Aku Lupa Rasanya Bahagia

Aku Lupa Rasanya Bahagia

Aku Lupa Rasanya Bahagia
Oleh : Rachmawati Ash           

Jika kamu pernah mendengar pepatah yang mengatakan, bahwa sebagian besar orangtua gagal dalam mengantarkan anaknya mencapai cita-cita, maka akulah salah satu di antara anak mereka. Aku korban obsesi orangtua yang terlalu berlebihan. Ayahku telah mempersiapkan segala sesuatu agar kelak aku menjadi seseorang seperti yang diinginkannya. Ayahku seorang Ajudan Komisaris Polisi yang berbakat dan pemberani. Namanya telah tercatat sebagai pemegang rekor prestasi terbanyak pada angkatannya.

Sejak aku kecil Ayah selalu memanjakanku. Ayah memperlakukanku secara istimewa dibandingkan dengan adik perempuanku. Ayah bisa melakukan segala cara agar membuatku bahagia dan selalu tertawa. Ayah tidak pernah mengizinkan siapa pun  menyentuh atau menyakitiku. Ayah sangat bangga memiliki anak laki-laki seperti diriku.

Sampai pada akhirnya aku sadar, bahwa semua yang dilakukan Ayah adalah semata-mata untuk mencetak pribadiku sesuai harapannya. Ayah tidak pernah mengizinkan aku bermain krayon dan menggambar bersama adikku. Ayah selalu mengganti mainan mobil-mobilanku dengan mainan pistol yang telah dibelinya tanpa sepengetahuanku. Ayah membuang semua mainan favoritku, miniatur beruang pemberian Paman, sepaket mainan dinosaurus hadiah ulang tahunku pun ikut hilang tanpa jejak. Ayah membenci mainan yang tidak berhubungan dengan kegiatan kepolisian.

Jauh sebelum aku masuk ke taman kanak-kanak, Ayah sudah berusaha membentuk karakterku.  Memenuhi kamarku dengan segala benda yang berhubungan dengan senjata militer. Aku masih ingat, Ayah dengan bangga memasang lambang militer di dinding kamarku. Beberapa hari kemudian Ayah menambahkan poster polisi berukuran besar di samping lambang militer yang telah dipasang sebelumnya. Hampir semua mainanku berbentuk pistol, senapan laras panjang, dan teman-temannya.

Usia yang belum genap empat tahun membuatku tidak merasa keberatan dengan apa yang dilakukan oleh Ayah. Hanya saja, aku selalu protes untuk dibelikan mainan yang berhubungan dengan melukis. Aku merasa senang jika ada yang memberikan hadiah buku gambar dan seperangkat alat mewarnai. Pernah, suatu hari Ayah mendapatiku sedang asyik menggambar di kamar. Ayah membuang semua alat menggambarku. Gambar hutan pinus dan beberapa kijang yang hampir selesai, hanya kurang sedikit kutambahkan gradasi kuning di atas pucuk daunnya, Ayah merebutnya dari tanganku dan meremas-remas tanpa ampun. Mulutku menganga dengan mata berkaca-kaca. Ibu segera memeluk dan berusaha membuatku tidak menangis. Saat itu, aku menyadari bahwa kesenanganku adalah menggambar. Aku ingin Ayah memasukkanku ke sekolah melukis. Namun, semua orang tahu, Ayah tidak menginginkan aku menjadi apa pun selain menjadi polisi.

Ibu pernah protes kepada Ayah, bahwa tidak seharusnya memperlakukanku sedemikian rupa. Kamu tahu apa yang dilakukan ayahku? Ya, Ayah memukul Ibu dan masalah ini menjadi awal kesengsaraanku. Ayah menceraikan Ibu. Aku lupa bagaimana cerita itu terjadi, semua begitu cepat dan aku tidak bisa melakukan apa-apa selain menuruti keinginan Ayah.

Sejak saat itu, Ibu pergi dari rumah dengan adik  perempuanku. Kupikir Ibu pergi membawa Laras karena tahu Ayah sangat membenci anak perempuan. Ayah sering membentak Adik dan mengatakan bahwa adikku bodoh dan tidak punya masa depan.

***

Aku meringkuk di bawah pohon beringin, menangis. Aku rindu pada Adik dan Ibu. Aku berusaha mencari mereka, aku ingin mengadu tentang semua penderitaanku. Aku menyesal. Saat mereka pergi aku tidak berusaha untuk ikut. Aku juga ingin meminta maaf karena sempat menuduh mereka pergi karena tidak menyayangiku dan juga Ayah. Kupikir Ibu egois, hanya karena Ayah marah dan memukulnya, Ibu pergi membawa Laras tanpa pulang kembali ke rumah untuk menemuiku. Kupikir Ibu juga ibu egois, sampai pada akhirnya aku tahu, rasa sayang telah membuatnya pergi meninggalkan Ayah dan juga diriku.

 ***

Tiga kali aku gagal mengikuti ujian masuk kepolisian. Ayah marah dan mengutukku. Tanpa berpikir panjang aku pergi meninggalkan rumah. Aku mulai menyadari, bahwa Ayah terlalu terobsesi menjadikanku seperti dirinya. Ayah tidak memedulikan kesenanganku. Sejak kecil Ayah tidak membiarkanku bermain layaknya anak-anak lainnya. Ayah selalu menggembleng fisikku agar berotot dan siap ketika masuk ke Sekolah Polisi.

Mungkin, kepergian Ibu juga karena tidak tahan melihat sikap Ayah yang membeda-bedakanku dengan adikku. Bukan karena Ayah lebih menyayangiku, tetapi Ayah menginginkan anak laki-laki. Anak yang disiapkan menjadi generasi penerusnya. Menjadi penerus obsesinya. 

***

Aku sudah berusaha mencari dan menemukan Ibu beserta adikku, namun sia-sia. Pergi meninggalkan rumah bukan menjadi jalan keluar yang baik untukku. Aku hanya memiliki sedikit teman, tidak mungkin aku berlama-lama menginap di rumah mereka. Aku malu dan canggung jika harus selalu berpindah ke rumah teman satu ke teman lainnya. Tanpa bekal ilmu, uang, maupun baju aku berkeliling kota. Berjalan ke mana pun kaki melangkah.

Lama-lama penampakanku sudah seperti pengemis gembel yang sering kutemui di jalan menuju kantor Ayah. Oh, bisa jadi. Dia seorang sastrawan atau Sarjana Ekonomi yang stres karena tidak mendapat pekerjaan. Atau, anak orang kaya yang kurang perhatian, sehingga memutuskan pergi dari rumah dan mencari kebebasan.

Aku ingin mulai melukis, menjadi seperti idolaku yang bisa hidup bahagia dengan lukisannya. Dulu, aku selalu berangan-angan dapat melanjutkan kuliah di jurusan Seni Lukis. Aku akan bangga mendirikan galeri lukisan. Memasang lukisan Ayah dengan seragam polisi yang gagah dan berwibawa. Aku akan mengundang semua teman Ayah untuk menyaksikan wajahnya yang berkarisma memenuhi ruang galeriku. Juga, lukisan anak-anak yang sedang bermain air hujan di halaman rumahnya. Lukisan kijang dan hutan pinus yang hijau. Aku juga akan membuat lukisan keluarga harmonis nan bahagia, di mana dalam lukisan itu ada Ayah yang sedang memelukku dan Ibu sedang memangku adik kecilku.

Keinginanku hanya sederhana, aku ingin melukis dan menghasilkan sedikit uang untuk makan. Aku tersenyum kecut, bagaimana aku memulai, sedangkan aku tak punya modal untuk mendapatkan alat yang kubutuhkan. Sepertinya aku mulai gila, aku tersenyum pada nasibku sendiri. Aku mulai menentukan manakah yang lebih utama, mencari uang untuk makan, atau mencari uang untuk membeli alat melukisku?

 

Rachmawati Ash. Wanita scorpio yang kecanduan cerita romance. Istri dari Gautama Budi Wahono yang sangat mencintainya.

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata.

Leave a Reply