Aku dan Keputusan Ayah
Oleh : Masamah
Allahu akbar … Allahu akbar ….
Gema suara adzan membangunkanku dari mimpi yang entah apa itu, tapi aku tidak ingin memikirkannya, aku hanya ingin memikirkan perkataan dari seseorang yang amat berharga bagiku. Perkataan itu tergantung masa depanku dan juga hampir mengubur cita-citaku.
“Sholihah … bangun, Nak, udah adzan,” panggil Ibu.
“Iya, Bu, ini juga udah bangun,” jawabku sambil menggeliat.
“Tumben kamu udah bangun, biasanya juga harus dipaksa-paksa dulu baru bangun.” Ibu pun pergi meninggalkan kamarku.
Putri Sholihah, itulah nama lengkapku. Sesuai dengan namaku, orangtuaku menginginkan aku tumbuh menjadi seorang anak yang salihah, kebanggaan keluarga, tapi aku sedikit risi dengan nama itu karena nyatanya aku jauh sekali dari kata salihah.
***
Pagi yang cerah, matahari menyongsong dengan begitu gagahnya, pohon-pohon berjejer rapi dan hijau. Aku tersenyum menyambut hari yang indah.
Tok, tok, tok ….
“Sholihah, kamu sedang apa, Nak?” tanya Ibu sambil melangkah memasuki kamarku.
“Eh, nggak, Bu. Ini lagi nyari udara segar aja.” Aku menengok ke arah Ibu.
“Itu dipanggil Ayah, emang kamu nggak denger?” kata Ibu, menunjuk keluar kamar.
“Oh, iya, Bu.”
Aku keluar kamar, sedikit berlari menghampiri Ayah.
“Iya, ada apa, Yah?” kataku sambil duduk di samping Ayah.
“Jangan sok polos, kamu. Apa-apaan ini?” Ayah menunjukkan sebuah foto di handphone-nya.
“Eh … nggak, Yah, itu … anu ….” Aku kebingungan.
“Kamu ini semakin besar malah semakin nggak bener,” kata Ayah sambil memegangi keningnya.
“Mmm … Ayah dapat foto itu dari mana?” Aku melirik Ayah.
“Dari wali kelas kamu, katanya kamu bolos sama pacar kamu sambil merokok,” jawab Ayah dengan pandangan lurus ke depan tanpa menoleh sedikit pun.
“Sepertinya keputusan Ayah kemarin untuk memasukkan kamu ke pondok pesantren sudah bulat, minggu depan kita berangkat, surat pindah sekolah sedang Ayah urus,” kata Ayah sambil berlalu meninggalkanku.
Sebuah kemunafikan jika menyetujui keputusan Ayah. Aku adalah orang yang mencintai kebebasan dan aku tidak akan mendapatkan itu di pesantren. Amarahku memuncak, dadaku bergemuruh hebat, ingin sekali aku berontak. Tanpa sadar aku mengambil vas bunga yang ada di depanku dan melemparkannya ke sembarang arah sebelum berlari menuju kamar.
Aku benci keadaan ini, aku benci semuanya, tidak ada orang yang berhak mengatur hidupku, termasuk orangtuaku. Ini adalah hidupku dan semuanya terserah aku. Apa sebegitu bencinya Ayah sama aku? Apa sebegitu menjijikkannya aku di mata Ayah sampai Ayah mau membuangku ke pesantren?
***
Hari ini adalah hari yang paling aku benci. Di mana pada hari ini aku resmi menjadi santri di salah satu pondok pesantren di kampung nenekku.
Sepulangnya Ayah dan Ibu, aku diarahkan ke sebuah asrama oleh seorang wanita yang kuketahui seorang roisah, atau apalah istilahnya, aku belum mengerti.
“Mmm, Kakak namanya siapa?” tanyanya padaku.
“Putri Sholihah, panggil aja Putri,” jawabku singkat.
“Aamiin. Semoga Kakak menjadi putri yang salihah sesuai nama Kakak, ya,” katanya sambil tersenyum. Aku membalas singkat senyumnya sambil memasuki asrama.
Saat memasuki asrama, aku disuguhi pemandangan yang jarang sekali kulihat, di mana biasanya orang-orang saat sedang bersantai sibuk dengan gadgetnya, mereka malah sibuk dengan buku kecil–dengan kertas berwarna kuning–di tangannya sambil sesekali menutup mata. Bahkan, hampir semua santri di sini selalu membawa buku kecil itu ke mana pun mereka pergi. Untungnya aku diterima dengan baik di sini, bahkan sesekali aku dilayani, suasana seperti ini jarang sekali aku temui.
***
Seminggu berlalu, kini aku berada di balkon lantai 3 asrama, terlihat para santri yang sedang menghafal, bercengkerama, bersih-bersih, dan yang lainnya.
Baru seminggu aku berada di pondok pesantren, hari demi hari aku lalui dengan begitu berat. Aku harus bangun pagi-pagi sekali, mau makan harus masak sendiri, apa-apa sendiri. Aku kangen Ibu, yang selalu memaksaku makan, membelaku di saat aku dimarahi Ayah, yang selalu menyayangiku dan yang selalu mengerti aku. Dan untuk Ayah, sekarang aku mengerti kenapa Ayah memasukkanku ke pondok pesantren. Di sini aku banyak belajar tentang bagaimana memaknai hidup.
“Ya Allah, kok aku malah ngelamun sih? Aku, kan, ke sini mau menghafal kitab,” kataku sambil membuka kitab yang aku bawa.
Di pesantren ini, semua santri diwajibkan menghafal kitab dan menyetorkannya setiap seminggu sekali. Nah, kitab yang sedang aku hafal ini namanya kitab Ajurumiyah, salah satu kitab nahwu untuk pemula.
Semenjak masuk pesantren, menghafal menjadi salah satu hobiku. Itulah kenapa setelah enam minggu kemudian, aku berhasil menyelesaikan hafalan Jurumiyah-ku. Aku sangat bahagia, tapi perjuanganku belum selesai, masih ada kitab-kitab selanjutnya yang harus aku hafal dan pahami.
***
“Assalamu’alaikum, Yah,” sapaku saat menelepon Ayah.
“Eh, Sayang, gimana kabarmu, Nak? Sehat?” tanya Ayah di seberang sana.
“Alhamdulillah, Yah, Sholihah sehat. Ayah tau gak aku udah hafal kitab Jurumiyah?” kataku antusias.
“Alhamdulillah, Ya Allah, kamu memang anak Ayah yang paling salihah, yang paling pinter. Semoga Allah selalu melindungi kamu, ya, Nak.” Kurasa Ayah sedang menangis saat mengucapkan itu, dan semoga itu tangisan kebahagiaan.
***
Tiga bulan berlalu, alhamdulillah prestasiku di pesantren terbilang cukup baik. Setelah menyelesaikan beberapa kitab, aku diharuskan menghafal sebuah kitab yang terdiri dari 1002 bait, karangan Imam Muhammad bin Abdullah bin Malik Al-Andalusi berjudul Alfiyah Ibnu Malik.
Gemetar jiwa ini saat pertama kali menggapainya, bingung antara takut dan tidak percaya, membayangkan godaan yang akan kualami saat aku menghafalnya–seperti yang sering kudengar. Tapi, bukanlah santri sejati jika tidak berani menaklukkannya.
Detik berganti menit, menit berganti jam, jam berganti hari, hari berganti minggu, minggu berganti bulan, tetapi aku belum juga berhasil menghafalnya.
“Ya Allah, kenapa sulit sekali menghafal? Dari pagi aku belum dapat satu bait pun, gimana ini? Astaghfirullah,” kataku sambil bercucuran air mata.
“Kamu kenapa nangis?” tanya seseorang di belakangku.
“Eh, Ustadzah. Nggak papa kok,” jawabku pada Ustadzah Halimah, salah satu guru di pesantrenku.
“Hafalan, bukan?” tanyanya sambil tersenyum padaku, dan aku hanya membalasnya dengan senyuman dan sedikit mengangguk.
“Begini, ya ….”
Imam Syafi’i rahimahullah berkata:
“Aku pernah mengadukan kepada Waki’ tentang jeleknya hafalanku. Lalu beliau mengarahkanku untuk meninggalkan maksiat. Beliau memberitahukan padaku bahwa ilmu adalah karunia. Karunia Allah tidaklah mungkin diberikan pada ahli maksiat.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 84)
“Dan salah satu yang termasuk ke dalam dosa besar adalah dosa kepada orangtua, maka perbanyaklah meminta maaf kepada kedua orangtua.”
“Astaghfirullah, Ya Allah …. Ayah … Ibu ….” Tangisku akhirnya pecah. Aku bertekuk lutut di depan Ustadzah Halimah.
“Sayang …,” panggil seseorang di belakangku.
“Ayah … Ibu ….” Aku menghambur ke pelukan Ayah. “Ayah, maafin Sholihah, ya. Sholihah minta maaf atas semua kesalahan-kesalahan Sholihah,” kataku sambil terisak.
“Sayang, sebelum kamu minta maaf, Ayah udah maafin kamu. Jadilah anak salihah, ya. Jadilah syafaat untuk Ayah sama Ibu di akhirat,” kata Ayah sambil bercucuran air mata.
“Ibu ….” Aku berpindah memeluk Ibu. “Maafin Sholihah, ya, Bu.”
“Iya, Sayang.”
***
Lima belas bulan sudah aku menghafal Alfiyah-ku, kecintaanku padanya semakin mendalam, dan sebentar lagi aku akan menuntaskan hafalanku, dengan penuh semangat, walaupun banyak sekali ujian yang menimpa.
Ketika cinta menjadi alasanku bertahan
Menahan semua derita dan siksaan
Yang pada akhirnya hanya satu yang kuharapkan
Hidup bersamamu sampai tidak ada yang dapat memisahkan
Mungkin aku bukan yang pertama
Dan tidak mungkin menjadi yang terakhir
Namun bagiku …
Mencintaimu adalah anugerah dan
Memahamimu adalah keajaiban
Bait-bait cintamu yang mampu menggoyahkan hatiku
Memalingkan duniaku
Dan menguasai seluruh pikiranku
Dirimu terangkai dari keindahan dan kesempurnaan
Keindahanmu bagai mutiara berbalut intan
Kesempurnaanmu mewakili ciptaan Tuhan
Darimu aku belajar berjuang
Darimu aku belajar tangguh
Dan darimu aku belajar mencintai
Alfiyah Ibnu Malik itulah namamu
Muhammad bin Abdullah bin Malik Al-Andalusi
Adalah mualifmu yang namanya abadi dalam bait pertamamu
Masamah. Seorang gadis yang sedang berusaha menjadi hamba yang baik untuk-Nya.
Editor: Lily Rosella
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata
One thought on “Aku dan Keputusan Ayah”