Akhir Seribu Purnama

Akhir Seribu Purnama

 

Akhir Seribu Purnama

Oleh : Cici Ramadhani

Aku mencoba mengumpulkan ingatan melalui kata yang pernah terukir. Akan kujadikan sebuah kenangan, cerita untuk anak cucuku, atau anak cucu kita. Mungkin, takdir akan mempersatukan kita kelak. Siapa yang tahu? Aku masih berharap, dirimu menjadi cinta terakhirku.

Kubaca kembali penggalan terakhir isi surat yang masih tersimpan rapi dalam diariku. Surat yang akhirnya tidak pernah kukirimkan lima tahun yang lalu. Namun, masih terasa kelegaan saat menulis surat itu. Itulah surat terakhir pernyataan cintaku pada Akbar. Akbar Rayyan Alfarizqi.

Cinta itu aneh. Mengapa dia tetap ada saat diri ini tidak lagi menjadi putri di hati Akbar. Harusnya, cinta itu segera mati, atau menghilang saja.

Sudah seribu purnama aku menantikannya, mencintainya dalam diam. Rindu ini entah bagaimana lagi bentuknya. Kadang seperti oase di padang pasir, seketika berubah menjadi api di hutan tandus.

Salahku yang tak pernah bisa mengungkapkan rasa. Saat kekecewaan dalam hidup melanda, harusnya kau orang pertama yang menjadi akhir tempatku bersandar, tempatku berkeluh-kesah. Kau yang tak pernah tahu, sebesar apa cinta yang kupunya.

“Cinta itu hanya bahasa yang dilebih-lebihkan di awal. Tanpa kelebihan pada akhirnya. Nantikanlah takdir yang mengatur. Nikmatilah kehidupan.” Tertulis pesanmu pada diariku di tanggal tiga puluh April. Aku tak menyangka, aku bahkan menyalin semua pesan-pesan yang kau kirim sebulan sebelum pernikahanmu.

“Cinta punya bahasa sendiri yang hanya bisa dimengerti oleh cinta. Kesyahduan dan mimpi yang tersirat bukanlah kebenaran yang harus dinyatakan. Cinta itu bukan perasaan. Karena dia punya jiwa dan nyawa sendiri. Dia hidup di dalam diri kita, menjadi wujud lain dalam wujud kita. Bersahabatlah dengannya. Karena dia juga bisa berubah, seperti layaknya hati kita. Jangan terlalu percaya padanya, karena dia juga bisa berdusta. Jangan terlalu membencinya, karena kita akan kesepian. Cukuplah MERASA.” Tulisan berikutnya, bahkan aku menuliskan waktunya yang berselang 42 menit.

“Semua kita ini adalah wujud. Semua pasti hilang dan berganti. Cinta itu tidak seperti yang kita pikirkan. Cinta besar karena kata-kata. Padahal cinta tidak bisa bicara. Hidup bukan cinta. Karena cinta juga butuh kehidupan.” Tulisan empat menit kemudian.

Tiga puluh enam menit kemudian, “Keluarga hanya setitik air dari sebuah samudra. Belajarlah lagi. Mengerti lebih dalam dan selalu bercerita dengan diri kita yang lain. Ini adalah jalan satu-satunya untuk tahu apa itu CINTA. Diriku menjadi bagian keluargamu. Itu lebih dari segalanya.”

Sepertinya kita saling berbalas pesan malam itu, namun aku hanya menulis semua pesanmu. Entah apa yang kukirimkan padamu, aku tak mengingatnya sedikit pun kini.

“Mungkin dengan berkata, kita bisa mengungkapkan isi hati. Tapi tidak semua kata-kata bisa diterjemahkan dan dimengerti sepenuhnya, seperti yang kita inginkan. Cukuplah kita merasakan debaran dengan hati, menyimpan dan menjadikan rahasia. Setidaknya bisa meringankan langkah dan menguatkan hati. Tuhan lebih tahu yang terbaik buat kita. Tugas kita cuma berjalan di atas takdir dan berbuat yang terbaik yang kita bisa.”

Kubalik lagi lembaran diari ini. Tak ada lagi catatan, ternyata itu adalah pesan terakhir darimu. Dini hari di tanggal ulang tahunmu, tiga jam setengah dari pesan sebelumnya.

Aku menyimpan kembali dengan rapi surat dan diari itu ke dalam laci. Jika mengingatmu kesedihan menyapaku, sedih akan kebodohanku di masa lalu. Bahkan saat kau katakan, “Kebersamaan Adik pada banyak lelaki, membuat Abang meragu. Kabar itu cepat sekali sampai.” Aku tak dapat menjelaskan, bibirku selalu terkunci. Ingin sekali kukatakan bahwa mereka hanya teman biasa, satu ekstrakurikuler denganku. Hanya kau yang selalu bertakhta di hatiku.

Kau tak pernah tahu saat kudengar berita—lima tahun lalu—dirimu memiliki kekasih baru. Aku menangis tersedu dalam doa. Dua orang kakak kelas sengaja datang membawa kabar, “Dek, kekasihmu sudah punya kekasih baru.” Aku mencerna dan mengulang-ulang tiap penggalan katanya. Kekasihmu, itu artinya kau, Akbar. Memiliki kekasih baru, artinya aku telah tersisihkan dari hatimu.
Kita memang berbeda sekolah, aku yang tak pernah menurutimu. Padahal dalam suratmu kau selalu katakan menungguku di SMA favoritmu. Empat tahun kita tidak bersama dalam lingkup menimba ilmu, membuat rasa cintamu menghilang. Ya, aku masih mengingat filosofi cinta yang pernah kau tulis dalam suratmu saat kita masih di bangku SMP, “Cinta adalah kebersamaan”. Namun, anehnya bagiku walau kita tak bersama aku masih tetap mencintaimu. Kau yang selalu menulis kata, “Always Love You” di akhir suratmu namun itu jua yang tertanam di relung hatiku.

Dalam sujudku, aku meminta pada Yang Kuasa. Aku ingin melihatmu dengan kekasih barumu. Tuhan menunjukkan kuasa-Nya, cepat sekali Dia menunjukkan kenyataan cintaku. Dengan marah aku katakan pada diri ini, “Aku juga bisa memiliki kekasih baru.” Kau tahu, berapa pria kutolak cintanya, namun kini kubalas dengan menerima semua yang datang. Tapi sayang, kisah cintaku selalu berakhir menyedihkan. Dan hatiku selalu kembali mencintaimu dalam diam.

“Adik memiliki tempat tersendiri di hati Abang, sebagaimana surat-surat yang pernah Adik kirim tersimpan rapi dan aman di rumah,” katamu dari ujung sana.

“Bagaimana kalau Kak Clara mengetahuinya?” tanyaku penasaran. Karena jujur aku saja sudah kehilangan semua surat darimu. Entah ke mana aku tak dapat mengingatnya.

“Setelah menikah, tentu itu tidak dibawa.”

Hatiku mencelus. Aku tahu kau sudah berteman dekat dengan Clara semenjak kalian di bangku kuliah. Dengan jurusan yang sama, aku yakin cinta mulai tumbuh di hatimu untuknya.

“Kamis, Abang menikah. Jika ada waktu, datanglah. Abang memohon doa restu dari Adik,” ucapmu lagi.

Seperti kilat menyambar kalimat yang kau sampaikan. Bukan ini yang ingin kudengar setelah satu bulan tak ada kabar darimu. Sebelum hujan turun aku menutup sambungan itu setelah mengucapkan salam. Aku tetap tak mau terdengar menyedihkan ketika berbicara denganmu.

Sehari sebelum pernikahanmu aku meneleponmu. “Bang, maaf aku enggak bisa hadir karena tidak dapat izin dari kantor. Kudoakan kau bahagia selalu,” ucapku tenang.Tak lagi debaran itu kurasakan seperti sebelum-sebelumnya. Itulah terakhir kita saling mendengar suara, dan kutahu cintaku telah hilang.

Cici Ramadhani menyukai literasi sejak SMP. Namun, sempat terhenti hingga beberapa waktu. Kini, setelah menjadi IRT dan bergabung dalam grup literasi, mencoba kembali mengasah hobi lama dan mulai menyampaikan pesan melalui kata. Suatu saat berharap bisa bercerita tentang alam karena sangat menyukai warna birunya laut, suara air terjun, dan dinginnya pegunungan. Semoga dalam tiap cerita dapat tersampaikan hikmah dan bermanfaat bagi pembaca.

Leave a Reply