Aku Bukan Perempuan Jalang
Oleh: WS. Lestari
Malam mulai merayap. Dinginnya juga semakin menusuk. Suara-suara binatang malam berlomba bersahutan. Seperti dikomando, mereka mengagungkan Sang Pencipta. Penguasa semesta yang menggenggam ciptaan-Nya. Dengan bahasa yang mereka miliki, serasa damai dan tanpa beban hidup yang rumit dan menjerat.
Sesosok bayangan berjalan tergesa, langkahnya cepat tanpa menghiraukan dinginnya sang malam. Mata yang sedikit cekung mengamati di setiap jalan yang disusuri. Sejatinya mata itu menanggung beban yang berat, beban hidup seorang Asri, perempuan berjiwa tangguh, bertanggung jawab, dan teramat menyayangi keluarganya. Sayang, langkahnya kini terjebak dalam permainan kejamnya keserakahan manusia. Di antara sebuah tuntutan dan kebutuhan.
Adalah Pak Aryo Dipo, seorang juragan peyek yang kondang di desa itu, yang kumisnya tebal, berperawakan tidak lagi proporsional alias perut mulai buncit, yang tengah menunggu kedatangan Asri. Laki-laki thukmis itu begitu mengerti akan kehidupan Asri.
Di balik keahlian Asri memijat, Pak Aryo memahami akan hausnya bisikan lembut laki-laki. Dia hadir mengisi batin perempuan bertangan luwes itu. Hardi, suami Asri menderita gagal ginjal. Sudah hampir dua tahun yang lalu bolak-balik harus cuci darah. Tiga bulan terakhir kondisinya tidak membaik.
Sebagai perempuan normal yang lelah, terkadang Asri butuh tempat untuk menumpahkan beban hatinya. Jiwanya sudah bertahan sekian lama untuk diabdikan pada Hardi, yang uzur tanpa bisa memberinya nafkah lahir batin. Dengan kemampuan memijat yang diwariskan dari neneknya, kebutuhan hidup keluarga sederhana itu terus bergulir. Roda kehidupan yang semakin lama semakin berat, ternyata menggoyahkan kesetiaan yang mereka bangun. Asri terjatuh!
Godaan nakal dari bibir Pak Aryo membuat aliran darahnya panas, bagai sengatan yang membuat beban hidupnya terasa menguap. Kehangatan yang lama tidak pernah Asri rasakan. Lama kelamaan perempuan tamatan SMP itu merasa ketagihan dengan tangan kekar Pak Aryo.
***
Lik Nunik, pembantu Pak Aryo membuka pintu ruang tamu. Rumah gedong besar itu terlihat sepi. Lik Nunik sudah tahu jadwal kedatangan Asri. Pada saat memijat Pak Aryo bertepatan dengan Bu Aryo pergi keluar rumah.
Asri langsung ngeloyor ke belakang, ke kamar khusus milik Pak Aryo. Laki-laki itu sudah bersiap dengan pertempuran di ranjang putih bersih miliknya. Lik Nunik memandang punggung Asri yang tergesa menuju kamar juragannya. Ada senyum di bibirnya yang sulit diterjemahkan. Senyum penuh arti.
Dasar jalang! batinnya mengejek.
“Malam, Pak. Maaf agak telat. Si ragil minta kelon dulu tadi,” kata Asri sambil membuka tas yang berisi minyak urut. Pak Aryo menoleh ke arah suara perempuan yang selalu dipanggilnya dengan sebutan Manis.
Ya, Asri memang memiliki paras yang manis. Apalagi jika tersenyum dengan dekik di pipinya. Mata nakal Pak Aryo memandang tanpa berkedip ke arah Asri. Sudah dua pekan lebih Asri tidak memijat tubuhnya, mungkin lebih tepatnya menanti bonus yang diberikan Asri yang sangat memuaskan hasrat kelaki-lakiannya.
Ditariknya tangan Asri ke tubuh tambun berbalut singlet itu. Dia tepat berdiri di depan juragan yang sudah berkepala empat dan mulai beruban. Asri terlihat gugup.
“I-iya Pak, ada apa?”
“Aku kangen kamu, manisku. Ayo langsung saja!” ucap Pak Aryo sembari menyuruh Asri duduk di sampingnya.
“Ah, Bapak ini. Pijat dulu saja, Pak, kayak biasanya. Biar mantep.”
“Kamu sudah pintar menggodaku sekarang.” Asri hanya tersenyum. Senyum manis yang sudah lama menghilang.
“Ya sudah ayo! Pijat dulu, tapi dengan syarat, ya?”
“Syarat? Apa syaratnya, Pak?”
“Pijatnya bentar saja, keburu istriku pulang. Lha, kamu pakai acara telat,” Pak Aryo merajuk manja. Tangannya mencubit pipi Asri yang memerah.
“Baik, Pak, saya pijat yang bagian Bapak suka saja, gimana?” Asri menawar. Tentu saja Pak Aryo tidak menolak dan merebahkan badannya.
Tidak butuh waktu lama untuk memijat daerah khusus Pak Aryo. Di sela-sela Asri memijat, tangan Pak Aryo sudah menari ke mana-mana. Asri kadang terkekeh karena geli digelitiki, atau melenguh pelan dan manja. Napasnya pun mulai tidak teratur.
Pekatnya malam di luar menambah bersoraknya penguasa kegelapan. Ada dua insan yang menikmati indahnya kemaksiatan. Badan yang berpeluh diiringi senyapnya gulita. Sungguh, benar-benar menjatuhkan martabatnya sebagai makhluk yang berakal, menjadi makhluk yang lebih rendah daripada binatang!
Dalam hati Asri menangis, perasaan perempuannya tidak berdaya. Sentuhan Pak Aryo membuat syarafnya menjadi tenang. Beban hidupnya serasa lebih ringan, karena ada tempat bersandar, meski semu. Sekilas bayangan Hardi ada di pelupuk matanya. Tangan suaminya melambai memanggil, meminta diambilkan minum. Tampak Hardi melangkah dan jatuh.
“Asri, tolong aku! Kamu di mana? Jangan pergi, As! Pulanglah, aku sudah tidak sanggup lagi. Aku ingin mati di pangkuanmu. Asri tolong pulanglah! Kasihan anak-anak, pulanglah!”
Suara Hardi begitu jelas. Asri berusaha menepis wajah Hardi yang kesakitan. Kemudian wajah denoknya yang sulung menyembul di matanya. Ya, besok harus bayar uang sekolah. Asri sudah menjanjikan untuk melunasinya. Tak bisa dibayangkan betapa sedihnya si denok bila besok tidak bisa membayar uang sekolah. Ada bulir bening jatuh di sudut mata sendu itu. Perih dan merobek-robek jiwanya. Rasa bersalah mulai menghinggapi.
Disambutnya tangan Pak Aryo yang sedari tadi menjelajahi tubuh langsingnya. Ah, Mas Hardi, maafkan aku, batinnya.
Pak Aryo merasa sikap Asri tidak seperti biasanya. Dicoba untuk bertanya tanpa melepas tubuh yang hampir tak berbusana.
“Kamu tidak enak badan ya, Manis?” Asri hanya diam.
“Hemm … kenapa? Takut istriku datang? Tenang saja, dia belum waktunya pulang jam segini.” Asri membalas dengan anggukan. Entah karena apa, tiba-tiba Asri menjadi tidak nyaman dalam dekapan Pak Aryo.
Sesaat kemudian yang menempel di matanya berganti wajah galak Bu Aryo. Ketakutan mendadak menyusup di hati kecil perempuan yang juga menjual jamu keliling itu. Asri membayangkan Bu Aryo akan menyeret dan menyiramkan minyak panas jelantah bekas menggoreng peyek ke wajah manisnya. Air mata turun menetes lagi. Gusti Allah, ampuni hamba, jerit hatinya pilu.
Asri mencoba untuk menikmati malam berlumur noda itu. Dengan hangat menyambut setiap gerakan Pak Aryo yang berani. Bukan nikmat yang dirasakan tetapi semakin membuat sesak napasnya. Ah, tetap saja ada yang bergejolak di dasar hatinya. Setengah memaksa Asri menggeser badannya menjauhi Pak Aryo. Laki-laki beranak empat itu terlihat heran.
“Kenapa lagi?“
“Emm … ini kamar siapa, Pak? Kenapa tidak ada foto keluarga Bapak atau istri Bapak?” Sebuah pertanyaan keluar begitu saja dari mulut Asri.
Dia merasa ada yang mengawasi dirinya.
Pak Aryo kini tersenyum lebar. Merasa lucu dengan pertanyaan perempuan yang membuat peluhnya deras mengucur.
“Oh, ini kamar mendiang si mbokku. Dulu sebelum si Mbok meninggal tidurnya di sini. Kenapa? Kasurnya sudah tidak empuk, ya? Besok aku ganti, jangan khawatir lagi. Ayo, Manis … sudah nggak tahan nih.”
“Tidur di ranjang ini? A-apakah mbok Bapak dulunya rajin salat, Pak?” Asri kembali bertanya dan menahan ajakan Pak Aryo.
“Kayaknya iya, seingatku si Mbok suka ndarus juga. Itu Alquran ada di atas lemari. Ada apa kok tanya-tanya begituan, apa kamu bisa ngaji juga?”
Sontak tubuh Asri menggigil, bibir bawah digigit menahan tubuhnya yang terguncang. Penjelasan Pak Aryo membuat isi kepalanya teringat si mboknya juga. Si Mbok yang sabar dan kuat.
Bahkan si Mbok sering mengingatkan, meskipun kita orang melarat dan susah, jangan mudah menjual iman. Menjual diri sama dengan menjual iman, tidak takut sama Gusti Allah. Kalau manusia tidak takut sama Gusti Allah itu namanya bukan manusia. Tapi iblis dan teman-temannya. Apa pun yang terjadi jangan sekali-kali menyalahkan keadaan, setiap orang punya ujian sendiri-sendiri.
Merinding sekujur tubuh Asri, keringat dingin mulai membasahi sekujur tubuhnya. Nasihat si Mbok telah membuka kalbunya yang beberapa bulan ini tertutup silau nikmat dunia. Merasa sebagai perempuan yang menderita. Wajah si Mbok terlihat murung dalam bayangan Asri. Merasa didiamkan Asri, Pak Aryo menepuk pundaknya.
Seketika Asri tersentak dan melepaskan tangan Pak Aryo yang sedari tadi mengenggam tangannya. Asri bangkit, duduk dan merapikan bajunya yang berserakan. Pak Aryo terkejut melihat sikap Asri, ditariknya pergelangan tangan Asri.
“Mau pulang? Kenapa, As?”
“Mas Hardi, Pak, dia memanggil saya. Maaf kali ini saya tidak bisa, izinkan saya pulang, Pak!” suara Asri mulai serak. Hasratnya yang hampir meyentuh ubun-ubun lenyap begitu saja.
Sebenarnya bayangan Simboklah yang kini menancap di hati yang hancur itu. Dan bayangan akan siksa kubur membuatnya takut dan kalut.
Pak Aryo mengepalkan tangannya menahan marah. Dia merasa perempuan yang dirawat itu menyepelekannya. Matanya nanar melihat Asri sudah merapikan diri dan membawa tas kumal berisi minyak urut. Pak Aryo tidak bisa berbuat banyak. Sepertinya Asri tidak main-main dengan perkataannya.
“Ya sudahlah, itu uangmu di meja. Ambil semua! Tunggu kabar dari saya,” kata Pak Aryo ketus. Matanya terlihat tidak suka Asri mendahulukan Hardi.
“Terima kasih, Pak. Saya ambil ongkos pijatnya saja. Terus saya minta maaf, ini terakhir memijat Bapak. Saya harap Bapak mengerti. Kita sudah berdosa besar, Pak.”
“Ah, tahu apa kamu tentang dosa. Sudah pulang sana. Awas jangan macam-macam ya sama saya!” ancam Pak Aryo dengan muka memerah.
Kemarahannya membuat dia lupa kalau Asri pernah memanjakannya dalam kenikmatan yang terbungkus kenistaan. Menjebak perempuan itu dalam belaian api sepanas neraka.
“Bapak menakuti saya? Oh ya, terima kasih bantuannya, Pak, tetapi saya tidak takut dengan ancaman Bapak. Saya sadar Pak kalau hidup saya melarat, tapi sekarang saya lebih takut sama azab Gusti Allah. Permisi.”
Tanpa menunggu reaksi Pak Aryo, Asri keluar dari kamar yang telah membutakan dan menjeratnya menjadi manusia yang hina. Air matanya dibiarkan mengalir deras, tiba-tiba Asri merasa jijik dengan dirinya sendiri. Merasa sangat kotor, lebih kotor dari kotoran hewan.
Lolongan anjing menyertai langkah cepatnya untuk pulang. Akankah Mas Hardi memaafkanku? Atau Gusti Allah mengampuni dosaku? Maafkan Ibu, Denok … tidak membawa uang untuk membayar sekolahmu.
Asri ingin menegaskan dalam jiwanya bahwa dirinya bukan perempuan jalang. Senyum getir itu tersungging! Terjadilah apa yang terjadi, tidak ada manusia yang bisa mengatur takdir hidupnya. (*)
WS. Lestari adalah ibu rumah tangga. Penjual donat yang suka menulis.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata