Aku, Mala, dan Bayangan-Bayangan yang Menolak Pergi dari Tubuh Kami (TL-17)

Aku, Mala, dan Bayangan-Bayangan yang Menolak Pergi dari Tubuh Kami (TL-17)

Aku, Mala, dan Bayangan-Bayangan yang Menolak Pergi dari Tubuh Kami

Oleh : Tri Wahyu Utami

25 Cerpen Terbaik TL-17

 

Aku membuka tirai yang menutupi jendela. Membiarkan sinar matahari masuk, merayapi Mala yang sedang duduk menangis di depanku.

“Apa yang terjadi? Kenapa kamu menangis?” tanyaku.

Mala diam. Tapi saat sinar matahari mengenai wajahnya, tiba-tiba Mala memuntahkan sebuah bayangan seukuran bocah 8 tahun dari mulutnya. Bayangan itu sangat tipis. Seperti kertas berbentuk manusia yang hitam sekali–lebih hitam dari bayangan lain yang pernah keluar juga dari tubuhnya.

Awalnya bayangan kecil itu diam saja, berdiri di samping Mala sambil celingukan. Tetapi kemudian, dia berjalan melewatiku dan duduk bersedekap di pojok ruangan, di belakang pot besar yang menelan hampir semua bagian tubuh hitamnya. Sekian detik berlalu. Bayangan kecil itu mulai bergerak, dan setiap kali dia bergerak, suara tangis Mala semakin terdengar keras.

Aku menghela napas. Rasanya saat ini Mala tidak bisa diganggu. Jadi kuurungkan niat bercerita kepadanya tentang gadis cantik yang tadi pagi melubangi hatiku. Lagi pula, sekarang muncul bayangan lain di dekat kami. Mereka berdua saling menaik-turunkan tangan masing-masing, berteriak, diam sejenak, membuka-tutup pintu, lalu salah satu dari mereka pergi meninggalkan rumah. Meninggalkan si hitam lainnya yang berjalan terhuyung-huyung menaiki tangga. Ketika aku menolehkan kepala, ke arah pot besar di pojok ruangan, si hitam kecil itu sudah tidak ada di sana. Bersamaan dengan itu tangis Mala mereda.

Sepulangnya dari rumah Mala, aku tidak langsung tidur. Aku masih memikirkan gadis itu. Bagaimana bisa dia hidup dengan bayangan-bayangan mengerikan di tubuhnya? Bagaimana bisa dia merelakan bayangan itu menggerogoti hati, jantung, bahkan otaknya? Bukankah itu adalah tindakan yang bodoh?

Tapi Mala yang bodoh adalah sahabatku. Jadi tidak akan kubiarkan hati, jantung, dan otaknya habis dimakan bayangan.

***

“Jangan sok tahu. Lebih baik kamu urus saja dirimu sendiri. Lihat itu, gadismu yang cantik mau dibawa pergi orang. Apa kamu tidak cemas?” kecam Mala di senin pagi, saat kubilang padanya agar mengeluarkan semua bayangan di tubuhnya dan membuang mereka ke tempat yang jauh. Sangat jauh. Supaya mereka tidak kembali lagi. Tapi bukan Mala jika tidak keras kepala. Alih-alih berterima kasih karena aku sudah repot-repot mencarikannya jalan keluar, dia malah mengingatkanku kepada bayangan yang ada di tubuhku sendiri.

“Kalau kamu tidak mengejarnya, dia akan benar-benar pergi,” ketusnya.

“Terserah dia mau melakukan apa. Lagi pula itu bukan urusanku. Pokoknya mulai sekarang, aku tidak mau mengejarnya lagi,” jelasku sambil melihat seorang gadis cantik dari kejauhan. Mala ikut memandang gadis itu.

“Kenapa?” tanyanya kemudian.

“Karena dia sudah melubangi hatiku.”

***

Setahun lamanya aku tak bertemu gadis itu lagi. Terakhir kudengar dari Mala, sekarang dia memacari seorang lelaki tampan yang kaya raya. Sepertinya dia sudah menjalani hidup yang bahagia. Tak sepertiku yang setiap malam bergelut dengan bayangan. Aku cemas, juga takut. Bagaimana kalau bayangan-bayangan keparat ini tak mau pergi? Mereka pasti akan memakan habis otakku. Lalu setelah puas memakan otak, mereka pindah ke hati. Menciptakan lubang baru yang lebih dalam dan lebar. Sungguh, memikirkannya langsung membuat perutku terasa mual dan kepalaku berputar-putar keras seperti gasing. Seandainya saja bisa, aku ingin segera melenyapkan bayangan-bayangan itu.

Mereka harus pergi yang jauh. Tapi aku tidak tahu bagaimana caranya membuat mereka pergi. Berulang kali aku mencoba membuang mereka, berulang kali juga kutemukan jalan buntu. Aku jadi bingung harus membuangnya ke mana. Kemudian aku menemukan cara lain yang kelihatannya lebih mudah ketimbang membuang-bayangan-ke-tempat-yang-jauh.

Malam itu aku menyalakan lampu kamar. Memukul-mukul kepalaku, sampai satu per satu bayangan keluar. Pertama adalah si hitam gendut yang cengeng. Disusul si hitam berkacamata yang gagu. Dia membawa setangkai bunga sambil mondar-mandir tak jelas. Lalu muncul si hitam berkacamata yang dadanya berlubang kecil. Dia tepuk-tepuk dadanya dengan keras sampai terbatuk-batuk. Dia pandangi juga foto seorang gadis yang tergantung di dinding kamar tempat kami berada. Ketika mereka semua tidak melihatku, cepat-cepat kubuka pintu lalu berlari keluar rumah. Mereka mengejarku. Semakin lama semakin cepat, sampai jarak kami cukup dekat dan aku cemas sekali. Lalu tanpa pikir panjang, aku berbelok arah, menerobos jalanan yang sepi dan lumayan gelap. Lampu jalan yang menyala redup mengaburkan pandangan mereka. Sehingga ketiga bayangan itu menyerah. Mereka semua hilang ditelan malam.

Aku pun berhenti berlari. Rasanya sangat lelah dikejar-kejar seperti itu. Napasku jadi tersengal-sengal sehingga susah bicara. Tapi meskipun begitu aku masih mendengar jelas suara Ibu di telepon.

“Ya Tuhan, kamu dengar itu, Yo? Mereka berisik sekali. Ibu tidak mau tahu pokoknya kamu harus pulang sekarang!”

Telepon ditutup.

Aku langsung mengelus perut yang terasa mual. Lalu kepalaku berputar-putar seperti gasing. Dan bayangan-bayangan itu, sialan mereka! Bagaimana bisa mereka hafal jalan pulang?

***

Bagiku, melihat Mala bagaikan bercengkerama dengan diri sendiri. Tubuh kami sama-sama disesaki bayangan menakutkan, dan kami sama-sama menyerah terhadap bayangan-bayangan itu. Tidak ada jalan untuk membuat mereka pergi.

Tidak sekarang.

Besok.

Ataupun selamanya.

Sebelum ada bayangan yang mengerikan itu, hati Mala telah lebih dulu lebam dipukuli ayahnya. Aku sudah tahu ini sejak lama. Tapi baru sekarang aku mengerti kenapa jantung Mala tertular luka itu, merasakan sakit yang sama, lalu terkadang mati rasa. Sehingga setiap kali ada lelaki yang datang mendekatinya, jantungnya berdegup seperti biasa. Tak menggeliat cepat, apalagi berloncatan.

Sewaktu kutanya kenapa dia menolak semua lelaki yang datang padanya, dia langsung tersenyum getir. Dipandanginya pelangi di atas sana dengan wajah murung. Seolah langit hanya menampakkan kegelapan, tanpa kilau bintang dan rembulan.

“Dulu Ayah juga begitu, dia sering sekali membawakan Ibu bunga. Tapi kamu lihat sendiri sekarang. Hanya duri-duri tajam yang Ayah tanam di hati Ibu,” bisiknya kemudian dengan suara yang bergetar pelan.

Mendengar dia mengucapkan itu, membuat gerimis di mataku nyaris berjatuhan. Mala gadis yang baik. Tapi siapa pun tahu, menjadi baik tak menjamin seseorang akan mendapatkan kehidupan yang baik pula.

Tapi bukan berarti duri-duri yang telanjur tumbuh tak bisa disingkirkan. Bahkan hati yang lebam dan berlubang sekalipun. Kukatakan itu kepada Mala, lalu dia tersenyum tipis.

“Cantik.”

“Apa?”

 “Cantik, bunga itu.” Aku menunjuk bunga teratai yang tumbuh menutupi danau. “Tapi bunga yang ada di festival bunga pasti lebih cantik. Apa kamu mau lihat?”

 “Hm. Kapan?”

“Besok.”

Tak lama ponsel Mala berdering, menghentikan obrolan kami. Ketika dia sibuk memeriksa tasnya, sehelai daun jatuh dari atas pohon yang kami jadikan tempat berteduh. Daun itu jatuh ke rambutnya, tertiup pelan oleh angin, lalu jatuh ke tanah. Di saat itulah aku melihat sesuatu keluar dari tubuh kami.

Bayangan Mala dan bayanganku saling mendekat. Mereka berpegangan tangan dan menyatu. Angin kembali bertiup, mengangkat pelan bayangan besar itu. Kemudian dalam sekali tiupan yang cukup kencang, si bayangan pecah berkeping-keping. Menjelma puluhan kupu-kupu yang beterbangan ke sana kemari. Perlahan hitam mereka memudar. Berganti warna-warni yang cerah. Bersamaan dengan itu, kupandang wajah Mala dengan jantung yang berloncatan.(*)

Malang, 10 Desember 2020

 

Tri Wahyu Utami, penulis dari Kota Malang.

 

Komentar juri:

Penggambaran bayangan sebagai sebuah bentuk kecemasan, membuat di awal membaca cerita ini saya mengira bahwa cerpen ini akan penuh nuansa suram dan kemarahan–sebagaimana lazimnya. Terlebih lagi saat tokoh utama menderita sebab tidak bisa menjauh dari bayangan-bayangan yang akan menggerogoti dirinya. Tanpa diduga, penulis menghadirkan sebuah solusi di bagian ending yang mungkin menjadi pesan sesungguhnya dari keseluruhan cerita ini. 

Sebuah hadiah yang manis, diberikan penulis di bagianending.Saya yakin, banyak pembaca yang tanpa sadar, akan tersenyum kecil setelah membaca sampai tuntas.Sangat menyenangkan.

Freky Mudjiono

 

Tantangan Lokit adalah perlombaan menulis cerpen yang diselenggarakn di grup KCLK.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply