Aku dan Bunga Telang

Aku dan Bunga Telang

Aku dan Bunga Telang

Oleh : Syifa Aimbine

Sudah kubilang aku tidak hobi bertaman seperti para ibu-ibu di musim pandemi ini. Namun, Mas Suryo tetap mengajakku ke pasar kaget di Minggu pagi untuk membeli pot bunga.

“Aku sudah pesan beberapa bibit bunga telang dari toko online, kemarin sampai. Gampang kok caranya, tinggal direndam, lalu disemai, setelah tumbuh baru pindahin ke pot.”

Aku hanya diam. Aku tahu niatnya baik. Mas Suryo bilang agar aku ada kegiatan lain. Sejak aku berhenti bekerja karena hamil, lalu kehamilanku gagal tumbuh dan berakhir di meja ginekologi untuk dikuret, aku memang lebih banyak melamun.

Sudah kukatakan kalau aku sudah tidak sedih lagi. Aku hanya sedikit berpikir, bagaimana awalnya bayiku gagal tumbuh. Apa karena saat itu aku pernah merokok, hanya sekali karena aku terlalu bosan. Atau karena aku dan Mas Suryo motoran seharian hari itu, saat merayakan ulang tahun pernikahan kami. Hanya hari itu, masa tidak boleh?

Entahlah, semua hanya dugaanku. Dokter saja tidak bisa memastikan penyebab pastinya, yang jelas aku sudah tidak merasa sedih, seperti yang telah kukatakan pada Mas Suryo dan juga ibuku. Namun, kenapa mereka memperlakukanku seperti orang yang nyaris gila?

Kembali pada bunga telang. Aku cukup heran, bagaimana bijinya bisa hitam seperti biji kacang? Apa benar ini biji bunga? Entahlah, yang pasti aku hanya perlu merendamnya dengan air semalaman.

Esok paginya kulihat keluar ekor kecil di sudut biji-bijinya. Segera kupindahkan pada media tanam yang telah dibuat Mas Suryo kemarin sore. Semua hanya kujalani sesuai arahannya. Entah ini memang berguna untuk memperbaiki psikologisku atau tidak. Yang pasti aku melakukannya.

Perlahan, biji-biji itu mulai tumbuh. Setiap pagi kusemprotkan air agar tidak kering. Begitu seterusnya hingga batangnya semakin tinggi.

“Sepertinya tanamanmu sudah boleh dipindahkan ke pot, Ris,” ujar Mas Suryo sebelum berangkat kerja.

“Begitu, ya?”

“Lihat, tingginya sudah sekitar tujuh senti. Akarnya juga pasti sudah terbentuk.” Mas Suryo mengukur dengan jarinya.

“Baik, nanti sore aku pindahkan. Dari yang aku baca memindahkan tanaman bagusnya di sore hari.”

“Oh, ya? Kenapa begitu?” tanya Mas Suryo penasaran sekali.

“Katanya biar tanaman gak stres.”

Mas Suryo hanya manggut-manggut sambil kemudian menarikku ke dalam pelukannya. Aku hanya terdiam, seperti biasa.

Seperti janjiku, ketika menjelang sore, sekitar pukul setengah lima, aku mulai sibuk di halaman depan. Memindahkan beberapa bibit bunga telang ke dalam pot-pot yang aku dan Mas Suryo beli saat di pasar kaget. Katanya pot dengan model tawon begini lagi tren. Ah, tau apa aku, baru ini saja aku belajar menanam bunga. Dan aku juga terlalu malas mencari tahu, membuka ponselku saja hanya pada saat Mas Suryo menelpon.

Aku terlalu malas menonton, bahkan menulis seperti keinginan ibuku. Aku lekas merasa lelah. Setelah memindahkan bunga dan menyiramnya ini saja aku sudah lelah. Keringat membasahi daster katun yang kupakai. Seharusnya kuabaikan saja bibit bunga telang itu. Sekarang aku harus mandi lagi karenanya.

***

“Ris, lihat sini. Bunga telangmu sudah berbunga,” panggil Mas Suryo pagi itu.

“Wah, cepat juga ya.”

“Iya,” jawab Mas Suryo sambil memetik bunga yang sudah mengembang sempurna berwarna ungu.

“Eh, kok dipetik?” tanyaku heran.

“Loh, kan memang harus dipetik. Kalau gak nanti juga dia layu. Kelopak bunga telang bisa dibuat jadi teh. Katanya kayak antioksidan,” jelasnya Mas Suryo.

“Oh, begitu.”

Lalu sejak saat itu aku mulai rajin mengumpulkan kelopak bunga telang yang sudah mekar. Hasilnya lumayan, meski belum tahu hasil panen itu akan dijadikan minuman. Aku lebih suka minum kopi daripada teh.

“Hush! Sana!” teriak Mas Suryo pagi-pagi, membuat aku yang sedang membuat sarapan di dapur ikut kaget dan menyusul ke teras.

“Kenapa, Mas?” tanyaku panik.

“Ini, ayam tetangga. Masak dia makan bunga telang kamu,” ujarnya kesal.

“Astaga, kukira ada apa. Ya udah, nanti pindahin ke atas pagar aja.”

Mas Suryo mengikuti saranku. Kulihat pot-pot itu sudah bertengger manis di sepanjang pagar. Ah, lumayan bagus juga ternyata. Aku pun tak menyangka akan menikmatinya. Daun bunga telang yang mulai menjuntai panjang meliuk-liuk seperti saling bergandengan tangan. Lucu sekali.

Sore mulai menjelang kala kulihat semburat oranye di langit. Seperti biasa, aku akan menyirami pot-pot berisi bunga telang. Mas Suryo ternyata benar, aku mulai menikmati kegiatan ini.

Tetapi, malamnya badai datang. Malam mulai terasa pekat dan dingin. Namun, Mas Suryo juga belum kembali. Rasa cemas membuatku tak bisa duduk tenang. Hujan deras membuat suara gaduh di depan teras. Karena takut, aku enggan melihatnya. Biar esok pagi saja kubereskan kerusakannya.

Badai terus berlanjut hingga pagi, saat sebuah panggilan telepon mengagetkanku. Aku tak bisa berkata apa-apa ketika ibu mertuaku mengatakan kalau ia mendapat berita kecelakaan. Mas Suryo kritis di rumah sakit setelah ia jatuh dari ketinggian saat memasang kabel optik yang merupakan tugasnya sebagai teknisi lapangan.

Sudah kubilang, aku tidak sedih. Seperti pagi ini kulihat seluruh pot tawon itu di tanah dengan isinya yang berhamburan keluar. Semua bunga telang itu rusak oleh badai semalam. Sudah kubilang, aku tidak sedih. Aku hanya ingin diam sebentar di sini. (*)

Depok, 2 September 2021.

Syifa Aimbine, penulis receh yang berharap tulisannya berubah menjadi voucer belanja online.

Editor : Nuke Soeprijono

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply