Aku dan Ibu (Terbaik Ke-21 Tantangan Lokit 16)

Aku dan Ibu (Terbaik Ke-21 Tantangan Lokit 16)

Aku dan Ibu
Oleh: Ameelope
Terbaik Ke-21 Tantangan Lokit 16

 

“Ibu belikan aku baju baru juga?”

“Pakai saja baju yang lama!”

“Adik dan Kakak beli baju baru, kenapa aku tidak dibelikan?”

“Kakakmu sudah besar, baju sudah tidak muat lagi, kamu bisa ambil baju-baju kakakmu!”

“Kenapa Adik dibelikan baju baru? Kan bisa pakai bajuku!”

“Bajumu bekas kakakmu, sudah terlalu jelek dan buram jika harus diberikan lagi pada adikmu.”

“Tapi Bu ….”

“Sudah sana cuci piring.”

Berdebat dengan Ibu adalah hal yang biasa terjadi, khususnya untuk sikapnya yang tidak adil kepadaku.

Aku anak kedua dari tiga bersaudara, keluargaku cukup berada tanpa kekurangan apa pun. Kakakku Tiara umur 17 tahun, aku Kiara 14 tahun sedangkan adikku Naira 10 tahun. Kami semua perempuan, entah mengapa aku merasa berbeda dari kedua saudaraku. Perlakuan Ibu seperti menganaktirikan, berbeda dengan Ayah yang tetap sama dalam memberi kasih sayang.

Terkadang aku merasa apakah aku bukan anak kandung Ibu. Perbedaan perlakuan terasa sejak adik lahir, Ibu berubah. Jika sudah terlalu kesal aku memilih mendiamkan Ibu, tapi aku tetap melakukan semua tugasku di rumah.

Ibu bisa mengetahui apa aku marah atau kesal, Ibu mulai melembut dengan cara membelikan keperluan atau memberiku kebebasan dalam tugas di rumah. Aku menyimpulkan itu semua palsu dan terpaksa.

Kakakku mempunyai penyakit jantung dan darah tinggi di usia yang masih sangat muda. Perlakuan Ibu yang lemah lembut kepadanya dan menuruti semua keinginannya membuatku iri, meski Kakak tetap memperlakukanku sangat baik.

Kakak justru pernah berkata, “Kakak iri pada Kiara, benar-benar bisa menjadi diri sendiri tanpa ada perlakuan khusus.”

“Kenapa Kakak harus iri, sedangkan Kakak bisa dapat semuanya?”

“Tapi, Kakak tidak diberi kepercayaan dan kebebasan berpendapat.”

Aku tidak mengerti apa maksud Kakak, semua itu tidak mengubah apa pun. Aku benci Ibu.

Terkadang aku sengaja menyembunyikan buku tugas Kakak atau menggunting baju barunya. Kakak tidak marah tapi pukulan dan bentakkan dari Ibu yang aku terima, bagiku itulah kasih sayang untukku. Kakak akan memelukku setiap Ibu selesai memarahiku.

“Maafkan Ibu, mungkin Ibu sedang lelah,” ucap Kakak setiap kali aku mengeluh atas perlakuan Ibu.

Aku mencari perhatian dengan melakukan kesalahan demi kesalahan. Kemarahan Ibu sudah dapat aku pastikan, entah kenapa aku terus mengulangnya. Ayah sering kali mencoba menasihatiku untuk patuh dan membatasi perilaku. Ayah juga mengingatkan Ibu untuk lebih lembut dalam menghadapi tingkahku.

Setelah itu, Ibu dan aku akan terlihat baik-baik saja, keadaan berjalan normal kembali. Namun, itu tidak mengubah perhatian Ibu pada kedua saudaraku. Akibatnya, aku kembali berulah.

Selain Kakak, aku juga kerap kali menjahili adikku dengan merebut mainannya atau memamerkan makanan yang aku beli tanpa membagi padanya. Adikku akan menangis histeris, kemarahan Ibu sudah bisa aku pastikan. Namun, aku tidak perduli.

Naira lahir berkebutuhan khusus, salah satu tangannya tidak bisa normal bergerak. Kata Kakak, Naira lahir divakum jadi ada masalah dalam prosesnya. Aku hanya tahu tangan Naira sakit. Namun, Naira beraktivitas seperti biasa. Apa yang beda denganku?

Ibu tidak hanya membentak, jika aku menjawab Ibu pasti akan memukul dan mencubit, dan aku tidak menangis sedikit pun. Aku menahan semua yang Ibu lakukan dan berharap Ibu berhenti, tapi itu justru membuat Ibu makin marah.

Terkadang aku membalas setiap tatapan kemarahan Ibu, bukan berniat melawan hanya saja aku ingin melihat kemarahan seperti apa yang aku buat dari kesalahan itu.

Pernah kemarahan Ibu melukai hatiku. Aku berlari dan masuk ke kamar, berdiri di depan cermin dan berkata pada bayangan di cermin.

“Apa kamu puas!”

Setelah itu aku akan berbaring dan berdiam diri di kamar. Pernah pula aku pura-pura tidur ketika Ibu masuk ke kamar dan berkata, “Maafkan Ibu, nak,” lirih Ibu sambil menangis. Ibu mengusap lembut rambut dan mencium keningku. Aku hanya diam dan tetap berpura-pura tidur.

Ibu akan membereskan kamarku, merapikan pakaian dan buku-buku. Aku merasa mimpi jika saat-saat itu terjadi. Setelah cukup lama ibu kembali menghampiri. “Ibu sangat menyayangimu,” ucap Ibu kembali mengusap rambut dan mencium kening, kemudian keluar menutup pintu kamar. Aku bangun dan mengusap kepala dan kening yang tadi dicium Ibu.

“Maafkan Kiara, Bu,” gumanku memandang ke arah pintu dengan rasa yang sulit aku katakan. Aku bahagia dengan senyum tersimpul di bibir.

Saat Ibu sakit, aku yang lebih dulu mengambil tindakan, mengompres Ibu atau menjaga Adik. Pekerjaan rumah akan beres di tanganku. Semua aku lakukan dengan cepat dan tepat supaya Ibu tidak terbebani dan cepat sembuh. Aku melupakan semua yang terjadi antara aku dan Ibu. Kakak mencoba membantu, tapi aku melarang karena Ibu akan kepikiran. Kelelahan akan membuat Kakak cepat demam, itu berakibat buruk pada jantung dan darah tingginya.

Aku tidak bisa tidur sepanjang malam hanya ingin memastikan Ibu baik-baik saja. Ibu hanya menangis jika aku melakukan semua itu. Air mata Ibu tidak mampu aku artikan apa pun, hanya berharap Ibu cepat sembuh dan kembali memarahiku. Ibu memarahiku merupakan salah satu perhatian yang terekam dalam pikiran.

Ada hal yang sulit sekali aku pahami, seperti ada batas antara aku dan Ibu yang membuat kami tidak bisa bersama untuk terlihat layaknya Ibu dan anak. Mata Ibu seolah ingin mengatakan sesuatu tapi tidak bisa mengungkapkan seperti apa. Apa mungkin aku yang belum memahami apa yang sebenarnya terjadi. Pernah aku mencoba bertahan menjadi anak yang baik menurutku. Namun, masih ada saja celah kesalahan di mata Ibu, percuma semua usahaku. Mungkinkah aku adalah pelampiasan, dari Kakak dan Adik yang tidak sesuai harapan Ibu.

“Begitu burukkah aku di mata Ibu, hingga apa yang aku lakukan selalu salah, salah tempat, salah situasi, salah dan salah?!”

Pertanyaan itu aku tanyakan kepada Ibu, dan air mata Ibu menetes saat memandangku. Aku benci situasi itu, kembali aku salah, salah pertanyaan.

“Tidak bolehkah aku mendapatkan kasih sayang Ibu, seperti Kakak dan Naira, jika itu harus aku dapatkan dengan cara Ibu memukulku, aku mohon Ibu lakukan itu, aku ikhlas?” Kembali aku bertanya dan Ibu berbalik pergi meninggalkanku.

“Ibu?! Kiara bodoh, Kiara bodoh!” teriakku dengan memukul kepalaku sendiri.

Saat itu terjadi aku akan menunggu Ayah pulang kerja untuk menumpahkan semua air mataku.

Kata Ayah, setiap anak memiliki karakter yang berbeda dan fisik yang berbeda. Perlakuan yang di berikan sama saja hanya disesuaikan dengan yang menerima. Kondisi Kakak terlalu lemah, tidak mampu menerima beban yang berlebih, maupun intonasi suara yang tinggi. Aku berbeda, terlalu tangguh dan dapat diandalkan. Ayah paling bisa membuatku tersenyum bahagia, terkadang aku dan Ayah tertawa terbahak-bahak hanya dengan hal-hal kecil.

“Kanapa harus Kiara, Ayah? Ada Kak Tiara dan Naira.”

“Kiara yang terbaik, Nak.”

“Apa Ibu tidak bisa mengatakan seperti yang Ayah katakan?”

“Nanti akan Ibu katakan.”

“Kapan?”

Ayah hanya tersenyum dan mengusap lembut kepalaku. Aku menunggu saat itu, Ibu mengatakan kalau Ibu sayang kepadaku. Aku dan Ibu dua sisi yang berbeda, ada batasan di antara kami untuk mengungkapkan perasaan antara Ibu dan anak. Meskipun besar usahaku mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi, tetap saja aku tak mampu mengetahuinya.

Sekarang aku berusaha berdamai dengan diriku sendiri, menerima apa yang sudah ditakdirkan untukku. Sebisa mungkin aku menghindari kesalahan yang membuat kemarahan Ibu. Memang tidak mudah, bukan berarti aku tidak bisa. Kakak dan Naira biarlah menjadi prioritas Ibu dan aku dengan duniaku sendiri.

Aku sayang Ibu. Suatu saat nanti mungkin dengan sendirinya akan terjawab apa yang sebenarnya terjadi. Sampai saat itu tiba aku harus belajar mendewasakan diri.(*)

Indonesia, 21082020.

 

Ameelope, April 2003 status Pelajar, suka menulis apa saja yang berhubungan dengan literasi.

Tantangan Lokit adalah perlombaan menulis cerpen yang diselenggarakn di grup KCLK.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply