Aku dan Jodoh Pilihan Ibu

Aku dan Jodoh Pilihan Ibu

Aku dan Jodoh Pilihan Ibu
Oleh: Ina Agustin

Sebagai seorang manajer di sebuah perusahaan ternama, aku punya banyak kolega pria dan wanita. Sebenarnya mudah bagiku berkencan dengan wanita mana pun yang kusuka. Namun, aku tak melakukannya. Aku hanya menjalin hubungan dengan satu gadis cantik bertubuh ramping berkaki jenjang bernama Fania. Ia seorang model. Kulitnya putih mulus, batang hidungnya menanjak, dan mata bulatnya memesona. Fania kerap mengenakan rok mini dan atasan yang sedikit memperlihatkan belahan dada. Aku berencana menikahinya tahun depan. Namun, rencanaku buyar saat Ibu bertitah.

“Pokoknya, kamu harus menikah dengan Nisa.”

“Titik!” Ibu menutup sambungan telepon.

Nisa? Siapa dia?

Mungkin ini salahku tidak segera mengenalkan Fania pada beliau. Kesibukan membuatku jarang pulang ke rumah Ibu. Esoknya, kutelepon Ibu dan menjelaskan tentang Fania, tetapi Ibu bersikeras agar aku menikah dengan gadis pilihannya.

“Lakukan sesuatu, dong! Kamu, kan, janji mau merit sama aku!” protes Fania.

Perlu kau tahu, ibuku seorang single parent sejak aku berusia sebelas tahun. Ia membanting tulang agar aku bisa sekolah tinggi hingga sukses seperti sekarang ini. Pengorbanan Ibu tak ternilai. Aku … tak sanggup menyakiti perasaannya. Sepertinya kau akan memilih hal sama jika berada di posisiku.

Satu bulan kemudian, pernikahan digelar dengan resepsi di ballroom sebuah hotel. Kerlap-kerlip lampu berwarna, bunga-bunga tertata cantik, musik pengiring mengalun indah, namun tak seindah hatiku saat ini. Terlebih di sampingku ada sosok perempuan asing. Ah, kenapa selera Ibu seperti ini? Kepalanya ditutupi jilbab lebar dihiasi bunga melati dan tubuhnya dibalut gamis hijau toska dengan manik-manik berkilauan.

“Selamat, Pak Faisal, semoga bahagia,” ucap para tamu undangan.

Bisakah kau katakan padaku bagaimana caranya hidup bahagia bersama perempuan yang tidak kukenal?

Tamu berangsur sepi saat rembulan menampakkan diri. Ibu dan besannya bercakap-cakap ringan lalu beristirahat di kamar hotel yang sudah kupesan. Aku pun melakukan hal sama.

Kurebahkan tubuh di atas sebuah benda empuk berbentuk persegi panjang berlapiskan kain bertabur bunga. Di sudut kanannya terdapat lampu dengan cahaya temaram. Sekitar satu meter di depannya berdiri sebuah cermin dengan meja rias. Lalu, kulihat perempuan itu masih berdiri di dekat pintu.

“Kalau lu mau, tidur aja di kasur! Gue bisa tidur di lantai!” ucapku ketus.

“Sa-saya mau salat Isya dulu, Mas.”

“Terserah!”

Fania, aku rindu kamu. Besok kita ketemu di tempat biasa! pesanku sesaat sebelum memejamkan mata.

Malam kian larut, embusan udara yang bertiup dari kotak pendingin ruangan membuatku menggigil. Aku terbangun dan menyandarkan punggung ke dinding.

“Mas tidur di atas saja!” Ia bergegas ke kamar mandi lalu mendirikan salat tengah malam. Aku pun terlelap kembali.

Aku membuka mata saat sinar mentari mengecup gorden. Kulihat perempuan itu masih berbalut kain putih seraya menengadahkan kedua tangan dan mulutnya komat-kamit. Sesekali kudengar ia terisak, entah kenapa. Usai salat, ia berbalik ke arahku.

“Kenapa sih lu enggak nolak perjodohan ini? Kita, kan, enggak saling kenal.”

“Karena saya yakin setiap orang tua ingin memberikan yang terbaik untuk anaknya.”

“Alasan! Lu cuma pengen harta gue, kan? Perlu lu tahu, gue udah punya pacar cantik dan seksi. Lu, tuh, bukan selera gue!”

Matanya berkaca-kaca. Aku bergegas menuju ruang makan. Di sana sudah ada Ibu dan kedua orang tua perempuan itu.

“Mana Nisanya?” tanya Ibu.

“Nanti nyusul katanya, Bu.”

Beberapa menit kemudian, ia muncul dengan wajah semringah. Aneh, padahal tadi sedih.

Sebelum memulai sarapan, Ibu berkata bahwa ia dan besannya akan pulang siang ini. Ibu juga berpesan agar aku menjaga Nisa karena ia tanggung jawabku. Aku mengangguk saja agar urusan cepat kelar.

Hari-hari kujalani bersamanya. Walaupun kami tinggal serumah, tetapi kami tidur di kamar terpisah. Semua itu atas permintaanku. Kalau bukan karena Ibu, aku tak sudi menikahinya. Kubebaskan ia memasak untuk dirinya sendiri. Untukku, lebih baik makan bersama Fania atau pesan via aplikasi online.

***

Waktu berlari cepat. Sudah dua bulan kami hidup bersama. Selama itu pula hubungan kami tidak seperti suami istri. Aku lebih sering keluar bertemu Fania dan sesekali nongkrong bersama teman kuliahku dulu.

“Enaknya yang udah punya istri,” ujar Eko.

“Enak apanya?”

“Ya, enak dong, bisa—“

“Gue belum sentuh dia sama sekali!”

“Apa?! Mubazir, dong. Kalau gue jadi lu, enggak bakal gue sia-siain si Nisa. Udah cantik, salihah pula. Lu, tuh, beruntung!”

“Cantik?”

“Iya, Nisa, tuh, cantik natural. Yang ada di otak lu cuma Fania, sih! Dosa lu, udah merit masih mikirin cewek lain!”

“Ah, lu ngomongnya udah kayak orang bener aja! Bukannya lu suka teler?!”

“Yap. Tapi, sebejat-bejatnya gue, tetap pengen nikah sama perempuan baik-baik. Suatu saat nanti, gue bakal berubah.”

Betulkah aku beruntung? Tanganku menopang dagu, mencoba meresapi perkataan Eko. Beberapa saat kemudian aku tersadar rumah ini sepi sekali. Kemana perempuan itu? Jangan-jangan dia …. Seketika aku teringat amanat Ibu. Kucari perempuan itu di kamarnya dan di semua ruangan, nihil.

Astaga! Aku lupa, tiga hari lalu Nisa minta izin pulang kampung merawat ayahnya yang sedang sakit. Sejurus kemudian, ponselku berbunyi, aku janji bertemu dengan rekan bisnis.

Kupacu Alphard hitam hingga berhenti di perempatan lampu merah. Tak jauh dari sini, kulihat seorang wanita bergandengan mesra dengan seorang pria gagah keluar dari restoran mewah. Tunggu! Sepertinya aku mengenalnya. Postur tubuh dan gaya berjalannya mengingatkanku pada seseorang. Kutajamkan pandangan. Ternyata dia adalah … Fa-nia.

“Oh, jadi ini balasannya setelah gue turuti semua yang lu minta!” Aku memotretnya dengan kamera ponsel.

Keesokan harinya aku bertemu Fania. Tahukah kau? Betapa muak aku melihatnya. Kutunjukkan foto-foto itu padanya.

“Haha, jadi lu udah tau? Baguslah. Sebetulnya gue udah pacaran sama dia empat bulan lalu. Dia lebih tajir daripada lu! Gue enggak rugi kalau pun harus kehilangan lu. Perlu lu tahu, saat ini gue ngandung benihnya!”

Aku bergegas pulang. Kutinju cermin di kamar dengan napas memburu. Cairan merah keluar dari tanganku.

***

Aroma masakan menguar. Sepertinya Nisa sudah pulang. Aku memang memberikan kunci duplikat rumah ini agar ia bebas masuk tanpa mengganggu tidurku. Perlahan, aku menghampirinya.

“Astagfirullah! Kenapa tangannya, Mas?”

“Enggak apa-apa, cuma luka kecil aja.”

Gegas Nisa mengambil kasa dan alkohol dari kotak P3K. Ia mengobati lukaku. Kurasakan sensasi berbeda saat tangannya menyentuh tanganku. Aku menatapnya lekat. Alisnya yang hitam, air mukanya yang menyejukkan, serta ketulusannya membuatku tertegun.

“Maaf, kalau saya lancang.” Ia menarik tangannya.

Hari ini Nisa libur mengajar. Aku pun memutuskan istirahat untuk menenangkan hati. Sedari tadi kulihat Nisa membaca novel di halaman belakang.

Pandangan kami berserobok saat ia hendak ke kamarnya. Ia menahan langkah ketika berpapasan denganku. Benar kata Eko, Nisa memang cantik alami. Bodohnya aku tidak menyadari itu karena pikiranku selalu dipenuhi sosok Fania. Ah, kenapa pula aku penasaran dengan kepala Nisa yang selalu tertutup jilbab. Aku terus menatapnya.

“Mas, kenapa?”

“Oh, anu … aku ingin tahu, kenapa kamu enggak lepas jilbab di hadapanku?”

“Ma-maaf Mas, saya ingin membuka jilbab saat Mas betul-betul menerima saya sebagai istri. Tapi … apakah itu mungkin?” Seketika wajahnya muram.

Aku menelan saliva. “Bagaimana kabar Ibu?” tanyaku mengalihkan pembicaraan.

“Alhamdulillah, sudah membaik.”

Kami berada di kamar masing-masing. Kujatuhkan punggung di atas kasur, tiba-tiba saja bayangan wajah Nisa melintas. Kucoba pejamkan mata, tak bisa. Kututup wajahku dengan bantal, gagal. Aku turun dari ranjang mondar-mandir tak jelas. Wajah Nisa semakin terbayang. Apakah kau tahu, apa yang sedang terjadi denganku? Entah kenapa, aku ingin menemuinya. Jantungku berdegup kencang saat mengetuk pintu gadis itu.

“Iya, Mas, ada yang bisa Nisa bantu?” katanya setelah pintu kamarnya terbuka. Terlihat matanya sembab, suaranya parau.

“Apa … kau tak bosan tidur sendirian?”

“Maksudnya?”

“Ma-maukah kau tidur bersa-maku mulai malam ini?”

Ia mengernyitkan dahi, “Mas … se-serius?”

Aku mengangguk. Seketika pipinya bersemu merah dan lengkungan indah terukir di sana. (*)

Ina Agustin, seorang perempuan biasa yang memiliki hobi baca. Penulis berasal dari sebuah desa kecil di Pandeglang Banten dan kini menetap di Serang bersama sang kekasih halal dan tiga jagoan cilik. Penulis bisa disapa di FB dengan nama akun yang sama.

Editor: Evamuzy
Sumber Gambar: pinterest.com

Leave a Reply