Aku dan Si Bocah Laki-laki di Masa Lalu
Oleh: Evamuzy
Bocah laki-laki berumur sekitar sepuluh tahun itu duduk meringkuk, memeluk kaki kurusnya. Mengenakan celana pendek seragam warna cokelat tua dan kaus oblong polos yang warnanya serupa air selokan. Sepertinya, dia sengaja memisahkan diri dari keramaian yang tengah terjadi di sebuah rumah bambu yang nyaris mirip gubuk.
Aku sendiri bertanya-tanya. Sedang di mana? Di tempat siapa? Bahkan ini seperti bukan pada waktu dan tempat di masa aku hidup saat ini. Meskipun beberapa orang yang kulihat mempunyai garis dan tipe wajah yang hampir serupa denganku: bentuk wajah bulat dan alis yang tebal. Akhirnya, kuputuskan mengamati apa yang sedang terjadi di tempat ini, ketimbang pusing sebab berpikir keras bagaimana caraku datang kemari.
Yang kutahu, sekarang aku sedang berada di sebuah rumah duka. Keramaian yang kumaksud tadi adalah orang-orang berwajah sendu, datar dan tanpa senyum datang silih berganti. Keluar masuk rumah bambu yang memperdengarkan suara tangisan lirih dari tempatku berdiri, tepat di depan si Bocah Laki-laki tadi. Dia duduk pada dipan lawas yang teronggok di samping kanan rumah, di bawah sebuah pohon sawo.
“Sing sabar, nggih, Nang.”[1] Seorang bapak berwajah tenang menepuk pundak, lalu mengelus kepala si Bocah Laki-laki. “Bapakmu orang baik, Insyaallah husnul khotimah. Tugasmu sekarang, menemani ibumu.”
Oh … jadi jasad seseorang di dalam rumah itu bapak si Bocah Laki-laki rupanya.
Lama berdiri, aku jadi ingin ikut duduk di sampingnya. Memperhatikan wajah si Bocah Laki-laki yang tak kutemukan air mata barang setetes pun dari sepasang mata bulat itu.
Keranda mayat digotong, diiringi para pelayat yang membawa perlengkapan pemakaman: papan kayu dan bunga-bunga tabur makam. Lafaz tahlil dibacakan sejak keranda siap diberangkatkan dari pintu rumah. Sementara si Bocah Laki-laki bangkit dari tempatnya duduk, berjalan lambat di barisan paling belakang. Namun, tetap saja tak kutemukan tetesan air dari matanya, hingga seorang wanita muda datang dari dalam rumah lalu menggandengnya.
“Ibu ….” Si Bocah Laki-laki mendongak ke wajah si wanita muda.
***
Aku kesulitan untuk pulang, belum tahu bagaimana caranya. Di sini, berbicara dengan siapa saja aku tak bisa. Mereka tak melihat apalagi mendengar suaraku. Termasuk si Bocah Laki-laki.
Sampai di saat aku duduk, di samping si Bocah Laki-laki yang tengah menyantap seperempat piring nasi tanpa lauk sekarang ini, inilah hari keduaku mengikutinya. Sejam yang lalu, dia membeli sekilo beras di warung dengan membayar uang sebesar dua ratus rupiah berbentuk logam. Uang yang tak ada nilainya di masaku. Sekilo beras itu lalu dibaginya menjadi dua, separuh dia simpan pada baskom besi dan separuhnya lagi diberikan kepada ibunya untuk dimasak dengan panci gosong di atas tungku kayu.
Ada empat orang di gubuk bambu itu. Sepasang kakek nenek, wanita muda yang diketahui adalah ibu Bocah Laki-laki dan si Bocah Laki-laki.
“Aku dan anak-anakku akan bermigrasi. Kami ingin mengubah nasib di tempat baru. Jika kau mau, kau boleh ikut dengan kami.” Seorang wanita dengan usia yang terlihat lebih tua dari ibu Bocah Laki-laki, datang dengan mengentakkan kaki di hari ketiga meninggalnya bapak si Bocah Laki-laki. Terlihat wajahnya kurang bersahabat.
“Kapan, Mbakyu? Kita harus menunggu sampai 40 hari kematian Mas Saleh.”
“Ah, itu terlalu lama. Aku sudah muak dengan kesusahan hidup ini. Empat hari lagi akan ada pihak Pemda kabupaten yang akan membawa rombongan migrasi ke daerah Banten. Pikirkanlah cepat, aku akan mendaftarkan namamu dan anakmu kepada mereka.” Wanita tua itu berbicara dengan suara tinggi.
“Empat hari lagi?” Ibu si Bocah Laki-laki terkurung ragu.
“Iya dan itu tepat seminggu kematian Mas Saleh.” Nama yang disebut-sebut itu kuyakin pasti orang yang meninggal tempo hari.
“Sudahlah, tak perlu kau menunggu sampai 40 hari. Soal orang-orang jompo di rumahmu itu, biar nanti kutitipkan sama si Watri. Kau juga bisa kirim uang untuk mereka lewat dia setelah dapat uang di tempat baru nanti.” Wanita tua itu mencoba meyakinkan.
“Saya akan pikirkan, Mbakyu.”
“Tapi kau ingat, kau tak perlu berharap banyak dari kematian Mas Saleh. Sawah miliknya tetap akulah pewaris tunggalnya. Kau harus sadar, ibarat angsa, kau hanya angsa muda dengan satu ekor anak. Sementara aku angsa dewasa yang menggiring banyak anak. Jelas kau akan kalah jika berniat melawanku.”
Ibu Bocah Laki-laki hanya diam bagai angsa muda yang baru saja dipatuk kepalanya oleh angsa tua agar mau menurut. Benar, dari perbincangan orang-orang sekitar yang kudengar, ibu Bocah Laki-laki adalah seorang istri muda.
***
Mandala Sari. Itulah nama armada sebuah bus yang telah terparkir di lapangan desa. Ukuran bus itu hanya separuh dari bus yang biasanya kunaiki. Bagiku, bus ini juga tak menarik sama sekali. Bercat kuning luntur dengan sana-sini bagian yang berkarat. Ada kain biru dibentangkan di bagian samping bus. Bertuliskan “Rombongan Migrasi Jawa Tengah Menuju Banten”.
Di masaku hidup, bus model seperti ini pasti sudah masuk gudang atau lapangan parkir khusus kendaraan tak layak pakai. Namun begitu, kulihat sorak-sorai dan bahagia pada orang-orang yang berkumpul di sekitarnya. “Hore! Kita akan naik bus. Pasti rasanya lebih enak dibanding bonceng sepeda ontel Bapak,” kata salah satu anak seumuran si Bocah Laki-laki kepada teman-temannya. Meskipun tetap pula ada yang terlihat lesu karena tahu akan pergi jauh meninggalkan kampung halaman.
Oleh seorang pria berseragam serba cokelat muda, mereka sudah dipanggil namanya satu-satu. Tentu saja tak ada namaku, tetapi aku harus tetap ikut dengan mereka. Masa iya, aku ditinggal dan harus mengurus kakek nenek di rumah bambu itu, sementara memegang benda-benda saja aku tak bisa.
Si Bocah Laki-laki menggendong tas sekolah yang semalam dia isi beberapa lembar baju milik sang ibu dan miliknya sendiri. Sementara wanita muda itu terlihat tak banyak bicara sejak berangkat dari rumah. Hanya sesekali mengangguk menanggapi ocehan wanita tua yang datang tempo hari. Sepertinya, dia masih berat hati lantaran harus meninggalkan orangtuanya yang sudah sangat renta.
Ada sekitar empat puluh orang yang akan diberangkatkan. Mereka satu per satu masuk ke dalam bus. Aha! Dan aku memang beruntung. Ada sebuah kursi kosong untukku, tepat di samping kursi si Bocah Laki-laki bersama ibunya. Kursi barisan tengah bus. Tanpa lama-lama, aku langsung duduk sebelum ada yang datang mengisi kursi kosong ini. Sementara si wanita tua bersama kelima anaknya dengan antusias duduk di kursi bagian depan.
***
Kawanku punya mobil mewah
Mengajakku pergi keliling kota
Dan tiba-tiba mogok di jalan
Pulangnya jalan kaki berdua
Si jago mogok namanya kuberikan
Keluar bengkel sebulan masuk lagi
Suatu hari kupergi ke rumahnya
Kumembawa kapur untuk menulis
Lalu kutuliskan di pintu mobil itu
Mobilnya bernama si jago mogok
Sebuah tape radio lawas yang terpasang pada pojok atas bus memperdengarkan sebuah lagu yang dinyanyikan seorang penyanyi wanita. Berdendang, aku sedikit bisa mengikuti lirik lagu itu. Lagu yang tak asing lagi di telingaku. Sebab Ibu sering menyanyikannya saat kami berdua sibuk menjadi juru masak rumah. Juga Ayah yang mendendangkannya sambil memegang kanebo, mengelap mobil warna hitam kesayangannya di teras rumah. Sebuah lagu dari penyanyi lawas favorit mereka berdua, Titik Sandora.
“Ibu, lapar?” Suara si Bocah Laki-laki memecahkan kesunyian yang tercipta sejak bus berjalan sejam yang lalu.
“Ndak, Cah Bagus.” Ibu si Bocah Laki-laki tersenyum di akhir jawabannya, lalu kembali melempar pandangan ke luar jendela bus, kepada hamparan sawah di sisi jalanan beraspal satu-satunya di kota ini.
Sementara itu si Bocah Laki-laki membuka kantong tasnya, mengambil sepotong roti yang masih terbungkus plastik. Merobek bungkusnya, lalu membagi roti itu menjadi dua. Sebagian diulurkannya kepada sang ibu. “Makanlah, Bu. Ibu belum makan apa pun sejak berangkat tadi.”
“Kau membeli roti ini di mana, Cah Bagus?” Ibu si Bocah Laki-laki bertanya sambil menerima potongan roti.
“Di warung tadi pagi sebelum kita berangkat, Bu.” Mereka menyantap potongan roti bersama-sama.
Kuedarkan pandangan ke seluruh sisi bus. Terlihat orang-orang sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Ada yang tengah menyantap bekal nasi bungkusnya, ada yang memilih memejamkan mata sambil mengelus-elus kepala anak-anaknya, juga tak sedikit yang asik mengobrol antusias tentang rencana-rencana mereka di tempat baru nanti. Barang bawaan mereka juga tak kalah ramai. Ayam jago, berbagai bahan pangan, sayur dan buah-buahan hasil tanam serta karung-karung besar yang sepertinya berisi bibit padi.
Setelah berjalan lama karena bus bergerak seperti jalannya seorang kakek tua, tibalah kita di perbatasan provinsi Jawa Tengah dan Jawa Barat saat hari mulai gelap. Dengan alasan lelah dan mengantuk, si sopir meminta waktu untuk istirahat.
***
Saat burung-burung kecil bangun dan berkicau di pucuk-pucuk pohon bersama bumi yang dihangatkan oleh cahaya pertama matahari, kami sampai di kota paling terkenal di negeri ini, Jakarta. Namun tunggu! ini seperti bukan ibu kota yang aku kenal. Bukan ibu kota yang sangat ramai, yang dijejali gedung-gedung pencakar langit hingga langit pun tak terlihat dari tempat duduk. Bukan ibu kota dengan berbagai tempat belanja dan rekreasi, bioskop ternama, hotel, gedung perkantoran, bank swasta maupun negeri serta bangunan-bangunan megah gedung pemerintahan.
Yang kulihat bersama si Bocah Laki-laki, ibunya dan semua penumpang bus adalah Jakarta yang lengang, yang jumlah kendaraanya masih hitungan jari, yang masih banyak pepohonan rindang, yang puncak Monasnya dapat terlihat dari mana saja kita berdiri. Jakarta yang masih hanya memiliki bangunan-bangunan yang kuketahui adalah bangunan lawas: hotel Sarinah, patung Pancoran, Bundaran HI, sampai lapangan Banteng. Meskipun begitu, orang-orang di dalam bus terlihat takjub. Teramat senang sebab akhirnya dapat melihat ibu kota.
***
Banten. Akhirnya kita sampai di kota tujuan setelah menempuh dua hari perjalanan yang melelahkan. Kota ini cukup ramai dibanding tempat asal mereka, meskipun sepertinya penduduk di sini belum sebanyak di ibu kota yang kita lewati.
