Aku dan Dini
Oleh : Cokelat
Aku menyisir rambut Dini yang hitam dan lebat, dia suka jika diikat ekor kuda. Sambil menyisir rambut, kami berdua menyanyi. Lagu anak-anak yang kuajarkan padanya sejak dia mulai belajar bicara.
Kasih ibu,
Kepada beta
Tak terhingga sepanjang masa
Hanya memberi,
Tak harap kembali,
Bagai sang surya, menyinari dunia.
Kemudian, aku mengantarnya ke kamar yang terletak di lantai dua. Kutemani Dini sampai dia tertidur. Wajah yang bagai pinang dibelah dua dengan Mas Pras itu terlihat sangat damai dalam tidurnya.
Perlahan, aku meninggalkan Dini dan menuju dapur. Sisa-sisa sarapan Mas Pras masih berantakan di atas meja. Suamiku itu sepertinya buru-buru pergi. Bahkan kopi pahit kegemarannya masih tersisa setengah cangkir.
Aku duduk di kursi makan sambil memandang ke halaman belakang. Halaman luas yang dikelilingi semak berduri sebagai pembatas dengan pekarangan tetangga. Tidak banyak pohon yang tumbuh. Hanya beberapa pohon ketapang dan mangga, tapi semuanya sangat besar dan rindang. Selebihnya adalah hamparan rumput hijau yang menyegarkan mata.
Jauh di belakang sana, pekarangan kami berbatasan dengan sungai kecil yang mengalir dari arah kaki gunung. Tepat di pinggir sungai, ada sebuah pondok kayu yang sudah mulai reyot. Ukurannya cukup besar. Menurut Mas Pras, dulu pondok itu dihuni oleh sepasang suami istri yang bekerja sebagai asisten pemilik rumah yang kami tempati.
Ya, kami baru dua bulan menempati rumah ini. Mas Pras dimutasi ke sini, sebuah kabupaten kecil yang masih sunyi dan belum berkembang. Suamiku itu tidak bisa menolak dan harus menerima keputusan dari para petinggi di perusahaan tempatnya bekerja.
Kenaikan jabatan yang diperoleh Mas Pras, tidak lantas membuatku betah tinggal di tempat baru. Seandainya bisa memilih, aku lebih suka tinggal di rumah lama kami. Pendapatan Mas Pras memang lebih sedikit di sana, tapi kami berada di tengah-tengah keluarga dan sahabat yang menyayangi kami.
Aku menarik napas panjang. Perasaan bosan kembali melanda. Ah, sebaiknya aku berjalan-jalan ke swalayan kecil di ujung jalan. Semoga di sana aku bisa mengusir kebosanan ini.
Kutinggalkan Dini yang sedang tidur di kamarnya. Aku tak akan lama. Cuma ingin menghirup udara segar dan melihat-lihat keadaan sekitar.
Hanya memakan waktu beberapa menit, aku pun sampai di depan swalayan kecil yang sebenarnya merupakan tiga petak ruko yang disatukan. Tidak terlalu besar jika dibandingkan swalayan atau minimarket yang ada di kota.
Di dalam, aku mulai mengitari satu per satu rak yang berjajar rapi dan diisi dengan berbagai barang. Sebagian besar adalah bahan makanan.
Aku berhenti ketika telingaku menangkap suara dari rak sebelah.
“Iya, kasihan ya, Pak Pras itu.”
Aku mengernyit. Pak Pras? Apakah maksudnya Pras suamiku? Aku berusaha mengintip, untuk mengetahui asal suara itu. Ternyata Bu Broto, tetangga sebelah kanan rumah kami. Dia sedang berbincang dengan dua orang lain. Ada Ibu Anto, tetangga depan rumah, dan yang satu aku tidak mengenalnya.
“Iya, benar. Baru dua minggu pindah ke sini, putrinya tewas tenggelam di sungai.” Wajah Bu Anto terlihat sedih.
Tunggu … apa dia bilang? Putriku tewas? Apa-apaan mereka? Sebaiknya aku tinggalkan saja ibu-ibu ini.
Baru saja hendak melanjutkan kegiatanku berkeliling, Bu Anto kembali membuka suara. “Padahal Dini itu anak yang manis. Baru seminggu lebih dia berteman dengan Lala. Mereka sekelas. Lala bilang, Dini sangat baik padanya dan teman-teman sekelas mereka. Tidak seperti anak-anak pindahan dari kota pada umumnya.”
Lala itu anak Bu Anto. Perasaanku mulai tak karuan. Tidak! Ibu-ibu ini pasti mengada-ada. Tadi, Dini sedang tertidur di kamarnya saat kutinggalkan. Aku sebaiknya segera pulang.
Sebelum meninggalkan swalayan, aku masih sempat mendengar suara dari balik rak itu. “Dan sekarang, istri Pak Pras yang menghilang. Benar-benar menyedihkan.”
Apa lagi yang mereka bicarakan? Dasar ibu-ibu kurang kerjaan!
Malamnya, aku mengintip Mas Pras di kamar kerjanya. Hampir tengah malam, dan lelaki itu masih saja terjaga di depan komputer yang menyala. Dia pasti sedang lembur. Sebaiknya kubiarkan saja dia.
Aku tidur dengan Dini di kamarnya. Aku memeluk tubuh gadis kecil berusia sepuluh tahun itu. Dingin. Aku mempererat pelukan.
Beberapa hari kemudian, sekitar pukul delapan malam, pintu ruang tamu diketuk. Mas Pras bergegas membuka pintu. Aku mengintip dari ujung tangga lantai dua. Tiga orang pria berpeci dengan janggut lebat berdiri di depan pintu. Mas Pras menyilakan mereka masuk.
“Begini. Semenjak kematian anak kami Dini, istri saya mulai suka berhalusinasi. Dia selalu menyebut soal Dini. Sampai akhirnya, istri saya tiba-tiba menghilang seminggu yang lalu. Saya sudah melaporkan hal ini pada polisi. Polisi di sini juga sudah memeriksa semua tempat dan meneruskan laporan saya pada polisi di kota tempat asal kami.” Mas Pras berbicara panjang lebar kepada tamunya.
“Menurut keluarga, mungkin istri saya ingin menenangkan diri. Makanya dia pergi diam-diam. Jadi saya diminta bersabar dulu, mudah-mudahan istri saya segera kembali,” lanjut Mas Pras.
Ketiga lelaki di depan Mas Pras mengangguk-angguk. “Lalu, apa yang bisa kami lakukan untuk Bapak?” Seorang yang terlihat paling tua bertanya pada Mas Pras.
Mas Pras menghela napas panjang. “Saya minta tolong. Sudah seminggu saya merasa tidak nyaman dengan rumah ini. Hampir setiap hari selalu ada suara-suara aneh yang terdengar. Kadang suara orang menyanyi, kadang juga suara orang menangis. Belum lagi suara barang-barang yang bergerak.” Mas Pras menjambak rambutnya sendiri. Apakah dia merasa frustrasi?
Ketiga lelaki itu kembali mengangguk. Mereka lalu berdiri dan mulai mengedarkan pandangan ke segala penjuru.
Aku segera berlari ke kamar Dini dan menariknya keluar. Kami menuju ke pondok di halaman belakang rumah. Tempat yang tak pernah didatangi Mas Pram sebelumnya.
Tidak pernah ada yang tahu bahwa ada ruangan di bawah pondok ini. Ruang bawah tanah yang pintu masuknya tersembunyi di bawah tempat tidur tua di bagian belakang pondok. Ruang yang tak sengaja kutemukan ini akan jadi tempat persembunyian yang aman buat aku dan Dini.
Kugandeng Dini menuju kursi kayu. Kami berdua duduk sambil bergandengan. Dari tempatku duduk, aku bisa melihat tubuhku yang mulai membusuk beberapa hari lalu, tergantung di sudut ruangan.
Mungkin, sudah saatnya aku mulai menerima kenyataan, bahwa aku dan Dini tak bisa lagi bersama Mas Pras. Menerima kenyataan, bahwa kami berdua sudah tewas. Menerima kenyataan, bahwa aku telah melakukan sebuah dosa besar. Dosa yang tak akan pernah terampuni.
***
Cokelat, menerima kiriman berbagai jenis cokelat, baik padat maupun cair.
Editor : Rinanda Tesniana