Aku Adalah Aku
Oleh : Ning Kurniati
Aiya. Nama panggilan yang ditetapkan oleh kedua orangtuaku. Nama panggilan yang sudah ingin kurubah sejak masih di sekolah dasar. Nama yang begitu mengganggu dan menjadi hal yang memalukan, tapi tidak bisa dipisahkan dari diriku dan ada-ada saja cara teman-teman untuk mengejek atau paling tidak, salah menyebut namaku. Biasanya mereka akan bersuara seperti memanggil “Aiya” dan ketika aku berbalik bahasa tubuhnya akan berubah dan mereka bersikap seolah berbincang dengan yang lain. Atau mengucapkan iya, tetapi menambahkan A sebelumnya. Atau melagukannya seperti penyanyi dangdut, tetapi mereka lebih terlihat seperti anak jalanan yang jarang menonton hal-hal yang terbaru. Berteriak seadanya. Semampunya. Memekakkan telinga. Membuat jengkel. Memuakkan.
Mereka itu seperti halnya penyakit, kian hari kian parah karena tak mendapat obat. Terus-menerus mencari celah, mengejek, merasa di atas angin, lalu terbang dan lupa ada tanah di bawahnya. Layaknya tentara di medang perang, mereka akan saling mendukung, menguatkan, menyeru, “Hei, kau hebat! Ayo! Ayo!”. Lantas senyum akan terpampang pada wajah-wajah yang kurang bahagia itu, karena pada dasarnya mereka miskin kebahagian sehingga mencari bahagia di luar dari dirinya.
Miris. Mengiris. Terkikis. Tetapi yang paling memilukan adalah ketidaktahuan bahwa mereka telah jatuh pada lubang yang tak kelihatan dasarnya seperti berenang di tengah laut lalu tiba-tiba mendapati palung, gelap tak bercahaya, tak ada petunjuk, tak ada tangan untuk meraih ataupun merangkul. Siapa yang betah berada di sisinya bila bukan sebangsanya, seideologinya bahwa kebahagian didapatkan dari membuat orang lain bersusah, bersedih, pun parahnya bisa menangis.
Tidak apa-apa. Terlalu cengeng. Hal begitu saja kok, diambil hati. Iih, baperan. Dan sederet kalimat lainnya yang bernada pembelaan, pembenaran atas tindakannya itu.
Aku tidak bisa memastikan apa lingkungan seperti itu pada hari ini membuatku menjadi begitu pasif, tidak tanggap pada lingkungan sekitar dan sering mempertanyakan sebuah ketulusan, kemurnian sebuah niat. Tapi, tak bisa kusalahkan siapa pun termasuk mereka. Dunia tidak melulu sebuah kebahagian. Selalu ada dua sisi yang bergerak beriringan. Bila ada seorang yang baik maka tentu ada seorang yang jahat. Dalam diriku pun bisa kupastikan ada sisi ketidakbaikan. Aku tidak mau menyebutnya kejahatan karena sama sekali tidak pernah kulakukan sebuah kejahatan. Ini tentang persepsi dalam melihat sesuatu. Dan karena sisi persepsi itulah, aku lebih sering menjadi pasif dan mungkin yang akan datang, terus menerus.
*
Ayah mengatakan, Aiya itu menggambarkan kelembutan sekaligus kekuatan. Kelak, kau akan tumbuh menjadi anak yang kuat dan mandiri. Feminin dan maskulinitas. Kau memiliki keduanya yang kelak akan membuatmu menghargai setiap manusia, memahaminya. Tetapi justru yang terjadi aku menjadi berkutat dengan diriku sendiri enggan berlama-lama dengan orang lain. Aku pasif. Namun di sisi lain, keinginan Ayah terwujud. Feminin. Maskulinitas, entahlah.
Memang sudah menjadi kebiasaan alam, bahwa apa yang menjadi pokok penilaian adalah yang terlihat dari luar. Morfologi. Di mana anatomi dan fisiologi—isi dan fungsi (tujuan)—selalu tersembunyi, selalu tersampingkan. Meski dalam bahasa saat ini dikembangkan menjadi sisi lain dari setiap sisi yang terlihat. Tetap saja ini tidak mengubah kebiasaan alam. Hal seperti itu akan ada, yang bisa dilakukan hanyalah mencegah agar tidak banyak yang seperti itu. Orang-orang melabelnya, pemikiran terbuka. Harus memiliki pemikiran terbuka.
Aku kadang berdecak, yang mana disebut pemikiran terbuka. Hal-hal yang umum tidak melulu terbuka ataupun sebaliknya. Semua ada porsinya masing-masing. Tetapi, keanehan selalu ada dan yang tidak terlihat biasa pastilah tergolong ke dalamnya. Seperti namaku, seperti aku.
*
Aku menyukai kucing. Namanya Kinoli, kucing hitam yang manis yang datang mengeong di subuh hari depan pintu rumah kami. Ia kini mengikut ke mana pun aku bepergian. Ia seekor kucing yang pasif, sepertiku, tak banyak bergerak. Hidupnya seolah dihabiskan hanya untuk tidur.
Dan kedatangan Kinoli itu membuat semua orang makin memandang aneh. Apa yang salah? Apa aku melanggar hukum? Tentu tidak. Tetapi mereka lebih suka memandang aneh pada yang sepertiku ketimbang orang-orang yang jelas-jelas bersalah.
Kinoli. Berkat kehadirannya banyak gadis yang mendekat, meskipun kenyataannya ia tertarik untuk mengelus Kino ketimbang sang tuan. Tapi tidak mengapa, toh, aku perlahan-lahan bisa juga memiliki teman dekat.
Di antara mereka itu, ada yang kelak bisa digolongkan menjadi teman. Namun, ada juga yang tetap tidak menyukai dan menerima diriku sampai hendak mengubah seperti keinginannya. Seolah diri ini adalah sebuah kesalahan. Aku salah menjadi orang, mungkin harus menjadi kucing seperti Kinoli.
Namun, Tuhan menjadikanku manusia. Manusia yang punya perasaan sama seperti yang lain. Tetapi, satu fakta lagi bahwa perasaan tidak mendapat derajat yang sama, sering terlupakan tidak seperti perasaan bos-bos yang selalu dijaga agar tidak tersinggung oleh bawahannya.
Hanya ada beberapa yang mafhum dan betul-betul menerimaku sebagai seorang pribadi. Aku menyebutnya kemurnian niat. Namanya Kina. Seorang gadis yang memiliki hati yang luas dan besar karena bisa menerima diriku yang kadang dianggap hina dan dipandang sebelah mata.
Ketika hari pernikahanku dekat dan kabarnya mulai disiarkan oleh ibu-bapakku, topik baru muncul dan bersiaran ke mana-mana, mengikut menempel pada kabar pernikahan itu sendiri. Siapa sih, perempuan itu? Kok mau ya, diperistri oleh Aiya. Eh, emang si Aiya itu bisa? Bisa apa memangnya? Duh, bagaimana ya, nanti?
Ketika bisik-bisik itu sampai juga pada telingaku, rasanya ingin menangis dan tertawa juga. Yang mau menikah siapa, yang khawatir siapa? Aku memiliki apa yang dimiliki oleh setiap laki-laki. Bentuknya sama dan juga bisa berfungsi, jadi kenapa aku tidak menikah.
Pernikahan itu ibadah. Semua sepakat, tetapi tidak sepakat bahwa pernikahan boleh dilakukan siapa saja, yang penting sesuai syariat agama. Kadang kukhayalkan, bila mereka sedang panas-panasnya berbicara lalu aku datang dan berkata, apa aku perlu membuktikannya pada dirimu atau pada putri/kemanakanmu? Tapi kembali aku bungkam dan kebungkaman seperti ini tidak akan disesali. Toh, perasaan itu harus dijaga ‘kan. Aku mau perasaanku dijaga. Bila bersikap yang sama dengan apa yang mereka lakukan, lalu apa bedanya aku dan mereka?
Aku adalah aku.
(*)
Desember 2019
Ning Kurniati, Perempuan dengan mimpi yang terus bertambah-tambah. Dapat dihubungi melalui link bit.ly/AkunNing