Sehari, dua hari, tiga hari kita lewati untuk mengenal tempat ini. Meskipun lebih ramai, ternyata di sini tetap saja masih banyak ladang dan persawahan luas yang sepertinya disiapkan untuk para imigran.
Si Bocah Laki-laki dan ibunya hidup bersama dengan wanita tua beserta kelima anaknya di sebuah rumah sederhana. Anak-anak yang pemalas menurutku. Tiga hari aku mengamati, yang kulihat adalah si Bocah Laki-laki yang diperintah semena-mena oleh mereka. Dari mengisi bak mandi untuk keperluan bocah-bocah tengik sampai harus mengambilkan nasi untuk mengisi perut-perut pemalas itu.
Sementara oleh wanita tua itu, si Bocah Laki-laki ditugaskan menggembala kambing-kambing miliknya. Tak jarang berangkat pagi dan pulang saat telah gelap. Sampai-sampai si Bocah Laki-laki seringkali harus menghadapi rasa takut saat bertemu penunggu-penunggu gaib ladang tempatnya membawa kambing-kambing. Sedangkan sang ibu dipekerjakan di warung makan miliknya. Mencuci piring, memasak, melayani pembeli bahkan sampai mencuci semua baju milik wanita tua juga anak-anaknya.
Wanita tua mengaku mendapatkan kambing-kambing itu beserta modal warung makan dari uang hasil menjual sawah milik suami mereka. Namun, apa yang dijanjikannya tak kunjung dia tepati. Upah untuk kerja keras dan tenaga si Bocah Laki-laki dan ibunya hanya isapan jempol belaka sampai sudah hampir satu setengah bulan mereka bekerja. Bahkan, makan mereka pun tak jarang seperti makannya seorang pengemis. Diberikan sekali dalam sehari dengan makanan tanpa gizi setelah meminta-minta sambil memegangi perut mereka yang telah ramai teriakan cacing-cacing.
Aku yang hanya bisa melihat itu dibuat geram dan jengkel. Andai aku bisa berbicara dengan mereka, sudah kusarankan untuk kabur saja.
Malam hari, tanpa sepengetahuan wanita tua, si Bocah Laki-laki bersama ibunya merencanakan misi melarikan diri berbekal uang yang dibawanya saat kemari. Selepas waktu Isya, mereka berjalan pelan-pelan keluar rumah. Rencana mereka adalah mencari kendaraan atau cara apa pun untuk menuju ke terminal bus. Empat lima langkah keluar dari pintu rumah wanita tua berhasil mereka lalui. Aku pun mengikuti langkah mereka. Sampai akhirnya terdengar suara keras layaknya ibu tiri.
“Mau kemana kalian? Tak tahu terima kasih. Sudah untung aku bersedia menampung kalian.” Wanita tua berusaha mengejar kami, tetapi langkah seribu yang kami ambil berhasil membuatnya geram lantaran kalah langkah.
Aku membalikkan badan sekilas, dia terlihat berhenti dengan tersengal-sengal, lalu kembali berteriak, “Bocah tak tahu diri, kembali! Kau harus mengurus kambing-kambingku. Hei, Dayat! Dayat …!” Si wanita tua kini meneriakkan nama itu, nama … ayahku.
“Sayang, kau melamun? Awas, bisa-bisa jarimu kepotong, lho,” tegur Ibu sambil menepuk bahuku. Hampir saja pisau sayur mengenai jari telunjukku karena kaget. Namun, oleh suara Ibu, aku jadi tersadar dan bisa kembali dari dunia si Bocah Laki-laki.
Benar, paragraf-paragraf di atas adalah kisah yang Ayah ceritakan kepada Ibu. Lalu sepertinya aku tenggelam dalam kisahnya saat wajah anggun itu menceritakannya padaku.(*)
Catatan:
[1] Yang sabar, ya, Nak.
*Kalimat yang bercetak miring adalah lirik lagu berjudul Si Jago Mogok, Titik Sandora.
Evamuzy, gadis dari kota Brebes yang bermusuhan dengan semua jenis makanan berprotein tinggi.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata