Aku dan Takdir

Aku dan Takdir

Aku dan Takdir
Oleh:
Aisyah Rizkyana Ramadhani

Masih teringat beberapa tahun yang lalu, ketika seorang pria tua dengan spidol hitam di tangannya sedang menerangkan kepadaku. Bukan aku saja, namun kepada murid-murid lainnya. Pria tua yang kusebut “Guru” itu menceritakan tentang takdir dengan sangat menarik.

“Kalian tahu, anak-anakku. Sebelum roh kalian masuk ke dalam janin, roh kalian telah diberi tahu oleh malaikat mengenai takdir,” ujar guruku dengan penuh antusias menceritakan mata pelajaran agama.

Kami pun tak kalah tergiur akan cerita-cerita beliau. Beliau sungguh memberikan cerita-cerita sejarah Islam dengan caranya yang menarik.

“Allah SWT dan para malaikat-Nya, memberi tahumu akan siapa wanita yang akan menjadi perisai dalam hidupmu? Siapa laki-laki yang akan memberikanmu kekuatan dalam hidup? Dan, bagaimana perjalanmu di dunia itu?”

Guruku itu berhenti sejenak. Ia menuju kursi dan mengambil sebotol air mineral. Ia meminum air itu, sambil memandangi kami yang menunggunya untuk kembali bercerita.

Tiba-tiba, dalam keadaan yang masih hening itu, sebuah tangan terangkat menjulang tinggi. Tangan yang sedari tadi merasa bergetar. Tangan itu milik seorang anak laki-laki yang duduk di pojok belakang kelas.

“Pak, bolehkah saya bertanya?” tanya anak itu. Anak yang semasa itu masih tampak polos dengan berjuta pertanyaan dalam dirinya. Anak yang paling menyesal dengan sesuatu yang bernama takdir.

Guru pun segera berdiri. Ia memandang sejenak wajah anak laki-laki yang memiliki banyak keingintahuan. Mengangguk dan mempersilakan anak laki-laki itu bertanya.

“Jika roh kita sudah diberi tahu oleh para malaikat mengenai takdir, mengapa kita tidak bisa mengingatnya? Mengapa kita harus menunggu takdir itu datang?” kata anak laki-laki itu.

“Siapa namamu, Nak?”

“Rizki, Pak.”

“Rezeki. Rezeki yang diberikan Allah untuk keluargamu. Nama yang indah, Nak. Kalian lupa, anak-anak? Yang diberi tahu oleh Allah dan malaikat adalah roh-mu, bukan jasadmu. Setelah roh kalian mendengar takdir-takdirnya, para malaikat segera membawa kalian ke dalam jasad. Dan dalam jasad itulah, kalian lebih mengingat dengan pikiran dan otak—”

“Lalu, Pak?”

“Sebentar, Nak. Kau sangat terburu-buru sekali!!”

Murid-murid lainnya tertawa mendengar Guru berbicara. Intonasinya yang cepat membuat kami selalu tertawa. Ia sungguh seorang guru yang menarik.

“Takdir itu, bukan hanya ditunggu. Tapi, harus diubah. Ingatlah!” ucapnya sambil tersenyum melihatku yang bengong mendengarnya.

Itulah hari terakhir yang dapat aku ingat di masa pendidikan yang terhenti. Hari terakhir, di mana aku bisa duduk di kursi yang membuat badan pegal. Yang mana aku akan meninggalkan kenangan manis bersama teman-temanku di sekolah. Dan, menghilangkan beribu suka duka dalam sekolah yang tercinta. Iya, aku adalah anak laki-laki yang penuh tanya. Namaku adalah Rizki.

***

“Bu, kita mau ke mana?” tanya adikku yang tampak lelah itu.

Ibu hanya memandang adikku yang bungsu itu. Ia menghiraukan rengekan-rengekan yang keluar dari mulut adikku.

“Bu, aku lelah!” ujarku yang sedari tadi mengangkat kedua buah tas dan menggendong adikku yang lain.

“Dasar lemah! Apa gunanya Ibu memiliki anak laki-laki lemah sepertimu?” ucap Ibu yang tak begitu lama langsung meremukkan hatiku.

Aku menunduk mendengarnya. Adik bungsuku terkejut dan menangis sambil memegangi bajuku. Ia tampak takut melihat ibu kami yang sudah terlalap api amarah. Tak pernah pun  aaku mendengar ucapan itu terlontar dari mulutnya. Sekalinya ia marah, ia selalu diam ataupun menunjukkan raut wajahnya yang dingin.

“Kita istirahat di sini,” ucap ibu sambil menurunkan adikku yang berada digendonganku.

Aku memandang tempat yang kumuh ini. Puluhan kardus tercecer menutupi tanah di bawahnya. Rumah-rumah dari kardus berjejer tak beraturan, serta bau sampah menyengat membuat hidungku mati penciuman.

“Kotor sekali, Bu. Mengapa tidak di tempat lain?” Aku memandang kedua adikku yang menutup kuat hidungnya.

“Hei, jangan sampai kalian lupa bernapas!” kata Ibu yang memandangi kami.

“Bu?”

“Mengapa kau berisik, Ki? Ini sekarang rumah kita!” ucap Ibu sambil memegang pundakku. Matanya melotot penuh amarah.

“Ayo ke sana!” ujarnya sambil mengajak kami masuk ke dalam perkampungan kardus itu.

Inilah rumahku sekarang. Rumah yang goyah jika tertiup angin. Rumah yang penyok jika kami tak sengaja bersandar. Dan, rumah yang begitu sempit dari rumah kami sebelumnya, ketika bersama Ayah.

“Ki … ayo ke sini!” panggil Ibu dari luar rumah.

Aku bergegas keluar dengan perlahan dan membiarkan kedua adikku makan sendiri.

“Iya, Bu?” tanyaku yang melihat Ibu bersama seorang pria yang tampak kaya raya.

“Ini namanya Pak Joy. Dia teman Ibu,” jawab Ibu sambil menyuruhku membungkuk kepadanya pria di hadapannya.

“Aku Rizki, Pak!” kataku memperkenalkan diri.

“Kamu cocok sekali. Apa kamu mau keluargamu kaya?” tanyanya yang tersenyum memandangi kepolosanku.

Aku menggeleng. Ibu dan Pak Joy terkejut melihat reaksiku.

“Kenapa, Nak? Ibumu sudah bekerja denganku, kenapa kamu tidak mau?” tanyanya lagi.

Aku melotot mendengar perkataan orang itu. Bekerja? Apa yang dapat Ibu kerjakan bagi orang yang tampak kejam seperti dia? Aku terdiam.

“Ki, apa jawabanmu?” tanya Ibu.

“Tidaaak! Lebih baik Rizki jadi miskin selama-lamanya!” teriakku sambil memandang wajah orang itu. Ia terlihat licik sekali.

Pak Joy tertawa memandangiku. Ia mengangguk dan memegang pundakku yang tegap.

“Tapi, Ki. Kalau kau tak mau bekerja dengannya, maka kau akan kehilangan Ibu selama-lamanya juga,” kata Ibu yang dirangkul oleh orang yang bernama Pak Joy itu.

“Ibu …? Lepaskan pelukan itu!” ujarku yang berusaha melepaskan tangan kotor pria itu dari ibuku.

“Ibumu adalah milikku. Kalau kau tak mau ikut dengan kami, maka kau akan kehilangan Ibu!”

“Ibu … memilih dia? Bagaimana dengan kami?” ujarku yang menangis melihat orang itu semakin erat memeluk Ibu. Ibuku tersenyum.

“Ibu tidak ingin susah, Nak. Ibu dibesarkan dalam kemewahan, dan Ibu tidak mau hidup dalam kesusahan seperti ini.”

“Lalu, mengapa Ibu membawa kami meninggalkan Ayah?” kataku dengan penuh amarah. Ada kekesalan dalam hatiku yang harus aku luapkan untuk ibu. “Aku tidak mau berhubungan dengan orang jahat seperti kalian!”

Aku bergegas masuk ke dalam rumah kardus kami. Aku meninggalkan Ibu yang telah mengkhianati hati kami. Ibu yang telah menjauhkan kami dengan Ayah yang begitu tegar mengurus kami. Aku sadar saat itu, bahwa Ibulah yang membuat Ayah naik pitam untuk melukainya. Dan Ibulah yang membuat Ayah yang tak berdosa harus terkurung di balik jeruji.

“Kak, mana Ibu?” tanya adikku yang berusaha berdiri dengan kedua tongkat penopangnya.

“Ibu sudah pergi, sekarang kita yang ada di sini!” kataku yang memberikan pengertian kepada mereka.

Adik bungsuku berlari memelukku dengan erat. Dan adikku yang satunya ikut memelukku juga.

“Takdir dapat berubah! Ubahlah takdir dan tunjukkan keberhasilanmu,” tekadku.

***

Bulan telah berganti dan mengubah kehidupan kami menjadi lebih baik. Aku dan kedua adikku mengunjungi Ayah yang masih terkurung dalam ketidakbersalahannya. Kami sudah mulai melupakan kenangan dalam rumah kardus itu. Adik-adikku begitu bahagia bertemu dengan sosok yang membuat kami selalu kuat. Kami memang bahagia, tapi kesedihan masih mengikuti kami saat merindukan Ibu yang telah menghilang.

“Rizki, anakku. Rezeki yang diberikan untuk kebahagiaan adik-adikmu,” kata Ayah yang mengusap air mataku.

“Yah, maaf bila aku dan adik-adik pernah berpikir hal buruk tentangmu,”

Ayah mengangguk.

“Baiklah, aku dan adik-adik akan datang besok lusa. Aku akan bekerja sekarang. Biarlah hanya office boy, yang penting mampu membahagiakan adik-adik,” kataku kepada Ayah.

Aku segera keluar dari kantor polisi. Aku tersenyum. Mengingat seorang guru yang dulu menginspirasiku untuk mengubah takdir, bukan hanya ditunggu.

Andaikan aku bertemu beliau, maka aku akan berkata, “Terima kasih ilmumu, Pak.”

Aku baru mengerti saat itu juga. Bila kita mengetahui takdir kita masing-masing, maka kita akan terlena dengan takdir itu dan tidak akan bepikir untuk mengubahnya. (*)

 

Aisyah Rizkyana Ramadhani, seorang perempuan yang berasal dari Kabupateng Lumajang, yang kini merantau ke Kota Malang untuk pendidikan.
FB : Aisyah Rizky Ramadhani
IG : @aisyahrramadhani
WA : 081334289443

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply