memencet tombol itu, tiba-tiba Adik Bayi menangis. Papa menimang-nimang adik, tapi tangisannya semakin kencang. Lalu Mama muncul dan mengambil Adik Bayi, memangkunya sambil membuka kancing bajunya. Mama menempelkan dadanya ke wajah Adik Bayi.
Ketika aku menoleh ke arah Papa, di sana tak ada siapa-siapa lagi. Ah,ke mana lagi? Aku mencari ke tiap pojok, dan ternyata Papa sudah duduk di depan meja besar dengan laptop menyala di sana. Biasanya Papa akan berlama-lama di sana, mengamati layar, menekan-nekan tombol-tombol huruf dan angka, lalu mengamati layar itu lagi. Begitu terus dan diulangnya berkali-kali, sampai aku lelah menunggu.
“Sekarang Papa sibuk, Sayang. Sebentar, ya.”
Esoknya, Papa berangkat pagi-pagi sekali. Aku tak sempat melihatnya keluar dari pagar rumah. Padahal biasanya aku akan mengantarnya sampai teras.
***
“Kenapa nggak kerja yang dekat saja, Pa?”
“Iya,nanti Papa cari kerjaan yang deket, biar bisa pulang tiap hari.”
“Asyik!” Aku senang sekali mendengar kata-kata Papa barusan di ponsel Mama.
Setiap hari aku duduk sambil memandangi jam dinding. Aku menghitung tiap jarum-jarum itu bergerak. Aku sudah tak menginginkan digendong Mama lagi. Aku ingin digendong Papa.
Sabtu sore aku sudah mandi lebih awal dari biasanya. Aku duduk sambil memeluk boneka beruang cokelat di teras depan. Terkadang aku bicara dengan boneka itu, kadang aku juga menggerak-gerakkan kaki-kakinya, juga ekornya. Kemudian aku berdiri, melihat ke pintu gerbang. Kenapa Papa lama sekali?
Mama memanggilku dari dalam dan menyuruhku masuk, tapi aku bersikeras tak mau masuk sebelum Papa pulang. Sambil menggendong Adik Bayi, Mama keluar sambil menyerahkan ponselnya.
“Ini Papa mau ngomong sesuatu.”
“Papa?”
“Iya.”
Papa bilang Papa minta maaf. Papa tidak bisa pulang karena sibuk. Dan Papa janji akan membelikanku boneka yang besar waktu pulang nanti. Aku sedih, lalu menangis.
Sambil mengelap air mata, aku berjalan masuk rumah, langsung ke kamar. Kali ini, keinginanku digendong Papa tak bisa kesampaian. Aku terus saja menangis. Mama membujukku keluar untuk makan. Aku tetap tak mau keluar. Mama membawakan makanan ke kamar. Tapi aku terus saja menangis, lama, hingga lelah sampai aku tertidur.
***
Pagi-pagi ketika matahari belum kelihatan, aku dan Mama hendak membeli sayur sekalian berjalan-jalan. Ketika aku melewati rumah Leo, teman sekelasku, kulihat ia sedang digendong ibunya.
“Leo kenapa?” tanyaku. Leo tak menjawab. Wajahnya kelihatan lebih putih dari biasanya sampai-sampai bibirnya juga berwarna sedikit putih. Leo tak tersenyum padaku. Beda sekali ketika di kelas. Ia akan banyak bicara, kadang tersenyum. Seperti teman-teman yang lain.
“Leo-nya sedang sakit.” Ibunya menjawab sambil tersenyum. Mama juga ikut senyum, aku juga. Dan kami melanjutkan jalan-jalan.
“Kalau sakit boleh digendong, Ma?”
“Boleh.”
***
Sampai di rumah aku masih teringat dengan Leo yang sakit. Mungkin Mama atau Papa akan menggendongku jika aku sakit. Tapi aku bingung bagaimana caranya supaya secepatnya aku bisa sakit? Aku berpikir seharian di dalam kamar sambil tiduran. Berkali-kali aku memikirkannya hingga aku melupakan makan siang. Mama juga tak memanggilku keluar untuk makan siang, karena aku biasanya juga akan makan sendiri, dan waktu itu Adik Bayi menangis terus, membuat Mama seharian sibuk dengannya saja.Menjelang sore, aku merasa tak enak badan. Perutku rasanya sakit. Sakit sekali.
“Maaa….”
“Kenapa, Sayang?”
“Sakiiit….” Aku memegangi perut.
Mama memegang dahi dan perutku. Mama kelihatan panik. Lalu Mama menelepon Nenek. Tak begitu lama Nenek datang dan menggendong Adik Bayi. Mama memberiku obat dan mengusap-usap perutku dengan tangannya yang sedikit berminyak. Aku masih mengaduh sambil memegang perut. Lalu Mama menggendongku sambil mulutnya komat-kamit. Entah apa yang Mama ucapkan.
Aku meletakkan kepala di pundak Mama. Mama mengelus-elus punggungku.Rasanya begitu nyaman. Rasa sakit perlahan berkurang. Lama-lama aku merasa ada yang menyanyikan lagu ‘Tata Bobo’. Terdengar pelan di telingaku.(*)
Banjarnegara, 22 Desember 2021
Aryati, ibu dari dua anak yang juga mengajar di SD. Belum lama menulis. Lebih sering membaca ketimbang menulis. Menyukai hitam dan ungu.
Komentar juri, Inu Yana:
Ide yang “biasa” akan menjadi tak lagi biasa bila dikemas dengan cara yang menarik. Inilah yang sudah dilakukan oleh Aryati. Berkisah tentang Tata, seorang anak yang baru saja mempunyai adik. Ia ingin digendong oleh mamanya, tetapi berhubung adiknya masih kecil, dia mau untuk mengalah dan mengerti. Buat dia, tak apa tak digendong Mama, masih ada Papa. Tetapi ternyata harapannya pupus karena papanya pun selalu sibuk. Hingga akhirnya ia menemukan ide agar bisa digendong mamanya. Ia terus memikirkan bagaimana caranya untuk sakit, hingga akhirnya ia sakit beneran. Di sini, anak-anaknya berasa banget.
Pada ending-nya, semula saya mengira sang ibu memanggil Nenek untuk membantu menggendong Tatakarena ia sibuk dengan bayinya, ternyata tidak. Dan buat saya, ini kejutan.
Cerita ini, memberitahu kita, bagaimanapun repotnya seorang ibu, ia akan tetap menjadi yang paling sigap terhadap anaknya.
Cerita yang dikemas natural dan polos khas anak-anak ini membuat saya senyum-senyum sendiri sepanjang membacanya.
Manis sekali cerita ini.
Lomba Cermin Lokit adalah lomba menulis yang digelar di grup FB Komunitas Cerpenis Loker Kata (KCLK)
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata