Menikah? Entah kenapa tiba-tiba air mataku menderas setelah mendengar kata itu. Ah, menguping lebih tepatnya. Aku sengaja mencuri dengar obrolan Mama dan Mas Doni dari dalam kamar. Suara mereka di ruang makan yang awalnya pelan berubah menjadi drama pertengkaran. Disusul dengan isakan Mama sayup-sayup tertahan. Dengan begini aku jadi tahu, inilah yang membuat mereka memintaku segera beranjak seusai makan malam tadi.
“Mama hanya ingin kebaikan untuk masa depan adikmu, Don!” suara Mama meninggi, berhenti di antara derai matanya.
“Masa depan Asri, aku yang akan bertanggung jawab, Ma!” Mas Doni keukeuh. Tak kalah keras dengan suara Mama.
“Adikmu itu sudah dua puluh tujuh tahun! Dia sudah pantas untuk menikah, mempunyai keluarga seperti yang lain. Dan kamu? Suatu hari kamu juga akan berkeluarga, nggak mungkin akan bisa terus mendampingi Asri,” ujar Mama bergetar.
“Ma, apa Mama nggak mengkhawatirkan Asri? Dia itu berbeda, Ma ….” Mas Doni masih berusaha membujuk perempuan paruh baya yang melahirkannya itu.
“Apa lagi yang harus dikhawatirkan? Dia pandai memasak, beres-beres rumah, juga terampil menjahit. Mama percaya sama adikmu. Dia pasti bisa menjadi istri dan ibu yang baik. Mama yakin ….” suara Mama sedikit menghilang. Tangisnya mungkin kian menderas. Aku semakin ngilu mendengarnya.
“Tapi bukan begini caranya, Ma! Kita harus ….”
Pyarrr …!
Bantahan Mas Doni tercekat seiring suara yang kubuat dari kamar. Sebuah gelas sengaja kulemparkan ke lantai, luapan emosiku atas apa yang terjadi di luar. Aku benci teriakan. Aku benci pertengkaran. Batinku tergugu menahan sesak.
Sejenak kemudian hening. Lalu langkah-langkah kaki tergopoh sampai di depan pintu kamarku. Tanpa permisi pintu itu dibuka, wajah Mama dan Mas Doni menyembul bersamaan.
“Maafkan Mama, Sayang. Biar Mama bersihkan, kamu istirahat, ya!”
Mama menghampiri cemas, mendudukkanku yang sebelumnya mematung di samping tempat tidur. Lantas membelai gerai panjang rambutku dengan sayang. Aku bergegas berbaring, mencoba memejamkan mata untuk melupakan semuanya.
***
Gemericik hujan terdengar berisik. Tempiasnya menerobos titik demi titik tepat di depan jendela yang kubiarkan terbuka. Sesekali angin mengantar hawa dingin, menerobos masuk. Kueratkan sweater lusuh tanpa kancing yang tengah kupakai. Mendekapnya penuh untuk menghalau gigil.
Aku masih terdiam menatap keluar. Hujan masih sama seperti tadi. Hanya rintik kecil, jatuh satu-satu dengan gemerisiknya yang syahdu. Di seberang jalan terlihat segerombol anak bermain bola. Menendang tanpa arah. Tanpa peduli basah kuyup atau kedinginan. Mereka riang dalam tawa. Menikmati genangan air dengan asyiknya. Entah orang tua mereka tahu atau tidak. Padahal hari sebentar lagi petang.
Ingatanku kembali pada puluhan tahun silam. Saat kakiku mungkin sekecil kaki mereka. Tapi sayangnya, aku tak selincah dan seriang itu. Hari-hari yang kujalani seringkali terlewati dalam sepi. Tanpa teman, tanpa canda dan keramaian selayaknya anak-anak.
“Asri ….”
Tiba-tiba Mama sudah ada di belakangku. Aku tergagap. Kaget bukan main. Sebuah foto dalam genggaman buru-buru kusembunyikan di balik sweater.
“Mama mau bicara sebentar, boleh?”
Aku mengangguk. Tanpa ekspresi.
“Hujannya mulai deras, jendelanya nggak ditutup?” Mama memulai basa basi. Aku menggeleng, tanganku mengisyaratkan “jangan”.
“Baiklah, Mama mau bicara sesuatu. Tamu yang tempo hari nggak jadi ke sini, rencananya nanti malam akan datang. Mereka ingin menemuimu. Bagaimana, apa kamu sudah siap?”
Kalimat Mama serasa lebih dingin dari udara di luar. Sejenak aku merasa semakin gigil. Beku. Tak tahu kalimat yang pas untuk kuucapkan. Dan tiba-tiba saja mataku basah. Hujan berpindah ke mataku.
“Sayang, kamu kenapa menangis?” Perempuan senja itu sontak memelukku. Aku justru malah semakin sesenggukan.
“Kita sudah pernah bicarakan ini, kan. Dan kaubilang menyetujui. Lantas apa yang membuatmu berat sekarang?” ujarnya parau sembari mengusap-usap punggungku.
Aku mengangkat kepala. Memandang matanya yang terlampau teduh. Sudah terlalu banyak air mata yang disembunyikan di sana. Air mata untukku. Untuk hidupku selama puluhan tahun ini. Ya, dialah ibu terhebat yang pernah kutemui. Perempuan tangguh meski tanpa Papa.
Tadinya aku menyetujui perjodohan yang dirancang Mama. Karena mungkin itu salah satu hal yang akan membuatnya bahagia. Karena bagiku sudah cukup pengorbanannya selama ini. Sudah saatnya aku yang mengembangkan senyumnya.
Tapi bagaimana dengan gemuruh hatiku yang tak menentu ini? Di sisi lain aku begitu ragu. Apakah setelah hidup dengan orang baru yang sebelumnya tak kukenal akan membuatku lebih bahagia dari sekarang? Sedang Mama sendiri pernah bilang. Dia hanya akan bahagia jika melihatku bahagia.
Deru hujan di luar terdengar jelas. Sepertinya mulai kian menderas. Sama halnya air mataku sekarang.
***
Asri Kesuma Wulandari.
“Nama yang indah,” ucap seseorang waktu itu. Seseorang tempatku berbagi banyak cerita saat di asrama dulu.
Ya, sejak usia delapan tahun aku tinggal di asrama. Kata Mama itu asrama khusus untuk anak-anak istimewa. Di sana aku akan punya teman-teman baru yang baik, tidak akan menggangguku seperti teman-teman di rumah. Bahkan aku bisa memulai mimpi baru dan menjadi anak pintar.
Aku sedikit sulit memahami kata-kata Mama. Apa itu mimpi dan menjadi anak pintar? Sebelumnya aku memang belum pernah bersekolah. Aku hanya bisa memandang anak-anak sebayaku berjalan riang dengan pakaian merah-putih. Kata Mama mereka pergi ke sekolah. Tapi setiap aku merajuk hendak ikut, Mama selalu menggeleng. Bahkan sampai tangisku meraung-raung hingga mengundang banyak mata menyelinap di balik pagar.
“Nanti kamu akan sekolah, Sayang … tapi tidak dengan mereka,” bujuk Mama menenangkan. Tapi masih saja, tangisku tak mudah berhenti.
Sampai akhirnya lambat laun aku menyadari orang-orang sering menatapku dengan pandangan tak biasa. Bahkan terkesan sama sekali tak ramah. Banyak anak membicarakanku, mengejek, kadang menertawakan tanpa kutahu alasannya. Mereka tak mengizinkanku ikut bermain atau sekadar melihat dari dekat.
“Pergi sana! Jangan ikut kami!”
“Jangan dekat-dekat, kamu jorok begitu!”
“Hahaha … dasar idiot!”
Berbagai kalimat kasar diarahkan padaku. Tidak hanya sekali Mama memarahi mereka demi membelaku. Kadang sampai menimbulkan pertengkaran dengan para orang tua. Mungkin benar kata Mama, aku berbeda. Meski aku tak benar-benar tahu apa yang membuatku berbeda.
Hingga sampailah aku di asrama. Dari sini aku merasa inilah duniaku. Merekalah teman-temanku. Teman bermain, belajar, berbagi, tanpa ada yang saling mengejek, menertawakan atau mengucilkan seperti kejadian di rumah. Ya, di sini aku bisa tertawa lepas.
Aku juga bisa berseragam cantik seperti yang pernah kuimpikan. Menyandang tas dan bersepatu pita. Indah sekali. Hanya dengan berjalan kaki dari kamar asrama aku bisa sampai ke sekolah. Senang sekali rasanya.
Seminggu sekali Mama rutin mengunjungi. Kadang-kadang bersama Mas Doni. Papa? Entahlah, wajahnya hanya bisa kulihat dalam bingkai foto. Sesekali Mama mengajakku ziarah ke makamnya.
Kutemui pula sosok baru yang mewarnai hariku. Agam. Anak yang usianya lebih tua dariku. Bersamanya, lambat laun asrama ini menjadi tempat yang begitu istimewa. Agam, ya dialah seseorang itu.
Seiring bertambahnya usia ada rasa berbeda yang berkecamuk di hati kami. Serasa saling bertaut. Entah kami pun tak mendefinisikan khusus apa perasaan itu. Meski orang-orang memandang kami sebelah mata, tapi bukankah Tuhan juga menitipkan hati kepada kami?
Ah, tetapi belum sempat perasaan itu tumbuh subur dan mengembang, Mama tanpa kompromi sebelumnya menjemputku dari asrama. Aku tak punya kekuatan menolak, sedang Agam pun tak punya nyali untuk mencegah.
***
Hujan masih rintik-rintik. Suaranya riuh redam berderai. Sebentar-sebentar timbul tenggelam. Sepertinya masih lama untuk benar-benar reda.
Mama sibuk di dapur menyiapkan keperluan untuk tamu malam ini. Aku hanya membantu seperlunya. Perasaan yang kacau membuatku tak bersemangat.
Mas Doni masih belum beranjak dari laptopnya. Dari awal dia keukeuh menolak perjodohan ini. Dia belum sepenuhnya yakin untuk melepasku. Cintanya memang terlalu sempurna. Ah, sebenarnya aku sudah cukup bahagia dengan adanya mereka. Tak perlu orang lain. Tapi ucapan Mama yang panjang lebar sedikit membuatku mengerti. Bahwa aku juga harus menikah. Mungkin sihir itu juga yang disampaikannya pada Mas Doni sehingga dia pun akhirnya melunak.
Suara deru mobil menghentikan aktivitas kami. Mama sigap menyambut. Dengan segera ia berjalan ke arah pintu.
Benar saja, mereka yang datang adalah tamu yang sedari tadi ditunggu. Tiga orang menyapa kami dengan salam. Mama begitu ramah mempersilakan mereka duduk. Dan sesuai skenario, setelah menyalami mereka aku beranjak menuju dapur. Membawakan nampan berisi minum.
Aku datang dengan tubuh gemetar. Mas Doni menyambut dan mendudukkanku di sampingnya.
“Oh, ini Asri, ya?” tamu perempuan seusia Mama menyapaku.
“Eee, ya, iya …,” gagapku dan refleks menggigiti ujung jemari.
Mama menggeleng senyum ke arahku. Isyarat bahwa yang kulakukan tidaklah baik. Tapi sejurus kemudian kupilih ujung jilbab, memilinnya diam-diam.
“Dodo, itu … Asri sudah datang,” ujar perempuan itu kepada lelaki bertubuh bongsor di sampingnya. Mungkin anaknya. Dia sontak berdiri dan bertepuk tangan seraya mengangguk-angguk. Mata bulatnya melotot ke arahku. Lalu mengulurkan tangan, mengajak bersalaman. Sikapnya sudah tak asing bagiku, karena sering kujumpai selama di asrama.
Jadi, dialah alasan pertemuan malam ini.
Kemudian mereka semua bicara banyak. Dan tentu saja tak semuanya bisa kupahami. Hanya aku sendiri yang diam, Mas Doni hanya bicara seperlunya. Sedang Dodo, tak henti-hentinya makan snack yang disajikan.
Tiba akhirnya semua orang menatapku. Perempuan yang menyapaku tadi menanyakan hal yang kemarin juga ditanyakan Mama. Aku hanya menunduk. Gugu. Jari-jari yang kugigiti gemetar hebat. Kukerahkan seluruh keberanian untuk menggelengkan kepala. Kuraih saku. Lantas mengambil sesuatu di dalamnya.
Kuletakkan selembar foto di atas meja. Foto lusuh bergambar Agam. Aku tak tahu kalimat yang harus kuucapkan. Cukup selembar foto itu.
Mereka lantas terdengar ribut. Saling cercau tak karuan. Aku semakin bingung. Dan akhirnya Mas Doni meraih pundakku. Menuntunku menepi ke dalam kamar. Suara bising di luar lamat-lamat berhenti. Lalu hilang bersamaan deru mobil. Tinggal isakan Mama yang masih tersisa.(*)
Nishfi Yanuar, penyuka pelangi dan senja. Beberapa coretan cerpen, puisi, dan artikelnya tergabung dalam buku-buku antologi, majalah cetak dan online. Bisa dihubungi di akun Facebook Nishfi Yanuar, atau IG @nishfiyanuar.
Cerpen ini terpilih sebagai nominator pada KCLK (Kompetisi Cerpen Loker Kita) untuk minggu ke-3 Februari.
Selebihnya tentang KCLK, mari bergabung ke grup kami:
Grup FB KCLK (semua info penting ada di sini)
Halaman FB kami:
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan