Aku Belum Mau Mati (TerbaikKe-17 TL19)

Aku Belum Mau Mati (TerbaikKe-17 TL19)

Aku Belum Mau Mati

Oleh : Yuna Thrias

Terbaik Ke-17 TL-19

 

Suara gedoran makin beringas terdengar menendang gendang telingaku. Aku yang baru beberapa jam saja tertidur, sontak terkejut. Ingin rasanya tak memedulikan suara-suara itu, lalu menyumpalkan kapas makin dalam ke telingaku. Namun nyatanya, sumpalan kapas sebesar apa pun tak akan mampu mengenyahkan suara ribut di balik pintu itu. Mereka terlalu bebal untuk menyerah.

Dengan gontai aku terpaksa melangkah ke arah sumber suara. “Sebentar!”  ucapku kesal.

Kepalaku terasa hampir pecah. Bukan hanya karena terlalu banyak minum semalam, melainkan karena otakku mulai dapat mencerna siapa di balik pintu itu.

“Cepat buka pintunya atau kudobrak pintu ini!”

Aku memutar kenop. Namun, baru saja kenop berwarna perak itu kuputar, orang di balik pintu lebih dulu membuka, mendorong paksa, dan merangsek masuk diikuti seorang wanita dengan riasan menor.

Saat melewatiku, wanita itu melirik melalui ekor matanya sebelum melenggang masuk, lalu berbalik sambil mengisap rokok dan mengedarkan pandangan ke seisi ruangan, “Rumah ini sepertinya tidak banyak berubah.”

Wanita itu melepas mantel bulu hingga hanya meninggalkan mini dress berwarna merah menyala dengan potongan dada yang rendah. Lalu, duduk dengan anggun di kursi yang telah disiapkan oleh dua bodyguard yang bersamanya.

Seperti biasa, Iona selalu tampil segar. Rambut cokelatnya digulung ke atas hingga memperlihatkan leher jenjangnya.

“Apa aku mengganggu tidurmu?” tanyanya

Terang saja mereka mengganggu tidurku. Aku baru saja terlelap dua jam yang lalu, setelah lagi-lagi kalah judi. “Apa basa-basimu itu perlu?”

“Ayolah, Igor! Aku hanya bersikap ramah.”

“Dengan masuk secara paksa bersama dua bodyguard? Ayolah, aku tidak bodoh, Iona. Aku tahu tujuan kedatanganmu ke rumah ini.” Aku menghempaskan diri ke sofa cokelat yang telah berubah kehitaman.

Matahari hampir tak pernah masuk ke rumah ini. Kebiasaanku berbanding terbalik dengan orang pada umumnya yang tidur di waktu malam dan bangun saat langit beranjak terang.

“Bagus kalau kau sadar diri. Waktu yang diberikan Glib sudah habis. Aku ke sini untuk menagih janjimu padaku.”

“Beri aku waktu.”

“Waktu? Kau tidak sedang bercanda, ‘kan?” tanyanya dengan nada sinis—menyebalkan.

“Uangku habis semalam. Aku rugi besar,” ucapku meyakinkan. “Satu minggu. Aku hanya butuh waktu satu minggu untuk melunasinya.”

“Omong kosong!”

Seperti dugaanku, suara Iona meninggi dua oktaf. Urat-urat di lehernya seketika menonjol. Lalu, melempar puntung rokok dengan kesal.

“Dua bulan kami menunggumu, Igor! Utangmu sudah terlalu banyak,” sungutnya tak percaya.

Aku tak menafikan bahwa Iona terlalu banyak mendengar bualanku selama hidupnya. Siapa pula yang akan percaya bualan pemabuk dan penjudi sepertiku? Tidak ada.

“Kau tahu Glib, ‘kan?” Iona menginjak puntung rokok yang baru saja ia lemparkan.

“Ayolah, beri aku waktu sekali lagi. Glib tak akan jatuh miskin hanya dengan memberikanku sedikit waktu, ‘kan?”

Iona membuang napas kasar. “Kau salah kalau berharap kali ini aku akan menolongmu.”

“Apa hebatnya pria itu dibanding diriku, Iona?” tanyaku meremehkan. Tentu saja, dari kaca mata wanita mana pun, pria tambun itu tak sepadan jika dibandingkan denganku.

“Apa aku perlu menjawabnya?”

“Apa pria gendut itu bisa memuaskanmu?”

“Bukan urusanmu, Igor!” Iona mendelik, kesal.

Aku tahu betul siapa Iona. Aku merasa menang saat melihat ego di dalam dirinya terusik.

“Kau tak perlu berbohong hanya untuk terlihat bahagia,” ucapku menertawai mimiknya yang berubah.

Iona mencabut sebatang rokok. Tanpa diminta, salah satu bodyguard bergegas menyalakan pemantik untuknya.

“Lihatlah keadaanmu sekarang! Hanya wanita bodoh yang mau mendampingimu,” jawabnya melecehkan.

Iona benar. Sayangnya, semua kata-kata wanita itu benar. Percuma saja, aku meminta waktu Glib. Toh, aku tak akan sanggup membayarnya meskipun pria tambun itu berbaik hati untuk memberikan waktu.

Tidak ada satu wanita pun yang mau mendampingi pria sepertiku. Aku bukan hanya terlilit hutang, tetapi penjudi, sekaligus pemabuk. Tidak ada yang mau menolong pria sepertiku. Bagi mereka, aku tak ubahnya seonggok sampah—menyedihkan.

Tidak ada yang tersisa dalam hidupku. Apalagi, saat Iona mengambil paksa satu-satunya harta yang kumiliki dan membuatku terlunta-lunta di jalanan. Bahkan, harus bertahan hidup dari sisa-sisa makanan di tong sampah.

***

Entah bagaimana aku harus memaknai perseteruan mereka. Namun, setidaknya aku tahu bahwa nyawa sampah sepertiku masih berharga. Sama berharganya dengan nyawa Glib dan Iona yang ikut mengantre untuk mendapatkan sepotong roti dan giliran dievakuasi.

Tak ada lagi mantel bulu. Apalagi, riasan menor dan mini dress yang biasa Iona kenakan. Rambut cokelatnya hanya digelung ke atas, sembarang bentuk. Bajunya lusuh seperti baju yang kukenakan.

Tak berbeda jauh dengan pria yang selalu menemaninya. Glib dengan perut buncitnya, malah lebih mirip seekor babi yang siap untuk dipotong.

“Ini untukmu, Tuan,” kata seorang pria paruh baya, membuatku terkesiap.

Sudah lama, tidak ada orang yang menyebutku demikian. Namun, pria paruh baya di hadapanku ini berbeda. Ia tetap menghargaiku meskipun aku hanyalah seonggok sampah.

“Terima kasih,” jawabku sambil menerima sepotong roti, sebotol air mineral, dan obat-obatan yang pria itu sodorkan.

Mataku berbinar memandangi roti bulat yang tampak lezat. Namun, hanya sepersekian detik roti itu berpindah tangan, rentetan peluru melesat cepat dengan membabi buta.

“Lari!”

Suara histeris bersahut-sahutan. Mereka lari tunggang langgang menyelamatkan diri. Bersamaan dengan itu, dua pesawat tempur terbang rendah diikuti serangan rudal yang menghantam dan meluluhlantakkan bangunan induk pemerintahan

“Tiarap!”

Telingaku berdenging. Kepalaku seperti mau pecah. Apa lagi ini, Tuhan?

Akan tetapi, seruan apa pun tak berlaku untukku. Pria paruh baya yang memberikan sepotong roti, terlebih dahulu menindihku usai sebuah timah panas menembus kepalanya. Lagi pula, hampir tak ada tempat bersembunyi di alun-alun kota ini. Hanya ada rumah-rumah kecil yang mengitarinya. Terlalu berisiko untukku beranjak sekarang dari tempat ini.

Tanpa mengindahkan bau anyir cairan kental berwarna merah yang menetes dari jenazah orang nomor satu di kota itu sedang menindihku, aku memilih memandangi langit biru Gostomel demi mengenyahkan rasa takut yang mendera. “Selamatkan aku, Tuhan.”

Untuk pertama kalinya, nama itu kusebut, setelah bertahun-tahun memilih untuk tak mengingat-Nya. Aku bosan meminta. Tak ada satu pun permintaanku yang dikabulkan-Nya.

Akan tetapi, segalanya terasa berbeda saat hidup di antara pusaran konflik. Kematian bisa datang kapan pun dan di mana pun. Sudah waktunya aku mengiba. Apalagi, jika kehidupan setelah mati yang mereka dengung-dengungkan itu ada, sementara aku lebih sering menghabiskan waktu dengan berjudi dan mabuk-mabukan.

Hidup dalam pusaran konflik dua negara, membuatku terpaksa mengakrabi suara desing peluru dan ledakan hebat yang dapat terjadi kapan saja. Teriakan histeris yang bersahut-sahutan. Bau anyir, potongan tubuh manusia, dan hewan terserak di sepanjang jalan. Uang seolah tak berkutik dalam kondisi genting seperti saat ini.

“Igor! Apa kau masih hidup?” Dalam posisi tengkurap, Iona memanggilku, lirih. Posisiku tak jauh darinya. Begitu juga dengan Glib yang berada di sampingnya.

“Kau tahu, teman Glib di Jerman mau memberikan suaka. Glib akan mempekerjakanmu, asalkan kau dapat membantu kami keluar dari sini hidup-hidup.”

Aku tak tahu pasti maksud Iona. Namun, sepertinya tawaran itu cukup menarik.

“Kau tahu maksudku, ‘kan?” tanya Iona.

Hanya karena tak ingin berdebat dengannya dalam kondisi seperti ini, aku menjawab pertanyaannya dengan anggukan. Lalu,  mencoba untuk menyingkirkan pria yang menindihku.

“Kau dulu! Kau harus memastikan situasi aman, sebelum kami melintas.”

Aku bergeming. Mataku lurus menatap bangunan terdekat yang masih kokoh berdiri. Tempat itu mungkin akan menjadi tempat aman bagi kami untuk berlindung, setelah serangan bertubi-tubi tadi pagi.

“Kau dengar aku, ‘kan?” tanya Iona memastikan.

“Aku akan berikan apa pun yang kau mau, selepas kita keluar dari sini,” ujar Glib menyambung kata-kata Iona.

Hanya kalimat terakhir itu yang mampu kuingat dari mulut Glib sebelum aku berhasil melintas ke tempat aman, diikuti Iona. Sebelum ia roboh bersimbah darah oleh serentetan peluru yang menyerang dan menembus tubuh tambunnya.

Hening! Suasana mencekam. Seolah-olah bayangan kematian memeluk erat tiap sendi-sendi tubuh.

“Lindungi aku, Igor.” Iona mengiba. Dengan tubuh gemetar, lagi-lagi wanita itu memohon, “Berjanjilah, Igor, kau akan melindungi aku,” ucapnya sekali lagi sambil mengguncang-guncang lenganku.

Setelah sekian lama kami berpisah dan menggantiku dengan pria tambun itu, pertama kalinya Iona memohon. Bahkan, aku dapat merasakan kehangatan dari tiap sentuhannya yang penuh harap.

“Kau mendengarku, ‘kan?”

Aku memang miskin, tetapi aku tidak bodoh seperti dugaan mereka. Aku tidak akan mengorbankan diri dengan menyia-nyiakan kesempatan untuk hidup.

Peristiwa demi peristiwa yang aku alami, membuatku tersadar bahwa hidup di pusaran konflik, tak ubahnya seperti hewan buruan. Hanya menunggu giliran salah satu timah panas serdadu lawan bersarang di tubuh. Mati dalam kondisi mengenaskan dengan organ tubuh terburai, terlindas tank-tank yang melintas.

Tidak! Aku belum siap untuk mati.

“Bawa aku keluar dari sini, Igor. Bawa aku bersamamu.”

Tidak ada kepastian, aku akan keluar dari negara ini dalam keadaan hidup. Namun, satu yang pasti. Dengan kematian Glib, aku memiliki peluang untuk mendapatkan dua hal yang pernah terlepas dari hidupku.(*)

Bogor, 18 Maret 2022.

Yuna Thrias, seorang ibu dari dua orang putri yang hobi menulis. Beberapa tulisannya sudah dapat dinikmati di beberapa antologi dan novel solo berjudul: “Hipotalamus”. Berharap melalui tulisan akan menambah bekal untuk memperberat amal jariah.

Komentar juri, Freky:

Menyuguhkan situasi yang cukup menegangkan dalam usahanya untuk bertahan hidup, cerpen ini juga memiliki pesona lain.

Tokoh utama yang dipilih oleh penulis bukanlah seorang pahlawan atau manusia “mulia”. Namun, perang dan pengungsian malah memberikan apa yang selama ini hilang dari hidup sang tokoh utama.

Tantangan Lokit adalah lomba menulis yang digelar di grup FB Komunitas Cerpenis Loker Kata (KCLK)

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor

Leave a Reply