Akhir yang Tak Sama
Oleh: jemynarsyh
Aku bertopang dagu menatap jendela di depanku. Biasanya, ketika matahari mulai tenggelam, Andara—tetangga samping rumah, lelaki yang usianya sekitar dua puluh empat tahun—akan menatap sunset di balik jendelanya. Aku masih ingat pertama kalinya kami; aku dan Andara, sama-sama menatap senja. Sore itu, aku baru saja tiba dari kota tempat beberapa tahun ini aku mengumpulkan pundi-pundi rupiah. Saat aku hendak menutup jendela, pandanganku terpaku pada sosok lelaki yang sedang tersenyum ke arahku. Alisnya yang tebal dan lesung pipit di pipi kirinya membuat jantungku berdetak lebih cepat. Segera kututup jendela, lalu bersandar pada dinding berusaha menenangkan diri seraya menyentuh dada di mana gemuruh masih menggebu.
Sejak kejadian itu, aku mulai tak sabar menunggu senja. Sebab bisa melihat senja bersamanya itu membuatku bahagia. Di minggu-minggu pertama, kami hanya saling melempar senyum. Hingga saat sore itu dan hujan masih rintik-rintik membasahi pepohonan, Andara bersiul seraya mengangkat kertas yang bertuliskan, ‘Hari ini mendung, tidak bisa melihat sunset.’
Aku mengangguk membenarkan, seharian ini memang mendung, hujan sebentar reda, lalu hujan lagi, begitu seterusnya hingga sore. Di depan sana Andara masih diam di tempat. Aku bergegas mencari kertas dan membalas pesannya.
‘Iya, besok baru bisa lihat lagi,’ tulisku pada kertas dan menunjukkan pesan tersebut kepada Andara.
Mata lelaki berlesung pipit itu tampak menyipit. Dahinya berkerut membaca tulisanku. Apakah tulisanku terlalu kecil? Tanyaku pada diri sendiri.
Ketika terdengar suara kelotok melintas di dekat rumah, aku menoleh, begitu pun Andara. Dia tersenyum seraya mengangkat ibu jarinya. Aku senang, akhirnya ia membalas pesanku meski setelahnya kami hanya saling diam dan sibuk dengan pikiran masing-masing.
*
Aku hanya tinggal berdua bersama Ibu, semenjak kepergian Bapak beberapa tahun lalu bersama kekasih barunya. Aku memutuskan bekerja di kota dan Ibu membuka warung nasi. Sekelebat bayangan masa lalu, membuatku menghela napas panjang, mencoba berdamai dengan masa lalu.
Semenjak aku memutuskan untuk berhenti bekerja, aku tahu akan ada banyak waktu luang, dan kegiatanku sekarang adalah membantu Ibu berjualan nasi kuning dan menatap senja. Saat subuh, aku akan sibuk bersama Ibu menyiapkan dagangan. Dan saat matahari mulai muncul dari peraduan, kami melayani pembeli yang mulai berdatangan—yang kebanyakan adalah bapak-bapak dan para pemuda kampung yang hendak pergi melaut atau berdagang ke ibu kota.
“Syarel, nasinya satu, ya, lauknya ayam.”
Aku yang sedang menghitung pendapatan pagi ini, lantas mendongak ketika mendengar pesanan seseorang. Pandanganku lagi dan lagi terpaku pada sosok berlesung pipit itu. Dengan seulas senyum yang dipaksakan aku segera membuat pesanannya.
Saat ia menyantap makanannya, diam-diam aku mencuri pandang pada sepasang alis tebal itu, lalu pandanganku terpaku pada benda yang melingkar di jari manisnya. Ada sesak di hati, lidahku terasa kelu. Di saat itu, ia mendongak mengikuti arah pandangku pada jari manisnya. Ia pun tertegun, lantas menyembunyikan lengannya di bawah meja.
“Ibu ….” panggilku seraya meninggalkan warung dan masuk ke rumah menyusul Ibu di dapur.
Ibu memandangku lamat. Tak kuasa dipandang seperti itu, aku menundukkan wajah. Menarik napas panjang berharap sesak itu hilang. “Bu, di depan masih ada pembeli, tolong gantikan sebentar, ya,” pintaku pada Ibu dan bergegas pergi.
Aku masuk ke kamar, berbaring meringkuk membelakangi jendela. Sungguh, aku tak pernah menduga jika ia sudah berkeluarga. Salahku juga tidak pernah mencari informasi tentangnya kepada Ibu. Tetapi selama ini, Andara tak pernah menunjukkan jika ia sudah mempunyai pasangan atau mungkin saja ia, lelaki berhidung belang seperti kebanyakan lelaki di luar sana.
Kamarku kini sedikit pengap sebab jendelanya tak pernah kubuka lagi. Kebiasaan melihat sunset pun tak pernah kulakukan. Semua yang berhubungan dengan Andara tak pernah kulakukan lagi. Pernah di suatu sore, aku melihat dari celah jendela, Andara sedang menatap jendela kamarku. Entah apa yang sedang ia pikirkan. Aku tak peduli lagi, seandainya ia sudah bukan lelaki lajang, tak seharusnya ia melakukan itu. Perasaan kagumku kepada Andara kini berubah jadi benci. Aku muak dengan perbuatannya yang seakan masih bebas tanpa ikatan. Sikapnya itu mengingatkanku pada luka lama di mana dulu, orang yang kuhormati diam-diam mengkhianati Ibu.[*]
Katingan 14 Mei 2021.
Jemynarsyh gadis kelahiran Kalimantan yang suka dengan kopi dan sedang belajar aksara.
Editor: Inu Yana