Aku (Bukan) Raja
Oleh : Ardhya Rahma
Aku meradang melihat pemandangan di depan mata. Apa maksud mereka duduk berdekatan seperti itu? Di tempat umum pula. Dasar tidak tahu malu! Tidak menunggu lama, aku mendatangi mereka dan memukul meja di hadapannya sampai semua kertas dan pulpen meloncat. Untung saja minuman di gelas tidak ikut tumpah.
Dengan penuh amarah kutuding muka mereka dan berkata, “Apa-apaan kalian, siang bolong malah berduaan seperti ini!”
“Dan kamu, Pah, lupa sama anak istri? Mau balikan ke mantan?” Tak puas, kutunjuk suamiku itu.
Dia menatapku dengan pandangan bercampur antara malu dan marah. Namun seperti biasa, dia tetap diam melihat ulahku. Sikap dia seperti itulah yang membuatku semakin semena-mena kepadanya.
“Jaga ucapanmu, Mbak!” tegur wanita yang duduk di sebelah suamiku. “Kami tidak berduaan. Itu ada teman kami yang sedang memesan makanan, sebentar lagi juga datang dua teman kami. Mbak tidak lihat ini kami sedang mengerjakan apa?”
“Halah, alasan! Bilang aja kangen dengan suamiku pakai modus rapat segala,” semburku.
“Enak saja Mbak menuduh. Sejak dia membatalkan pertunangan kami karena bujuk rayumu, aku sudah menutup buku kisah kami. Justru aku senang tidak berjodoh dengannya, karena sebentar lagi aku menikah dan menyusul calon suamiku yang sedang studi S3 di Jerman. Cemburu buta membuat hidupmu tidak bahagia betul, ‘kan?”
Ucapan mantan pacar suamiku yang tanpa basa-basi itu membuatku terdiam. Apalagi ketika melihat temannya datang membawa sepiring makanan. Pun, ketika melihat banyak orang di dalam restoran mulai menatap kami. Alih-alih melihat pandangan mata yang memberi dukungan, sebaliknya aku melihat tatapan kasihan dari pandangan mereka. Bergegas aku pergi meninggalkan pria yang hanya terdiam selama adu mulut tadi. Tunggu pembalasan di rumah, janjiku. Ya, di rumah aku adalah raja, bukan suami yang menjadi kepala rumah tangga.
Kami sudah menikah tujuh tahun dan dikaruniai sepasang anak yang sehat. Namun, kecemburuan yang membabi buta membuat kehidupan perkawinanku hanya bahagia di tiga tahun pertama saja.
Aku takut Mas Bayu kembali ke mantannya yang sudah kembali dari studi S2-nya di Jepang. Aku juga takut ada wanita lain yang merebut dia. Maklum saja, Mas Bayu termasuk pria rupawan. Gelar dan jabatan di kantor, membuatku yakin kalau banyak wanita yang menggodanya.
Andai tidak separanoid ini, aku pasti bisa melihat betapa suami memanjakan sejak awal pernikahan kami. Aku yang anak manja dan tidak bisa memasak, membuatnya rela pontang-panting memasak sebelum berangkat ke kantor. Aku memang bilang tidak mau ada pembantu karena tidak bebas kalau mau berduaan. Akhirnya, dia yang kerepotan memasak dan mengerjakan pekerjaan rumah, karena aku hanya mau mengerjakan yang ringan saja.
Bulan berganti tahun. Anak kami sekarang bertambah satu. Meski sudah lahir si bungsu, aku tetap memanjakan anak kedua. Orang mungkin melihatnya aneh, kenapa aku justru tidak memanjakan anak pertama, putri satu-satunya. Biarlah orang tak paham, aku tetap memuja pangeran kecil tampan, yang wajah rupawannya persis Mas Bayu.
Semua permintaannya pasti kuturuti. Bahkan kupinta seluruh penghuni rumah—termasuk si bungsu—menuruti perintahnya. Aku sama sekali tak menyadari buah yang akan kupetik kelak akibat sikapku ini.
Seiring waktu semua anakku tumbuh dewasa dan sehat, sedangkan aku tetap dengan sifat pencemburu dan pengatur. Sesuai dugaan, anak kedua—si anak emas—tumbuh menjadi pangeran tampan yang mengalahkan pesona papanya.
“Prince, kamu gak kuliah?”
“Enggak, Ma, males,” jawabnya. Selalu itu yang menjadi alasan kalau dia bolos kuliah. Biasanya aku diamkan saja ulahnya tersebut. Kali ini tidak, aku ingin mengajaknya bicara karena sudah empat kali dia membolos minggu ini.
“Jangan gitu, Mas. Kalau kamu bolos terus kapan kamu lulus kuliah?”
“Kalau aku gak lulus emang masalahnya apa?” Dia menyahut ketus.
“Kamu bisa dikeluarkan dari kampus. Padahal Papa sudah menyekolahkanmu dengan susah payah. Biayanya mahal lho, Mas.” Biasanya kalau aku sudah memanggil bukan dengan panggilan kesayangan artinya aku sedang berbicara serius. Sayang, dia terlihat tidak peduli akan hal itu.
“Terus maksud Mama apa? Aku disuruh ganti uangnya?” teriaknya.
“Bukan begitu. Mama cuma berharap kamu kuliah yang rajin, cepat lulus, dan bisa kerja untuk masa depanmu.”
“Jangan sok ngatur, aku bukan Papa yang bisa Mama atur seenaknya!”
Setelah membentak seperti itu, dia pergi sambil memecahkan vas bunga kristal bohemia kesayanganku.
Rupanya sekarang dialah raja di rumah ini, bukan aku. (*)
Surabaya, 02 Agustus 2020
Ardhya Rahma, nama yang ingin ditorehkan dalam setiap buku yang ditulis. Berdarah campuran Jawa dan Kalimantan. Mempunyai hobi membaca dan traveling. Baginya, menulis adalah proses mengikat ilmu dan pengalaman hidup. Berharap mampu menuangkannya dalam buku yang sarat makna bagi pembaca. Tulisan yang lain bisa dijumpai di akun FB @Ardhya Rahma.
Editor : Dyah Diputri
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata