Aku, Kakek, dan Rahasia Kami
Oleh : Titik Koma
Kulemparkan setangkai mawar ke atas peti mati itu. Tubuh kakekku tersembunyi di dalam sana. Sebentar lagi, tanah basah akan memendam eksistensinya. Segala tentangnya pun hanya tinggal kenangan.
Kasihan Kakek!
Aku jadi ingat saat kunjungannya ke rumah kami Natal tahun lalu. Kakek begitu bersemangat merayakan pesta. Ia menghias pohon cemara sambil bersenandung lagu tahun baru, dan memakai topi Santa saat memberiku sebuah hadiah yang sangat kuinginkan, smartphone model terbaru.
Aku sangat bahagia mendapatkan hadiah semahal itu. Kakekku terbilang berkecukupan dengan tabungan dan gaji pensiunannya. Meskipun begitu, aku merasa tidak enak menerima hadiah darinya begitu saja.
Ibuku juga memarahi Kakek yang saat itu dianggap terlalu memanjakanku.
“Ayah, kau tak seharusnya membelikan El hadiah semahal ini.”
“Kenapa tidak? Aku bisa membelikan cucuku apa pun yang dia inginkan.” Tangan Kakek membelai rambut pirangku.
Sungguh, saat itu aku tak bisa membendung rasa bahagia dan puas bisa memiliki barang yang kuinginkan tanpa bersusah payah.
Kakekku adalah yang terbaik. Meskipun kami sangat jarang bertemu, tetapi aku tahu Kakek sangat menyayangiku.
“Aku tak enak, Grandpa. Tabunganmu harus berkurang untuk hadiah ini,” kataku dengan wajah sendu.
“Ell … Ell ….” Tangan Kakek yang keriput menepuk-nepuk bahuku. “Kau tenang saja, Ell. Sini kuberi tahu sesuatu.” Kakek lalu membisikan rahasianya padaku.
“Benarkah, Kek?” tanyaku penasaran. Bisa saja saat itu Kakek hanya bercanda.
“Ini rahasia kita, Okay?”
Aku tersenyum menanggapi rahasia Kakek yang entah benar atau tidak.
Aku merasa mungkin saja apa yang dikatakan Kakek tidak benar. Aku terus memikirkannya, hingga akhirnya aku pun merasa yakin, benda itu pasti benar-benar ada di sana. Lalu pikiranku menjadi lebih jauh lagi: Seandainya aku bisa memilikinya.
***
Langit di hari pemakaman Kakek begitu biru dan tinggi. Musim panas memang yang terbaik untuk masa liburan panjang sekolahku. Aku memiliki banyak rencana menyenangkan bersama teman-teman. Seharusnya akan tetap jadi hari-hari terbaik jika saja ….
Aah, kasihan Kakek!
Pagi ini, kulihat tubuh kaku Kakek berbalut jas mahal, dan dasi kupu-kupu di lehernya tampak lembap. Pada bagian kerah kemeja putihnya terlihat ada rembasan merah dari leher. Kenapa cairan anyir itu tak juga berhenti mengalir? Padahal luka robeknya sudah dijahit.
Kakekku yang malang. Tiga hari lalu, dia ditemukan tak bernyawa dengan luka tusuk di beberapa bagian tubuh. Menurut dokter dari kepololisian, luka di leher yang dalam menjadi penyebab kematiannya. Kakekku yang malang, padahal tinggal sembilan hari lagi usianya genap 83 tahun.
“Ell ….” Ibu memeluk tubuhku, dapat kurasakan getaran kesedihannya yang mendalam. “Kamu baik-baik saja, Nak? Kakekmu kini telah damai bersama Bapa di surga.”
Aku membalas pelukan ibuku, menepuk-nepuk punggungnya seolah aku sedang menyingkirkan bebannya.
Aku menangis bersama Ibu di bawah terik matahari yang menyengat. Keringatku keluar begitu deras dari balik punggung. Kulitku terasa menghangat. Sepertinya aku mulai kembali normal.
Ibu melepaskan pelukannya. Mata kami saling bertemu. Ibu memiliki warna mata yang ramah, biru cerah, persis sama dengan mata Kakek. Hawa dingin kembali merayapi kulit.
Kasihannya aku ….
Sampai kapan aku kuat menatap mata ibuku?
***
“Kakek masih memiliki sejuta dolar di rumah,” suara bisikan Kakek terus bergaung di kepalaku.
Seandainya aku punya uang sebanyak itu, aku bisa membeli mobil keren, pergi ke konser dan berpesta setiap malam. Membayangkan kehidupan remajaku yang menyenangkan, semua akan terwujud jika aku memiliki sejuta dolar itu.
Aku menceritakan angan-angan kosongku pada teman dekatku, Martha. Dia cantik, popular, dan ratu pesta. Dari semua temanku, hanya Martha yang bisa mengimbangi kegilaanku.
Kami mabuk, mengutil, dan tentu saja menjadi tuan bagi cewek-cewek cupu di sekolah. Aku remaja berusia tujuh belas tahun, aku berkuasa, apa pun bisa kulakukan!
“Apa kurampok saja rumah kakekku?” kataku pada Matha.
Perempuan berambut merah itu tersenyum meremehkanku. “Tentu! Kau bisa memencet bel rumah kakekmu dan berkata: ‘Hai, Grandpa! Aku datang untuk mengambil hartamu.’” Martha terdengar menirukan suara Chpmunk di telingaku.
“Aku pasti akan mengambil sejuta dolar itu!” kataku penuh penekanan.
Kamarku mendadak lengang, hanya sekejap, hingga suara tawa Martha kembali memenuhi ruang.
***
Seminggu setelah perbincangan itu, aku dan Martha berpamitan untuk pergi berlibur beberapa hari ke pantai. Liburan hanyalah alasan saja, aku dan Martha bertekad untuk mewujudkan rencana perampokan itu. Kami meminjam mobil Ron, sepupu Martha, untuk meninggalkan New York dan menuju Hobbs County.
Mobil kami berhenti tepat lima meter dari halaman rumah Kakek. Martha bilang dia ingin mundur. Fuck! Setelah sejauh ini? Aku dan Martha sempat cekcok mulut. Kuputuskan untuk menyelesaikan sendiri.
Dalam kondisi emosi, kubunyikan bel rumah Kakek. Tak berapa lama Kakek membuka pintu dan terkejut mendapatiku berkunjung ke rumahnya. Namun, ia tetap menyambutku dengan hangat.
“Ell Sayang, bagaimana kau bisa berada di sini?” Kakek memelukku dan manarikku masuk ke dalam rumahnya yang sepi. Kakek hidup sendiri semenjak istrinya meninggal delapan tahun yang lalu.
Kakek membawaku ke dapur. Aku harus menyelesaikan ini secepat mungkin. Dengan gerakan lambannya, Kakek membuatkanku teh. mulutnya terus mengoceh seperti suara nyamuk yang mengganggu.
Ketika ia sibuk dengan cangkirnya, kutikam punggungnya yang agak bungkuk dengan belati.
Tubunya berbalik ke arahku, matanya menatapku penuh kebingungan. “What are you doing?” tanyanya terbata.
Kembali kutikam tubuhnya, kali ini kuarahkan belatiku tepat di lehernya. Mata tajam belatiku menancap dalam, mencabutnya kembali ternyata tak semudah mencabut daging panggang dari tusukannya.
Darah memercik ke lantai. Kakek masih menatapku tak percaya, dan dari mulutmya masih menggumamkan kalimat tanya yang sama. Sebenarnya terdengar tak begitu jelas.
Kakek sama sekali tak mencoba untuk melawanku. Ia tutupi luka yang kubuat dengan satu tangan. Lalu dengan langkah gontai ia mencari kotak obatnya, darah semakin merembas deras dari lehernya.
Kakek menemukan plaster. Aku merebutnya lalu membantunya menutupi luka tusuk yang kubuat dengan plaster itu. Ia kembali melangkah ke arah kursi, lalu duduk bersandar di sebelah meja makan.
Aku mengambil kursi lain untuk duduk berhadapan dengannya. Kutatap matanya yang penuh dengan kebingungan. Darah dari lehernya tak bisa dihentikan, cairan itu mengalir hingga kaki bangku dan menggenang di lantai.
Mulutnya termegap-megap, beberapa kali ia batuk darah. Di sela-sela suara napasnya yang pendek, terdengar rintihan di ujung tenggorokannya. Kugenggam jemarinya yang berangsur terasa dingin.
Pada cahaya matanya yang redup, aku masih menemukan makna yang sama, rasa tak percaya dan kebingungan yang tak masuk di akal, lalu aku pun melihat air mata mengalir di pipinya yang keriput.
Dadaku seolah ditonjok-tonjok. Aku agak mual. Rintihan dan gumaman tanya dari mulut Kakek terdengar begitu jelas di telingaku.
“What are you doing?!” tanyanya begitu lirih dan tersirat penuh kesedihan.
Ooh, kasihan Kakek. Dia mati olehku, cucu kesayangannya.(*)
Titik Koma. Penulis sangat mencintai membaca dan Han Seojun. Mari berkenalan lebih dekat di akun FB: Titik Koma.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata