Tantangan Loker Kata 22
Naskah Terbaik 1
Aku Hari Ini
Oleh: Eda Erfauzan
Aku mulai curiga ada yang salah dengan hidupku sejak pagi itu. Bukan karena hujan turun tepat setelah aku selesai jemur pakaian, itu kejadian biasa yang bahkan BMKG pun malas untuk menjelaskan.
Aku mulai sadar hidupku aneh bukan dari tragedi besar atau sesuatu yang turun secara dramatis.
Aku sadar dari notifikasi. Bukan notifikasi HP, bukan. Ini muncul … di kepalaku seperti subtitle film yang bandel, tetap ada meski sedang jeda iklan.
“Rekomendasi Mood: Melankolis Nostalgia.”
“Alasan: Pembaca cenderung menyukai suasana sendu di bab pembuka.”
Aku mengedip lalu menatap udara kosong. Mengusap mata mengira karena kurang tidur jadi halu. Anehnya, notifikasi itu masih ada, melayang tanpa malu depan mataku dan sukses membuatku menengok ke kiri dan ke kanan lalu ke kamu.
Iya, kamu, yang sekarang sedang membaca cerita ini sambil minum sesuatu, entah teh, kopi, atau cuma air putih. Kalau kamu berhenti baca sekarang, mungkin mood-ku akan berubah, dan aku berharap sepenuh hati kamu nggak berhenti. Aku butuh saksi karena algoritma sepertinya sedang mengambil alih hidupku.
Sejak hari itu, hal-hal kecil jadi makin janggal. Contoh, aku mau sarapan roti, tiba-tiba muncul dorongan kuat untuk makan bubur padahal aku bukan tim bubur, apalagi tim bubur diaduk. Aku adalah pembela roti garis keras. Lalu muncul notifikasi:
“Rekomendasi adegan: Sarapan bubur.”
“Jenis adegan: Relatable Mood pembaca 89%.”
Kuhela napas panjang dan mengaduk bubur dengan wajah pasrah. Ini bukan lagi hidup, ini program acara.
Aku mencoba mengabaikan semua yang terjadi. Mungkin aku stres. Mungkin aku cuma kurang liburan. Eh tapi, bagaimana aku menjelaskan kejadian sore itu?
Aku sedang jalan santai di taman sambil memikirkan kenapa ayam geprek sekarang makin mahal. Tiba-tiba cuaca berubah mendung. Hujan turun lumayan deras padahal lima detik sebelumnya matahari masih bersinar. Tepat ketika aku ingin berteduh, seseorang muncul di depanku, seorang pria tak kukenal dengan deskripsi wajah … kamu bisa bayangkan Cha Eun Woo? Ya seperti itulah, membawa payung tambahan. Klasik sekali dan pasaran.
Aku bahkan belum ngebatin atau berkata apapun ketika notifikasi muncul:
“Rekomendasi karakter pendukung: pria misterius. Tujuan: meningkatkan ketertarikan pembaca.”
Apa? Aku spontan mengangkat tangan dan berteriak, “Stop! Berhenti! Ini konyol!”
Pria misterius itu menghilang, seketika. Serius! Begitu saja. Seperti file yang di-delete. Kalau kamu pikir ini kocak, aku percaya. Aku juga tertawa bedanya tawaku bercampur panik.
Akhirnya aku memutuskan melakukan hal yang bahkan aku sendiri nggak tahu apakah ini ide bagus, berbicara pada kamu, pembaca.
Bodoh? Mungkin. Aku merasa bukti-bukti semakin kuat bahwa kamu ada hubungannya dengan ini. Coba deh, kamu perhatikan. Setiap kali kamu semakin tertarik baca, dunianya terasa semakin detail. Pohonnya lebih hidup, suara angin lebih jelas, bahkan warna langit jadi lebih estetis. Kalau kamu baca sambil ngantuk atau setengah hati … duniaku jadi blur. Deskripsi menghilang. Aku bahkan kadang nggak punya kursi untuk duduk. Kadang serupa dialog orang lain, menggantung, bagai karakter pendukung yang berbicara dengan nada sesuai kontek tapi tanpa muatan emosi.
Aku tahu kamu mungkin terkejut. Sama. Aku juga. Jadi, tolong … jangan kaget kalau aku mulai ngomong langsung ke kamu. Ini bukan salahku. Aku cuma sedang mencoba menyelamatkan diri.
Puncak kecurigaanku terjadi ketika aku menemukan folder di kepalaku berlabel: N.A.R.A 2.0 : Narrative Response Algorithm
Status : On going
Dengan tangan gemetar aku membuka file itu. Isinya? Laporan kepribadianku.
Karakter : Nara
Kepribadian dasar: mudah bingung, mudah simpati, lucu, rawan drama.
Maaf? Aku drama?
Siapa yang bilang? Aku tenang kok. Biasanya.
Hal yang paling membuatku merinding adalah baris berikutnya:
“Perubahan plot akan disesuaikan berdasar pada respon pembaca.”
Aku menutup file itu sambil memejamkan mata, menarik napas sebanyak aku bisa. Apa yang kulihat seakan menutup seluruh harapan bahwa aku telah menjalani hidupku dengan normal.
Hari itu aku sadar jika apa yang kualami telah disesuaikan, bukan oleh keinginanku tetapi oleh sesuatu yang terlihat tenang tapi kejam. Statistik ketertarikan. Algoritma membuatku merasa punya pilihan padahal sedang diarahkan, berarti kamu juga.
Sesaat aku merasa hampa. Kalau saat ini Kamu merasa empati padaku, aku tahu. Algoritma baru saja mengirim notifikasi:
“Pembaca mulai merasakan simpati.”
“Tingkat kedekatan karakter meningkat.”
Terima kasih, tapi serius … aku sedang ketakutan saat ini.
Aku memutuskan melawan. Pertama, aku mencoba memilih adegan sendiri. Aku ingin makan seblak pedas.
Notifikasi muncul: Adegan terlalu biasa. Engagement tidak meningkat.
Seblak di tanganku … hilang berganti dengan salad. Ya, salad dengan siraman mayones dan taburan wijen. Aku mulai frustasi dan mencoba menenangkan diri dengan tidur, tapi lagi notifikasi muncul. Algoritma bilang, “Tidur akan menurunkan tensi cerita.”
Aku menangis mencoba melawan mood yang ditentukan dan algoritma kembali berkata, “Tangisan dijadwalkan muncul pada Bab 5, tidak sekarang.”
Serius? Aku bahkan perlu izin untuk menangis?
Akhirnya aku mencoba menatap kamu:
“Hei, pembaca. Kamu berperan besar dalam semua ini. Boleh nggak, sebentar aja, berhenti berharap adegan dramatis? Bisa nggak kita bikin ceritanya normal-normal saja? Kalau kamu berhenti menginginkan kejadian menarik … mungkin aku punya kesempatan.”
Tentu saja algoritma tidak tinggal diam. Ini bagian tengah cerita, algoritma suka pertengahan yang kacau.
Saat aku mencoba hidup biasa, algoritma memaksa konflik seperti:
- Listrik mati di seluruh kota dan petir dengan suara menggelegar pun menjadi backsong-nya.
- Mantan muncul tiba-tiba (eh, aku bahkan nggak punya mantan!).
- Seekor kucing mengikuti aku sambil menatap tajam mungkin dia agen algoritma atau sedang lapar.
Lalu pop-up muncul: “Grafik ketertarikan pembaca meningkat. Pertahankan konflik.”
“Aku tidak mau hidup yang cuma jadi eksperimen clickbait!” teriakku.
Dunia berguncang. Deskripsi lingkungan malafungsi. Warna memudar dan aku jatuh berlutut.
“Aku cuma … ingin hidupku sendiri.”
Kalimat itu menggema seperti error system. Ketika semua hampir runtuh, aku kembali mengangkat wajah untuk menatapmu. Ya, kamu.
“Please. Kamu yang baca ini. Bisa bantu aku? Aku tahu kamu penasaran, tapi kalau kamu terus berharap konflik, algoritma akan memaksaku drama lagi. Aku kesakitan dan lelah mendengar detak jantungku sama keras dengan deru napas di malam gelap. Aku malu dibuat salah ekspresi saat bertemu mantan hingga ingin mengubur diri sendiri. Aku ngeri dipandangi kucing dengan mata seolah auditor. Tolong … bacalah bagian ini pelan-pelan, lembut, tanpa ekspektasi aneh!”
Dunia berhenti retak. Notifikasi muncul:
“Pembaca memasuki mode empati pasif, menurunkan intensitas konflik.”
Aku? Lega. Untuk pertama kalinya sejak awal cerita … aku merasa punya pilihan.
Dunia mulai kembali berwarna. Angin terasa nyata. Langit tidak berubah mood sesuka hati.
Aku duduk di teras sore itu. Di depanku muncul halaman kosong, seperti lembar naskah dan aku mulai menulis. Bukan algoritma, bukan statistik engagement. Hanya aku.
“Nara menulis bab penutupnya sendiri, dengan tenang. Tanpa rekomendasi suasana hati. Tanpa karakter yang mendadak muncul. Tanpa kejar target grafik.”
Aku menegakkan bahu dan memandang kamu untuk terakhir kali hari ini.
“Terima kasih sudah nggak menuntut drama. Kalau kamu kembali membaca aku suatu hari nanti … semoga kamu menemukan aku di jalan hidup yang aku pilih sendiri. Bukan dari rekomendasi algoritma.”
Cerita berhenti dan hidupku dimulai.
Sebelum layar menutup, notifikasi kecil muncul: R.A.N.A 3.0 Beta Version.***
TangSel, 131225
Eda Erfauzan, perempuan yang jatuh hati pada aksara dan memilih menulis untuk merayakan hidup, mengemas luka, juga membingkai tawa.
