Aku dan Balon-Balonku

Aku dan Balon-Balonku

Oleh : Karna Jaya Tarigan

 

Orang-orang berkumpul di tengah lapangan untuk merayakan hari kemenangan. Mereka telah membuat berbagai macam bentuk balon berukuran besar yang sangat berbeda dengan yang biasanya dijajakan para penjual balon keliling. Kecuali satu balon kecil yang akan diterbangkan ayahku dengan warna abu-abu yang tidak menarik dan hanya dihiasi dua titik hitam di bagian kanan dan kiri yang menggambarkan bentuk mata, dan sebuah garis yang ditarik melengkung menyerupai bibir dan dibuat seadanya.

Aku lalu bertanya kepada Ayah, mengapa mereka membuat dan menerbangkan balon-balon itu? Ayah memandangi awan, matanya tidak berkedip, mungkin ia sedang mencari jawaban yang tepat untukku. Seorang anak kecil yang berumur tujuh tahun.

“Entahlah. Mungkin pembuatnya sedang bergembira dan ingin merayakan kebahagiaan dengan cara membuat balon dan menerbangkannya ke udara. Mungkin juga ada seseorang yang ingin membuang sial dan berharap kesialan itu akan menguap ditelan awan hitam yang tebal. Atau bisa jadi, itu adalah satu-satunya cara untuk melarutkan kesedihan dan melarungkannya bersama angin. Barangkali hujan yang turun akan membasuh jiwa-jiwa yang sedang kesepian dan terluka,” Ayah menjawabnya dengan tenang sambil mengisap rokok kreteknya.

Jawaban itu tidak menclok di dalam otakku seketika, butuh beberapa menit untuk mengingatnya sebab mataku lebih tertarik untuk mengikuti balon-balon raksasa itu berlari dan bersembunyi di balik awan ketimbang mendengarkan penjelasan ayah barusan. Aku bahkan hampir melupakan balon warna abu-abu milikku yang melayang lebih cepat daripada yang lain dan makin lama hanya terlihat setitik dari tempatku berdiri.

*

Waktu-waktu yang indah telah lama berlalu dan menghilang seperti balon-balon yang terbang dan mendarat entah di mana. Ayah juga telah lama pergi setelah perayaan itu. Ia meninggalkan ibu, aku , adik dan rumah kecil kami. Ibu bercerita kepada adikku: sebuah balon hitam yang sangat besar dan mempunyai tangan dan kaki dengan bentuk yang menyeramkan telah menjemput ayah di suatu malam.

Aku tahu bahwa ibu berbohong dan itu sungguh sebuah cerita karangan yang tidak masuk akal. Cerita yang sebenarnya bukan begitu, ayah pergi bersama seorang wanita yang bertubuh besar, yang bentuk tubuhnya menyerupai sebuah balon besar mirip Doraemon. Sebuah sedan hitam bersih dengan pelek mengkilap berhenti kira-kira dua ratus meter dari depan rumah dan melaju diam-diam melewati jalanan aspal yang kering dan berdebu di desa kami.

Seorang tetanggaku akhirnya bicara kepadaku suatu hari, “Ayahmu bosan hidup susah, makanya ia melarikan diri!”

Aku menjadi murung dan lebih banyak termenung, mengapa “balon berbentuk Doraemon” itu tega-teganya merebut ayahku dan merebut kebahagiaan kami. Namun tak ada yang bisa kuperbuat sebagai seorang anak kecil. Anak kecil cuma bisa menikmati balon yang berlenggak-lenggok anggun di udara. Aku hanya berpikir, jika suatu hari nanti aku sudah besar, aku ingin menerbangkan sendiri balon berwarna-warni dan beraneka rupa dan bentuk buatanku untuk memanggil ayah pulang. Tidakkah ia merindukan kami?

*

Demikianlah ceritanya, mengapa setiap tahun aku terus menerbangkan balon-balon ke langit tanpa memedulikan omongan orang lain yang mungkin akan mengatakan aku sinting dan terlalu terobsesi kepada balon. Balon-balonku tidak bersalah. Balon-balon itu sebenarnya berisi harapan dan doa-doa, agar ayah segera kembali bersama kami. Itulah sebabnya mengapa aku tidak pernah lupa menulis pesan-pesan di atas permukaannya,” Ayah, ayo pulang. Dina menunggu,” bahkan aku juga pernah memasang selembar “banner” yang aku ikatkan erat pada ujung-ujung pengaitnya. Balon itu lebih menyerupai balon promo yang pernah aku lihat di kota besar.

Namun hingga kini ayah tidak pernah pulang meski balon yang ke sembilan puluh delapan telah terbang jauh. Sekali lagi–harapan, doa, dan permohonan itu tidak pernah terkabul. Aku lelah. Aku bosan. Aku kesal. Dan balon yang ke sembilan puluh sembilan nanti adalah balon yang terakhir yang akan aku terbangkan. Setelah itu aku akan menyerah. Lagipula kemarin ibu pernah menangis terisak-isak setelah ia melihat aku dan teman-temanku membuat balon Giant yang sangat besar. Aku hanya diam, ini balon yang terakhir, dan harus terbang! Meskipun ia khawatir aku telah menjadi gila ….

*

Sebuah berita di televisi yang mengejutkan, membangunkan tidurku yang nyenyak di petang hari. Satu kecelakaan udara terjadi. Baling-baling turbofan mesin jet pesawat penumpang telah menyedot sebuah balon raksasa. Video yang diambil dari sebuah telepon genggam milik seorang saksi mata, tidak sengaja menangkap peristiwa itu dan memperlihatkan: balon besar berbentuk Giant adalah milikku. Dan dari manifes penumpang yang sejam kemudian ditayangkan, nama lengkap ayah ada di daftar itu.

Ayah telah kutemukan.(M)


Bekasi, 28 Mei 2020.


Karna Jaya Tarigan, seorang penulis pemula.

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply