Aku Ingin Pulang
Oleh: Siti Nur
Terbaik ke-9 lomba Melanjutkan Cerita
Aku memandangi sekawanan lalat yang mengerubungi roti di atas meja dan tak bisa kutahan diriku untuk mengingat kejadian lima tahun lalu. Melalui sambungan telepon, seseorang mengatakan jika aku ingin kembali, pintunya selalu terbuka sekalipun dengan kunci yang telah kupatahkan. Setelahnya, kudengar terjadi keributan kecil di seberang, lalu suara berganti caci maki dan menyumpahi bahwa aku tidak akan hidup tenang selama masih berdiam dalam kesalahpahaman.
Aku tidak ingat, sudah berapa lama mengasingkan diri. Kiranya kepergian ketika itu adalah keputusan terbaik. Bukankah aku berhak menentukan hidupku sendiri? Bukankah lebih baik pergi daripada memupuk benci? Namun pada kenyataannya, keputusan tergesa-gesa itu hanya berbuah kekosongan jiwa yang tak berkesudahan. Aku menyesal.
Salju tipis menerpa kaca jendela kamar yang aku sendiri pun tidak peduli berada di lantai berapa. Pada musim dingin, orang-orang biasanya mengurangi aktivitas di luar ruangan. Ketika itulah kekosongan semakin membabi-buta menghantam jiwa, mata, telinga, dan kepalaku. Juga seakan-akan ada perasaan ganjil yang mengentak-entak dalam rongga dada.
Seluruh tubuhku meremang. Tiba-tiba saja aku begitu merindukan seseorang dan ingin pulang. Rasanya aku telah melakukan kesalahan besar kepadanya. Siapa dan kesalahan apa? Lagi-lagi aku tidak mampu mengingatnya. Sejak telepon terakhir lima tahun lalu itu, aku seperti kehilangan segalanya.
Sepotong roti gandum dan secangkir minuman yang katanya bisa menghangatkan badan segera kuhabiskan. Dahulu, cairan beraroma menyengat itu sangat pantang kudekati.
Hari itu aku melakukan aktivitas yang monoton. Pergi ke tempat kerja dan entah apa lagi. Di balik kemudi, aku melihat jalan bersalju itu lengang, membawa angan berkelana ke mana-mana. Pada kebencian, pada rasa bersalah, dan masih banyak lagi.
Begitu tersentak, tubuhku telah terbaring di atas kasur empuk dan dipan jati. Wangi kamar ini amat familier. Kuedarkan pandangan, warna dan motif gorden cukup akrab di mata, tetapi tidak ada salju di kaca jendela seperti yang kulihat terakhir kali. Ruangan ini juga jauh lebih hangat dari yang kurasakan sebelumnya. Aku berusaha bangkit, tetapi kedua kaki tidak bisa digerakkan.
Aku masih beradaptasi dengan penglihatan yang terasa buram dan bergoyang ketika sesosok lelaki sepuh berpeci putih muncul di balik pintu berukir. Di belakangnya, lelaki yang kutaksir usianya tidak jauh denganku mengikutinya dengan membawa kursi roda.
Lelaki sepuh itu duduk di sisi ranjang dan tersenyum. “Tidak apa-apa, dia akan membantumu.” Ia melirik kepada orang di sebelahnya, lalu pergi meninggalkan kami berdua.
“Tidak usah sungkan, Mas. Saya perawat yang bekerja pada Bapak. Mari saya bantu bangun!” katanya.
Aku menerima uluran tangannya meskipun masih menerka-nerka siapa dua lelaki ini, serta apa yang telah dan sedang terjadi. Keresahanku perlahan luntur. Dan sesuatu yang mengganjal di rongga dadaku itu seakan-akan menguap begitu saja. Hilang tak bersisa.[]
Pembangunan, 24 Juni 2024
—
Komentar juri, Berry:
Dalam setiap perlombaan, kami selalu menyediakan tempat untuk genre-genre baru, atau ide-ide baru untuk mengisi kuota nominasi naskah pilihan. Itu perlu, karena keragamanlah yang membuat aktivitas mebaca cerita menjadi lebih menyenangkan. Sepuluh cerpen realis-drama dengan kesan yang tak jauh beda, meskipun tetap bagus, tidak selayaknya diterima semua. Dengan banyaknya tipe demikian, seharusnya semakin selektif ia dinilai untuk bisa masuk ke dalam jajaran pilihan. Karena ada satu hal yang kurang dari mereka, yaitu “kreativitas”. Keberanian untuk menyajikan sesuatu yang berbeda, yang menyegarkan untuk pembaca.
Meskipun tidak memberikan kualitas yang cukup kuat ketika dibaca secara menyeleuruh, tetapi dengan genre surealisnya, atau mungkin hanyalah “dunia ingatan yang kabur” dari si tokoh utama, membuat cerpen ini paling tidak terasa lebih menonjol dari tipe-cerita-umum yang lain.
Event lomba Melanjutkan Cerita ini diselenggarakan di grup facebook Komunitas Cerpenis Loker Kata.